Premanisme Sebagai Alat untuk Membungkam Kebebasan Berbicara

Di tengah dinamika kehidupan politik di Indonesia, insiden kerusuhan yang terjadi pada acara Silaturahmi Kebangsaan di Grand Kemang Hotel, Jakarta, pada 17 September 2024, memunculkan sorotan tajam terhadap fenomena premanisme. Dalam kejadian tersebut, sekelompok preman menyerang peserta dan tamu undangan, menggagalkan diskusi yang seharusnya berlangsung dalam suasana damai. Insiden ini bukan hanya sekadar aksi kekerasan, tetapi juga mencerminkan bagaimana premanisme masih digunakan sebagai alat untuk membungkam kebebasan berbicara di Indonesia.



Premanisme: Alat untuk Menghentikan Suara Kritis

Preman yang terlibat dalam kerusuhan ini diduga kuat dibayar oleh pihak tertentu untuk mengganggu jalannya acara diskusi yang dianggap kontroversial. Fenomena ini bukanlah hal baru di Indonesia. Para preman sering kali dijadikan "alat" oleh kekuatan politik atau ekonomi yang merasa terancam dengan adanya forum-forum diskusi yang kritis terhadap kebijakan mereka. Mereka digunakan untuk menghentikan kegiatan yang berpotensi membahayakan kepentingan para penguasa.

Dalam pandangan banyak pengamat, premanisme di Indonesia merupakan cerminan dari lemahnya penegakan hukum dan sistem demokrasi. Seorang pengamat politik yang enggan disebutkan namanya menegaskan, “Preman-preman ini bukan sekadar pelaku kriminal biasa. Mereka adalah alat dari kekuatan yang lebih besar yang ingin menciptakan kekacauan dan membungkam kebebasan berbicara.” Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa premanisme tidak hanya menjadi bentuk kekerasan fisik, tetapi juga simbol dari upaya sistematis untuk menghalangi suara-suara kritis.

Penegakan Hukum yang Tak Mampu Mengungkap Dalang

Setelah insiden tersebut, penegakan hukum tampaknya terfokus pada aspek pidana, yakni pengerusakan dan penganiayaan yang dilakukan oleh para preman. Namun, banyak pihak berpendapat bahwa pendekatan ini terlalu sempit. Insiden tersebut seharusnya dilihat dalam konteks yang lebih luas, terutama sebagai penghalangan kebebasan berbicara yang merupakan hak asasi setiap warga negara.

Seringkali dalam kericuhan politik di Indonesia, para preman yang terlibat adalah pihak yang ditangkap dan diadili. Namun, aktor-aktor intelektual yang merancang kekacauan tersebut hampir selalu tidak terungkap. Menurut mantan aparat keamanan yang juga memilih untuk tidak disebutkan namanya, mengungkap aktor di balik kerusuhan adalah tantangan tersendiri. “Selama bertahun-tahun saya menjadi polisi, saya melihat pola ini terus berulang. Setiap kali ada kerusuhan besar, yang ditangkap hanyalah pelaku di lapangan. Tapi aktor intelektual di baliknya tidak pernah terungkap, karena memang sulit untuk dibuktikan,” jelasnya.

Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem hukum dan penegakan hukum di Indonesia perlu perbaikan yang signifikan. Tanpa adanya langkah konkret untuk mengidentifikasi dan menuntut aktor-aktor yang berada di belakang layar, premanisme akan terus menjadi alat yang efektif untuk membungkam kebebasan berbicara.

Dampak Terhadap Demokrasi dan Kebebasan Berbicara

Dampak dari premanisme tidak hanya dirasakan oleh para peserta diskusi, tetapi juga oleh masyarakat luas. Ketika premanisme digunakan untuk membungkam suara-suara kritis, itu menciptakan iklim ketakutan yang menghambat kebebasan berpendapat. “Kami ingin menyuarakan pendapat kami, tetapi dengan adanya ancaman seperti ini, banyak yang memilih untuk diam,” ungkap salah satu peserta acara. Keberanian untuk berbicara menjadi tertekan ketika dihadapkan pada kemungkinan kekerasan atau intimidasi.

Kondisi ini berpotensi menciptakan budaya ketakutan yang dapat mengancam fondasi demokrasi itu sendiri. Diskusi yang sehat dan terbuka adalah salah satu pilar utama demokrasi. Jika masyarakat merasa tidak aman untuk menyampaikan pendapat mereka, maka suara-suara yang beragam dan kritis akan hilang, dan hanya akan tersisa suara-suara yang sejalan dengan kekuasaan.

Upaya untuk Mengatasi Permasalahan

Dalam konteks ini, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk bersama-sama mencari solusi. Masyarakat sipil harus proaktif dalam menjaga kebebasan berpendapat. Diskusi-diskusi yang melibatkan berbagai perspektif perlu didorong agar suara-suara kritis tetap ada dan dapat disuarakan tanpa rasa takut.

Di sisi lain, pemerintah perlu memperkuat penegakan hukum dan memastikan bahwa setiap pelanggaran terhadap kebebasan berbicara ditindak tegas. Penegakan hukum harus mencakup tidak hanya pelaku di lapangan, tetapi juga aktor-aktor di belakang layar yang merencanakan dan mendanai tindakan kekerasan. Tanpa langkah ini, premanisme akan terus menjadi ancaman yang mengintimidasi kebebasan berpendapat di Indonesia.

Kesimpulan

Insiden kerusuhan di acara Silaturahmi Kebangsaan adalah pengingat bahwa premanisme masih menjadi alat efektif untuk membungkam kebebasan berbicara di Indonesia. Tindakan preman yang menyerang peserta diskusi tidak hanya merusak acara tersebut, tetapi juga menciptakan ketakutan di masyarakat. Untuk menjaga demokrasi yang sehat, penting bagi semua pihak untuk berkomitmen dalam melindungi kebebasan berpendapat dan memastikan bahwa suara-suara kritis tidak dibungkam.

Perjuangan untuk kebebasan berbicara harus terus dilakukan, dan masyarakat harus bersatu untuk menuntut penegakan hukum yang adil serta melawan segala bentuk premanisme yang berusaha merongrong hak asasi manusia. Hanya dengan cara ini, Indonesia dapat bergerak maju sebagai negara demokratis yang menghargai setiap suara warganya.

Penulis

Sumarta

 

Sumber

https://youtu.be/sXfn13Je8vU

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel