Refleksi Krisis Lapangan Kerja dan Masa Depan Suram: Tanda-Tanda Kebangkitan atau Kemunduran Indonesia?

Tanda-Tanda Kebangkitan atau Kemunduran Indonesia?



Pada 17 Mei 2024, pemandangan yang tidak biasa terjadi di sebuah warung seblak di Ciamis, Jawa Barat. Pemilik usaha kecil itu, Satria Maulana, mengaku tidak menyangka bahwa pelamar kerja membeludak hingga menimbulkan antrean panjang saat wawancara. Sebanyak 220 pelamar dari berbagai kota, mulai dari Ciamis, Tasikmalaya, hingga Jakarta, datang untuk memperebutkan 20 slot pekerjaan. Mayoritas pelamar adalah lulusan SMA dan SMK, yang menggambarkan bagaimana persaingan untuk pekerjaan tingkat bawah semakin ketat di tengah perekonomian yang sulit.

Fenomena ini tidak terjadi secara kebetulan. Berita tentang antrean panjang di berbagai tempat kerja, baik di pabrik maupun usaha kecil, adalah gejala dari kondisi ekonomi yang semakin memburuk di Indonesia. Berita-berita tentang deflasi, penutupan pabrik manufaktur, hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal memenuhi ruang-ruang media, baik itu media arus utama maupun media sosial. Hingga Maret 2024, dilaporkan hampir 13.000 pekerja di-PHK, dengan lebih dari 40% terjadi di Jakarta. Hal ini menunjukkan tekanan besar pada sektor ketenagakerjaan yang berdampak luas pada perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

Krisis Ekonomi yang Meresap

Ekonomi Indonesia tengah mengalami masa-masa sulit. Fenomena deflasi, yaitu penurunan harga barang akibat menurunnya permintaan, bukan pertanda baik. Deflasi menunjukkan daya beli masyarakat yang semakin lemah. Pabrik-pabrik banyak yang tutup karena tidak mampu bersaing dengan produk luar negeri yang lebih murah, di tengah keran impor yang semakin longgar. Situasi ini diperparah dengan PHK di berbagai sektor industri, yang menyebabkan ribuan pekerja kehilangan mata pencaharian.



Data dari Bank Mandiri menunjukkan bahwa masyarakat kelas menengah mulai “makan tabungan” untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan keadaan ketika seseorang harus menggunakan tabungan mereka bukan untuk investasi atau keperluan jangka panjang, tetapi untuk konsumsi harian. Jika kelas menengah saja sudah merasakan tekanan ekonomi seperti ini, bagaimana dengan masyarakat kecil? Situasinya tentu lebih mengkhawatirkan.

Lebih lanjut, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka pengangguran yang tinggi di kalangan generasi Z (15-24 tahun), dengan 9,9 juta orang tidak memiliki pekerjaan maupun keterampilan yang memadai. Generasi yang sering disebut-sebut sebagai “generasi emas” ini justru menghadapi kenyataan pahit berupa minimnya peluang kerja dan ketidaksesuaian antara pendidikan dan kebutuhan pasar tenaga kerja. Fenomena ini menunjukkan kegagalan sistem pendidikan dalam menyiapkan angkatan kerja yang siap bersaing.

Kontras dengan Vietnam: Sebuah Perbandingan yang Mengkhawatirkan

Ketika Indonesia berjuang menghadapi krisis, negara tetangga seperti Vietnam justru melangkah maju dengan pesat. Menurut majalah The Economist, sistem pendidikan Vietnam telah menjadi salah satu yang terbaik, menarik minat investor asing untuk membuka pabrik-pabrik besar di sana. Contoh terbaru adalah Apple, yang berinvestasi sebesar Rp255 triliun di Vietnam, diikuti oleh berbagai merek besar lainnya yang telah lebih dulu membuka fasilitas produksi di negara tersebut. Hal ini tentu berdampak positif pada peningkatan lapangan kerja dan ekonomi Vietnam secara keseluruhan.

Kepercayaan investor asing terhadap sumber daya manusia Vietnam yang unggul, yang merupakan hasil dari sistem pendidikan yang berkualitas, menciptakan peluang ekonomi yang luas. Sementara itu, Indonesia masih berkutat dengan persoalan mendasar, mulai dari tingginya angka pengangguran hingga rendahnya kualitas pendidikan. Tidak mengherankan jika antrean para pencari kerja di Indonesia semakin panjang, bahkan untuk posisi pekerjaan yang relatif sederhana seperti pelayan restoran.

Maraknya Kejahatan Ekonomi dan Sosial

Di tengah krisis ekonomi, kejahatan menjadi semakin marak. Fenomena ini terlihat dari meningkatnya kasus begal, perampokan, hingga aksi geng motor yang melibatkan remaja. Para remaja ini, sebagian besar masih berstatus siswa SMP, terlibat dalam tawuran sambil membawa senjata tajam dan merekam aksinya untuk dipamerkan di media sosial. Kondisi ini menunjukkan adanya masalah sosial yang kompleks, di mana pendidikan tidak berhasil membentuk karakter dan etika yang kuat pada generasi muda.

Krisis pendidikan ini diperparah dengan kebingungan siswa tentang pengetahuan dasar. Misalnya, ketika ditanya ibu kota Jawa Timur, sebagian dari mereka malah menjawab Yogyakarta. Contoh ini mungkin terdengar sepele, tetapi mengisyaratkan adanya persoalan serius dalam sistem pendidikan yang tidak berhasil membekali siswa dengan pengetahuan dasar yang memadai.

Persoalan Kepemimpinan dan Kebijakan yang Tidak Berubah

Krisis ekonomi dan sosial yang melanda Indonesia bukanlah hal yang baru. Selama beberapa dekade, Indonesia mengalami siklus kebijakan yang tidak efektif dan pergantian kepemimpinan yang tidak membawa perubahan signifikan. Para pemimpin politik sering kali lebih sibuk menerima pujian dari lembaga pemberi pinjaman internasional, yang menyebut Indonesia sebagai negara dengan ekonomi yang stabil, daripada menghadapi kenyataan di lapangan di mana banyak orang kehilangan pekerjaan dan menderita kesulitan ekonomi.

Pertanyaan yang sering muncul adalah, kapan Indonesia bisa maju seperti negara-negara tetangga yang sudah menunjukkan kemajuan teknologi dan ekonomi? Di saat negara-negara tetangga mulai memamerkan kecanggihan teknologi mereka, Indonesia masih sibuk dengan tren media sosial seperti TikTok dan persoalan makan gratis. Gaji guru honorer di beberapa daerah, seperti Sukabumi, bahkan hanya mencapai Rp1.000 per jam, yang memaksa mereka untuk menjadi pemulung demi menyambung hidup.

Demokrasi dan Realitas Politik

Sejak era Reformasi, demokrasi di Indonesia terus mengalami tantangan. Demokrasi yang seharusnya menjadi sarana bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang terbaik, malah seringkali dipermainkan. Banyak kepala daerah yang terpilih bukan karena kualitas atau visi mereka, tetapi karena kekuatan uang dan dukungan politik. Sistem demokrasi di Indonesia sering kali digunakan untuk memilih pemimpin dengan kualitas rendah, yang akhirnya lebih sibuk memikirkan masa pensiun mereka daripada memikirkan kesejahteraan rakyat.

Selain itu, negara ini juga tidak memiliki visi jangka panjang atau cetak biru tentang bagaimana mencapai tujuan sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dalam 50 tahun mendatang. Kebijakan yang diambil sering kali bersifat coba-coba, tanpa rencana yang jelas dan berkesinambungan. Rakyat diberi “gula-gula” politik berupa uang bantuan sosial atau janji-janji manis untuk memenangkan suara, tanpa adanya upaya nyata untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka.

Harapan di Tengah Kegelapan: Refleksi dan Solusi

Meski situasi tampak suram, bukan berarti tidak ada harapan bagi Indonesia. Setiap warga negara, terutama generasi muda, memiliki peran penting dalam menentukan masa depan. Pilkada yang sebentar lagi digelar, misalnya, dapat menjadi momentum untuk mulai memilih pemimpin yang benar-benar berkomitmen untuk bekerja demi rakyatnya. Tidak hanya memilih berdasarkan popularitas atau janji-janji manis, tetapi juga berdasarkan rekam jejak dan visi mereka untuk membawa perubahan nyata.

Memilih pemimpin yang berkualitas di tingkat lokal juga bisa menjadi batu loncatan untuk melahirkan pemimpin nasional yang kompeten di masa depan. Reformasi sistem pendidikan, kebijakan ekonomi yang berfokus pada peningkatan daya saing, dan upaya untuk memperbaiki kualitas demokrasi adalah langkah-langkah yang harus segera diambil.

Penting bagi masyarakat untuk tidak menyerah dan terus berjuang meski situasi tampak berat. Perubahan memang tidak bisa terjadi dalam semalam, tetapi dengan upaya yang konsisten dan berkelanjutan, Indonesia dapat mencapai kemajuan yang berarti dalam jangka panjang. Seberapa lama waktu yang dibutuhkan, entah itu 20, 50, atau bahkan 100 tahun lagi, perjalanan harus dimulai dari sekarang.

Kesimpulan: Melangkah ke Depan dengan Optimisme

Krisis yang dialami Indonesia saat ini seharusnya menjadi pemicu bagi perubahan yang lebih baik. Keberanian untuk menghadapi kenyataan pahit dan mengambil langkah-langkah perbaikan adalah hal yang diperlukan. Demokrasi mungkin masih memiliki banyak kekurangan, tetapi dengan partisipasi aktif dari masyarakat dalam memilih pemimpin yang berkualitas, serta dukungan untuk kebijakan-kebijakan yang mendorong perbaikan ekonomi dan sosial, Indonesia bisa memperbaiki masa depannya.

Sebagaimana secangkir kopi yang diangkat untuk menghangatkan semangat di tengah dinginnya situasi, mari kita terus menjaga optimisme. Semangat untuk terus berjuang, memperbaiki, dan melangkah ke depan harus selalu ada, meskipun jalan yang dilalui tidak selalu mulus.

Penulis

Sumarta

 

Sumber

@2045TV. Denny Siregar: Tolong, Indonesia Darurat ‼ (Gaspol #297). 15 Oktober 2024

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel