Polemik Kepemimpinan KPK dan Intervensi Politik di Bawah Bayang-Bayang Pemerintahan Jokowi
Dalam beberapa tahun terakhir, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah mengalami berbagai perubahan yang memicu perdebatan publik, terutama terkait dengan pemilihan komisioner baru dan pengaruh politik yang dirasakan dalam lembaga ini. Dalam diskusi yang hangat, banyak yang menyuarakan keprihatinan mereka mengenai bagaimana KPK, yang seharusnya menjadi benteng terakhir dalam pemberantasan korupsi, justru terlihat semakin terikat oleh kepentingan politik dan institusi hukum lainnya, seperti kepolisian dan kejaksaan.
Dalam sebuah dialog kritis tentang kondisi terkini KPK, muncul pandangan
bahwa Presiden Jokowi, yang awalnya dielu-elukan sebagai pembaharu dan pemimpin
yang mendukung pemberantasan korupsi, kini dinilai telah melakukan kesalahan
besar dalam membiarkan KPK terperangkap dalam permainan politik. Seorang
narasumber dalam diskusi ini menegaskan, "Ya tentu saja Pak Jokowi juga
tidak lepas dari kesalahan dan keluarganya pun terlibat dalam berbagai
kontroversi." Pernyataan ini mencerminkan kekecewaan yang mendalam
terhadap pemerintahan yang tampaknya kurang etis dalam mengelola institusi
pemberantasan korupsi.
Sementara beberapa pihak mungkin enggan untuk bersikap terlalu kritis
terhadap Jokowi karena popularitasnya yang cukup besar, banyak yang mulai
mempertanyakan apakah pemerintahan Jokowi benar-benar berdedikasi untuk
memperkuat institusi penegakan hukum atau justru sebaliknya, menggunakan
lembaga-lembaga tersebut untuk tujuan politik tertentu. Ini menimbulkan
kekecewaan di kalangan masyarakat yang selama ini mendukung agenda reformasi
KPK.
Salah satu topik yang menjadi sorotan utama dalam diskusi adalah terkait
dengan pemilihan komisioner KPK yang baru. Proses ini dianggap tidak hanya
politis tetapi juga sarat dengan intervensi dari kepolisian dan kejaksaan.
Beberapa nama calon komisioner yang diusulkan ke DPR dan Presiden dinilai
memiliki kedekatan dengan institusi-institusi tersebut, yang dianggap sebagai
lembaga yang paling memerlukan pembenahan dari segi korupsi. Misalnya,
nama-nama seperti Pak Agus Joko Pramono, yang sebelumnya menjabat di BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan), serta Pak Alam Sasaragi, mantan ombudsman, dan Ibnu
Basuki, seorang hakim, telah dipertimbangkan sebagai calon komisioner KPK.
Namun, pertanyaan besar yang diajukan adalah, apakah orang-orang ini
benar-benar akan membawa perubahan yang diharapkan atau justru memperkuat
dominasi kepolisian dan kejaksaan dalam tubuh KPK? Menurut salah satu
narasumber, "Kepolisian dan kejaksaan adalah dua lembaga penegakan hukum
yang justru harus banyak dibenahi dari segi korupsi." Narasi ini bukan
tanpa alasan. Banyak temuan dan laporan yang menunjukkan adanya korupsi di dua
institusi tersebut, dan kekhawatiran bahwa KPK tidak akan mampu melakukan
penyelidikan yang independen terhadap kepolisian dan kejaksaan apabila kedua
lembaga ini memiliki pengaruh signifikan di dalamnya.
Salah satu contohnya adalah peran Mbak Pungki, yang dikenal memiliki
kedekatan dengan Kepolisian melalui posisinya di Kompolnas (Komisi Kepolisian
Nasional). Meskipun dianggap sebagai individu yang kompeten, kedekatannya
dengan institusi kepolisian menimbulkan keraguan mengenai kemampuan KPK untuk
bersikap netral dalam menindak kasus-kasus yang melibatkan polisi. Tidak hanya
itu, beberapa calon lainnya, seperti Pak Beni Mamo, juga memiliki latar
belakang militer, yang menunjukkan bahwa ada upaya untuk memasukkan berbagai
faksi dari institusi penegakan hukum ke dalam KPK.
Diskusi ini kemudian berkembang ke arah pemikiran yang lebih mendalam
tentang bagaimana reformasi KPK dapat dilakukan. Salah satu narasumber
menekankan bahwa, "Tidak ada jalan lain untuk memperbaiki KPK selain
mengubah lagi undang-undangnya." Sebelumnya, undang-undang KPK telah
direvisi pada tahun 2019, yang memicu protes besar-besaran di berbagai daerah.
Revisi ini dianggap melemahkan kewenangan KPK, terutama dengan pembentukan
Dewan Pengawas yang harus menyetujui langkah-langkah penyadapan dan
penggeledahan, yang menjadi instrumen penting dalam investigasi kasus korupsi.
Kritik terhadap pemerintahan Jokowi juga meluas pada isu penerusan
kepemimpinan di KPK kepada Presiden Prabowo, yang diperkirakan akan mulai
menjabat pada tahun depan. Salah satu narasumber menyebutkan bahwa banyak
kebijakan kontroversial yang diwariskan oleh Jokowi kepada Prabowo, menimbulkan
kekhawatiran tentang masa depan KPK di bawah pemerintahan baru. Apakah Prabowo
akan melanjutkan kebijakan yang memperlemah KPK, atau justru mengambil
langkah-langkah untuk memperkuatnya, menjadi salah satu pertanyaan besar yang
saat ini belum terjawab.
Agenda besar politik di Indonesia dalam beberapa bulan mendatang akan sangat
menentukan arah KPK ke depannya. Dengan pelantikan DPR, DPD, dan pimpinan MPR
yang baru, serta pelantikan presiden pada Oktober mendatang, banyak yang
berharap agar pemilihan komisioner KPK dapat dilakukan dengan lebih transparan
dan berintegritas. Namun, kenyataannya, proses pemilihan ini sering kali hanya
menjadi perbincangan sepintas dan tidak mendapatkan perhatian yang layak dari
publik maupun media.
Ketika berbicara tentang reformasi KPK, ada banyak aspek yang harus
dipertimbangkan, mulai dari independensi lembaga hingga pengaruh politik yang
mungkin datang dari berbagai arah. Seperti yang disampaikan oleh narasumber
dalam diskusi tersebut, "Resikonya adalah kepolisian dan kejaksaan, dua
lembaga penegakan hukum yang harus banyak dibenahi dari segi korupsi, bisa saja
menimbulkan hambatan dalam pemberantasan korupsi yang lebih luas."
Dalam menghadapi tantangan ini, masyarakat dan pemimpin politik harus
bersikap waspada dan proaktif. Reformasi hukum, termasuk revisi undang-undang
KPK, mungkin menjadi salah satu solusi, tetapi yang lebih penting adalah
memastikan bahwa proses penegakan hukum di Indonesia tetap independen dan tidak
dipolitisasi untuk kepentingan tertentu.
Dengan demikian, masa depan KPK dan penegakan hukum di Indonesia kini
bergantung pada sejauh mana komitmen pemerintah dan masyarakat dalam menjaga
integritas lembaga ini. KPK, sebagai lembaga yang dipercaya untuk memberantas
korupsi, tidak boleh menjadi alat politik, tetapi harus tetap menjadi pilar
keadilan yang murni dan tak terpengaruh oleh kepentingan kekuasaan.
Penulis
Sumarta
Sumber
https://youtu.be/dT0zuOcHtaE