Preman Mengambil Alih Demokrasi: Bubarnya Diskusi yang Meresahkan
Bubarnya Diskusi yang Meresahkan
Pada hari
Sabtu yang seharusnya tenang, peristiwa yang tak terduga mengguncang ibu kota
Jakarta. Sebuah diskusi yang diadakan oleh kelompok diaspora Indonesia di Hotel
Kembang, Jakarta Selatan, mendadak berubah kacau. Diskusi yang awalnya
diharapkan menjadi ajang bertukar pikiran dan gagasan lintas benua, dengan
topik pembahasan mengenai masa depan Indonesia, justru dihentikan oleh
sekelompok preman yang tiba-tiba merangsek masuk. Momen ini mengejutkan banyak
pihak, sekaligus menimbulkan kekhawatiran tentang kebebasan berpendapat dan
kondisi demokrasi di Indonesia saat ini. Dalam era reformasi yang seharusnya
menjamin kebebasan berpendapat, bagaimana bisa sebuah diskusi akademis
dibubarkan oleh preman tanpa ada tindakan dari pihak berwajib?
Kronologi Peristiwa yang Mencemaskan
Acara
tersebut dihadiri oleh berbagai intelektual, aktivis, dan anggota diaspora
Indonesia dari berbagai penjuru dunia. Salah satu tokoh yang hadir adalah
Mustofa Nahra, seorang aktivis muda dari Muhammadiyah. Diskusi yang digelar di
salah satu ruang pertemuan hotel berlangsung lancar pada awalnya. Namun,
sekitar tengah acara, sekelompok orang yang tak dikenal tiba-tiba menerobos
masuk melalui pintu belakang hotel dan langsung memicu kericuhan. Para preman
ini dengan arogan merusak atribut diskusi, mengintimidasi peserta, dan bahkan
menuntut agar acara segera dihentikan.
Para
peserta diskusi, yang tidak menduga akan menghadapi gangguan seperti itu,
berusaha tetap tenang. Mereka sebagian besar adalah akademisi, intelektual, dan
aktivis yang biasa menghadapi perdebatan ide dan gagasan. Namun, kali ini
situasinya berbeda. Alih-alih berbicara tentang masa depan bangsa, mereka
justru dihadapkan pada ancaman fisik dan intimidasi langsung. Yang membuat
situasi semakin membingungkan adalah keberadaan polisi yang tampak diam di
lokasi kejadian, namun tidak mengambil tindakan apapun untuk menghentikan ulah
para preman.
Diamnya Aparat, Beraksinya Preman
Situasi
semakin tidak masuk akal ketika preman-preman yang membubarkan diskusi tersebut
terekam memberi selamat satu sama lain setelah berhasil menghentikan acara.
Mereka tampak merayakan keberhasilan mereka dengan ucapan seperti "Sukses,
Bang!" di luar hotel. Rekaman ini beredar luas di media sosial dan
menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya berada di balik pembubaran
ini?
Para
peserta diskusi tidak hanya dikejutkan oleh tindakan preman tersebut, tetapi
juga oleh sikap aparat kepolisian yang seakan-akan membiarkan situasi ini terjadi.
Sejumlah peserta berusaha merekam kejadian dengan ponsel mereka, berupaya
mengabadikan momen di mana preman beraksi tanpa ada intervensi dari pihak
berwenang. Dalam rekaman video yang kemudian viral di media sosial, terlihat
jelas bagaimana preman tersebut merusak atribut diskusi dan bahkan memaksa
peserta untuk segera meninggalkan tempat tanpa ada hambatan berarti dari polisi
yang ada di lokasi.
Mengapa Polisi Tidak Bertindak?
Pertanyaan
paling mendasar yang muncul dari peristiwa ini adalah: mengapa polisi tidak
bertindak? Padahal, menurut undang-undang, hak untuk berkumpul dan menyatakan
pendapat secara damai dijamin dalam konstitusi Indonesia. Namun, di tengah
kericuhan yang terjadi, aparat yang seharusnya melindungi warga negara tampak
abai. Sejumlah peserta diskusi bahkan melaporkan bahwa mereka melihat polisi
berjaga di pintu masuk hotel, namun tidak melakukan apapun ketika preman mulai
merusak acara.
Salah
satu peserta yang juga seorang tokoh nasional mengungkapkan kekecewaannya dalam
sebuah wawancara di program televisi Indonesia Lawyers Club (ILC). “Di tengah
kota Jakarta, ada preman yang bisa memerintahkan aparat untuk menekan orang
yang tidak melanggar hukum apapun. Ini sungguh memalukan dan mengancam
kebebasan kita sebagai bangsa yang merdeka,” ujarnya dengan nada kecewa.
Pernyataan ini mempertegas bahwa insiden ini bukan hanya soal pembubaran
diskusi, tetapi juga soal lemahnya penegakan hukum dan kebebasan sipil di
Indonesia.
Demokrasi dalam Bahaya?
Peristiwa
ini mencerminkan ancaman nyata terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia.
Pada era reformasi yang seharusnya menjamin hak asasi manusia, peristiwa
seperti ini menimbulkan pertanyaan serius tentang arah demokrasi di Indonesia.
Bagaimana bisa preman dapat dengan bebas membubarkan sebuah diskusi tanpa ada
konsekuensi hukum? Mengapa aparat keamanan yang seharusnya melindungi kebebasan
sipil justru terkesan membiarkan tindakan intimidasi seperti ini terjadi?
Diskusi
yang diadakan oleh diaspora Indonesia ini seharusnya menjadi ajang intelektual untuk
berbagi ide tentang masa depan bangsa. Namun, dengan adanya intervensi dari
preman, acara yang penuh harapan itu berubah menjadi simbol dari bagaimana
demokrasi bisa dengan mudah dirusak oleh kekuatan yang lebih rendah. Para
peserta, termasuk akademisi terkemuka seperti Din Syamsuddin dan Refly Harun,
harus meninggalkan lokasi dengan penuh kekecewaan. Mereka dipaksa untuk
berhenti berbicara oleh sekelompok preman yang tampaknya bekerja atas perintah
yang tidak jelas, dan tanpa ada penjelasan resmi dari pihak kepolisian.
Pertanyaan tentang Siapa di Balik Peristiwa Ini
Banyak
pihak menduga bahwa pembubaran ini tidaklah spontan. Terorganisirnya aksi
preman serta sikap aparat yang diam menciptakan spekulasi tentang adanya pihak
tertentu yang tidak ingin diskusi tersebut berlangsung. Namun, hingga saat ini,
belum ada klarifikasi resmi dari pihak berwenang mengenai siapa yang berada di
balik tindakan ini.
Bubarnya
diskusi tersebut menjadi tamparan bagi demokrasi di Indonesia. Peristiwa ini
menegaskan bahwa meskipun undang-undang telah menjamin kebebasan berpendapat,
realitas di lapangan masih menunjukkan bahwa kekuatan informal seperti preman
bisa mengambil alih ruang demokrasi. Situasi ini menyisakan pertanyaan besar
tentang masa depan kebebasan sipil di Indonesia dan bagaimana kita sebagai
bangsa akan menghadapi ancaman-ancaman terhadap demokrasi.
Preman: Ancaman Serius terhadap Demokrasi
Peristiwa
di Hotel Kembang menjadi pengingat bahwa premanisme masih menjadi ancaman nyata
bagi demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia. Jika aparat hukum tidak
mampu atau tidak mau menindak tegas aksi intimidasi seperti ini, maka kebebasan
berpendapat yang telah diperjuangkan melalui reformasi akan semakin terancam.
Indonesia
harus memastikan bahwa ruang publik, termasuk forum-forum diskusi, tetap bebas
dari intimidasi dan kekerasan. Jika tidak, demokrasi yang telah diperjuangkan
dengan susah payah bisa hilang begitu saja, digantikan oleh ketakutan dan
represi.
Peristiwa
pembubaran diskusi ini adalah peringatan keras bahwa demokrasi membutuhkan
perlindungan yang kuat, baik dari negara maupun masyarakat sipil. Jika preman
terus dibiarkan mengambil alih ruang-ruang publik, maka demokrasi Indonesia
bisa berada di ujung tanduk.
Penulis
Sumarta
Sumber
https://youtu.be/sXfn13Je8vU