Rakyat adalah Mitra, Bukan Subjek: Membangun Kemitraan antara Negara dan Masyarakat Sipil
Membangun Kemitraan antara Negara dan Masyarakat Sipil
Dalam konteks demokrasi, penting untuk memikirkan kembali bagaimana hubungan
antara negara dan masyarakat sipil terjalin. Selama ini, masyarakat sering kali
dianggap sebagai objek yang pasif dalam pembuatan kebijakan, bukan sebagai
mitra yang aktif. Padahal, dengan melihat masyarakat sebagai mitra, bukan
subjek, negara dapat memanfaatkan kekuatan kolektif yang lebih besar dalam
mencapai tujuan pembangunan, termasuk peningkatan kesejahteraan, pendidikan,
dan kualitas hidup secara keseluruhan.
Mencari Keseimbangan antara Kepemimpinan dan Keterlibatan Masyarakat
Sebagai negara demokratis, Indonesia perlu menemukan keseimbangan antara
kepemimpinan politik dan partisipasi masyarakat sipil. Ketika kepemimpinan
terlalu kuat, cenderung muncul otoritarianisme yang membatasi kebebasan publik.
Sebaliknya, ketika suara masyarakat terlalu senyap atau tidak terdengar,
kesejahteraan umum juga dapat terganggu karena kebijakan yang tidak sejalan
dengan kebutuhan rakyat. Oleh karena itu, penting untuk menciptakan sebuah
sistem yang memungkinkan kepemimpinan kuat namun tetap inklusif, di mana
masyarakat tidak hanya menjadi penonton tetapi juga berperan aktif dalam
pembangunan.
Keseimbangan ini sangat penting dalam konteks Asia Tenggara, di mana
keragaman budaya, agama, dan etnis sangat kental. Selama 2000 tahun terakhir,
wilayah ini telah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam menjaga harmoni meski
ada perbedaan pandangan atau latar belakang. Meskipun demikian, peran prinsip
dan nilai moral dalam pengambilan kebijakan sering kali terabaikan, yang
akhirnya berdampak pada kualitas barang publik (public goods) seperti
pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.
Belajar dari Negara Lain: Kasus Singapura dan Amerika Serikat
Negara seperti Singapura dapat menjadi contoh dalam mengelola hubungan
antara negara dan masyarakat sipil. Meskipun pemerintahan Singapura terkenal
otoriter, negara ini berhasil mengembangkan proses demokratisasi barang publik
dan meningkatkan kualitasnya. Pemerintah memastikan bahwa kebijakan yang dibuat
tidak hanya berdampak pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga meningkatkan
kualitas hidup rakyatnya melalui kebijakan yang inklusif.
Di sisi lain, pengalaman Amerika Serikat juga memberikan pelajaran berharga.
Sejak era Tokoville, fungsi gereja di Amerika telah berkembang menjadi tempat
pendidikan masyarakat sipil, yang didukung oleh negara tanpa intervensi yang
berlebihan. Negara memfasilitasi tetapi tidak mendominasi, sehingga masyarakat
dapat tumbuh secara organik dan menghasilkan efek positif bagi pendidikan dan
kebudayaan demokratis.
Kebutuhan untuk Budaya Prinsip dalam Masyarakat
Meski harmoni sudah tercipta, masih ada kekurangan yang perlu diatasi, yaitu
kurangnya budaya prinsip yang mendorong peningkatan kualitas barang publik.
Budaya prinsip mencakup berbagai aspek, seperti kesejahteraan, kesehatan, dan
nilai sosial serta moral, yang seharusnya menjadi prioritas dalam kebijakan
publik. Tantangannya adalah bagaimana budaya ini bisa dibangun secara organik
dari bawah ke atas, dengan memperkuat kapasitas masyarakat dalam menyuarakan
kebutuhannya.
Namun, membangun budaya prinsip ini tidaklah mudah. Dalam banyak hal,
pendekatan top-down sering kali lebih cepat dan efisien untuk diterapkan.
Negara memiliki data lengkap dan standar yang dapat digunakan untuk mengarahkan
kebijakan publik ke arah yang lebih baik. Akan tetapi, pendekatan top-down
tanpa melibatkan masyarakat sipil akan berakhir sebagai kebijakan yang kurang
efektif karena tidak sesuai dengan kebutuhan nyata di lapangan. Oleh sebab itu,
kombinasi pendekatan top-down dan bottom-up diperlukan agar kebijakan lebih
responsif dan adaptif.
Mengoptimalkan Kemitraan dengan Masyarakat Sipil
Salah satu kelemahan yang terjadi di Indonesia adalah negara sering kali
melihat masyarakat sipil sebagai subjek pasif yang hanya perlu mengikuti
kebijakan pemerintah. Misalnya, dalam sektor pendidikan, pemerintah cenderung
bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan yang sudah lama ada, daripada
mendukung dan mengembangkannya. Padahal, banyak komunitas yang telah melakukan
pekerjaan penting dalam bidang ini jauh sebelum adanya kebijakan formal dari
pemerintah. Jika pemerintah mampu melihat mereka sebagai mitra sejajar, proses
pembangunan dapat berjalan lebih cepat dan lebih efektif.
Kerja sama antara negara dan masyarakat sipil ini harus berorientasi pada
kemitraan yang setara. Misalnya, di Amerika Serikat, negara mendukung berbagai
institusi sosial seperti gereja untuk menjadi bagian penting dari pendidikan
masyarakat. Hal ini berbeda dengan pendekatan di beberapa negara Eropa yang
mencoba mengontrol institusi keagamaan dengan kebijakan sekuler yang ketat.
Indonesia, dengan keragaman budaya dan agama yang tinggi, memiliki peluang
besar untuk meniru model Amerika, di mana pemerintah dapat memberikan dukungan
tanpa terlalu banyak campur tangan.
Membangun Budaya Politik Baru yang Inklusif
Dalam upaya membangun budaya politik baru yang lebih inklusif, perlu ada
perubahan dalam cara pemerintah melihat masyarakat sipil. Bukan hanya sekadar
alat untuk memenangkan pemilu atau mendukung kebijakan tertentu, masyarakat
sipil harus dilibatkan secara terus-menerus dalam proses pengambilan keputusan.
Dialog antara pemerintah dan komunitas harus berlangsung secara aktif dan
berkesinambungan.
Negara dapat memfasilitasi partisipasi masyarakat melalui berbagai program
dan kebijakan, tetapi kebijakan tersebut harus berasal dari hasil dialog dengan
masyarakat. Dengan melibatkan komunitas dalam setiap tahap kebijakan, dari
perumusan hingga implementasi, hasil yang dicapai akan lebih baik karena
kebijakan tersebut disusun berdasarkan kebutuhan nyata dan aspirasi masyarakat.
Hal ini memerlukan keseriusan dari para pengambil kebijakan untuk melihat
masyarakat sebagai bagian dari proses pembangunan, bukan hanya sebagai
pelengkap.
Tantangan dalam Mewujudkan Kemitraan yang Sejajar
Meskipun dasar-dasar untuk membangun kemitraan ini sudah ada, banyak
tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah keengganan dari beberapa
pengambil kebijakan untuk benar-benar mendengarkan aspirasi masyarakat. Dalam
banyak kasus, masyarakat sipil hanya dilihat sebagai mitra episodik, yaitu
ketika ada kebutuhan untuk mendapatkan dukungan politik dalam pemilu, tetapi
dilupakan ketika pemilu selesai.
Tantangan lain adalah perlunya pengembangan budaya diskusi yang lebih
mendalam dan berbobot di tingkat institusi sosial, seperti sekolah, tempat
ibadah, dan komunitas. Diskusi semacam ini telah menjadi tradisi panjang di
masa kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah, di mana pembicaraan tentang bagaimana
meningkatkan kecerdasan, kesehatan, dan moralitas merupakan bagian penting dari
kehidupan sehari-hari. Sayangnya, di Indonesia, diskusi semacam ini masih
kurang terlihat di institusi-institusi sosial tersebut.
Upaya Meningkatkan Produktivitas Melalui Inovasi dan Pendidikan
Salah satu cara untuk membangun kemitraan antara negara dan masyarakat sipil
adalah dengan meningkatkan investasi di bidang pendidikan dan teknologi.
Negara-negara tetangga seperti Singapura, Korea Selatan, dan Tiongkok telah
membuktikan bahwa peningkatan produktivitas dapat dicapai melalui pendidikan
yang berkualitas dan inovasi teknologi. Indonesia harus segera mengejar
ketertinggalan ini dengan menciptakan budaya baru yang menekankan pentingnya
pendidikan dan inovasi sebagai kunci utama untuk bersaing di tingkat global.
Untuk mencapai hal tersebut, kemitraan dengan berbagai institusi sosial dan
keagamaan menjadi sangat penting. Tempat-tempat ini memiliki potensi besar
untuk menjadi pusat pembelajaran dan pengembangan nilai-nilai positif. Dengan
dukungan pemerintah, institusi-institusi ini dapat menjadi bagian penting dari
strategi pembangunan nasional, bukan hanya sekadar pelengkap.
Kesimpulan: Membangun Kemitraan untuk Masa Depan yang Lebih Baik
Untuk menciptakan kemitraan yang sejajar antara negara dan masyarakat sipil,
diperlukan perubahan paradigma dalam cara pemerintah melihat rakyatnya. Rakyat
bukanlah subjek atau objek yang pasif, melainkan mitra yang aktif dalam
pembangunan bangsa. Melibatkan masyarakat dalam setiap tahap pembuatan
kebijakan, memberikan dukungan pada institusi sosial yang ada, dan membangun
dialog yang berkesinambungan akan memperkuat hubungan antara negara dan
masyarakat.
Dengan demikian, negara dapat memanfaatkan potensi besar yang dimiliki oleh
masyarakat sipil untuk mencapai tujuan pembangunan yang lebih inklusif dan
berkelanjutan. Budaya politik baru yang lebih inklusif harus terus dikembangkan
untuk memastikan bahwa semua pihak berkontribusi dalam proses pembangunan,
sehingga Indonesia dapat tumbuh menjadi bangsa yang lebih maju dan sejahtera di
tengah persaingan global.
Penulis
Sumarta
Sumber