Sejarah, Keistimewaan, dan Kebijakan Tanah di Yogyakarta: Menjaga Warisan Sultan dalam Era Modern
Menjaga Warisan Sultan dalam Era Modern
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki akar sejarah yang
mendalam, dipengaruhi oleh kebijakan yang diambil oleh Kesultanan Yogyakarta
dan Kadipaten Pakualaman selama berabad-abad. Kebijakan yang diterapkan di DIY
tidak hanya mencerminkan upaya untuk melestarikan warisan budaya dan sejarah,
tetapi juga untuk mempertahankan otonomi dalam bidang perekonomian dan
pertanahan, sejak era Kesultanan Mataram hingga setelah kemerdekaan Indonesia.
Latar Belakang Kebijakan Reorganisasi (1914-1918)
Pada awal abad ke-20, tepatnya antara tahun 1914 hingga 1918, Kesultanan
Yogyakarta yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono mulai menerapkan kebijakan
reorganisasi dalam bidang perekonomian dan pertanahan. Kebijakan ini dilakukan
untuk memperkuat struktur dan tata kelola tanah di wilayah kekuasaan
Kesultanan. Sistem apanase—pengelolaan tanah oleh pejabat atau bangsawan dengan
hak-hak istimewa—dihapuskan dan diganti dengan struktur yang lebih teratur,
yaitu Kalurahan.
Kalurahan ini kemudian menjadi unit administratif terkecil di DIY yang
membentuk dasar bagi struktur pemerintahan lokal hingga saat ini. Pembentukan
Kalurahan yang dilakukan oleh Kesultanan dan Pakualaman pada tahun 1918
merupakan landasan awal yang diakui hingga era modern. Pemerintah Republik
Indonesia, yang baru terbentuk setelah kemerdekaan, tetap mempertahankan
keberadaan Kalurahan ini sebagai bagian dari keistimewaan Yogyakarta.
Penerapan Peraturan Hukum untuk Hak Tanah (1918)
Untuk memberikan hak-hak pertanahan yang lebih kuat kepada masyarakat,
Sultan mengeluarkan Rexblad Kesultanan tahun 1918, yang juga diikuti oleh Pakualaman
dengan peraturan serupa. Rexblad ini memberikan kerangka hukum untuk
pengelolaan dan kepemilikan tanah di DIY, mempertegas hak-hak rakyat dalam
mengelola lahan mereka. Pengaturan ini sangat unik karena memberikan kepastian
hukum yang langka pada masa itu dan terus mempengaruhi kebijakan tanah hingga
hari ini.
Melawan Intervensi Asing dan Melestarikan Warisan Mataram
Selama berabad-abad, Kesultanan Yogyakarta tidak hanya berperan dalam urusan
internal kerajaan, tetapi juga aktif dalam mempertahankan kedaulatan budayanya.
Kesultanan berusaha meminimalkan pengaruh asing, terutama dari pihak-pihak
seperti VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), yang pada masanya mencoba
memperluas kekuasaan melalui kontrol ekonomi dan budaya. Upaya untuk menjaga
identitas budaya Mataram terlihat jelas dalam keputusan-keputusan yang diambil,
misalnya dalam pembangunan Benteng Vredeburg.
Pada saat itu, Sultan Hamengku Buwono I dan putranya mencoba memperlambat
pembangunan benteng yang didesain oleh VOC. Kesultanan ingin memastikan bahwa
benteng tersebut tidak menjadi alat untuk memantapkan kekuasaan Belanda di
tanah Jawa. Begitu pula dalam bidang seni, seperti tari dan musik, di mana
unsur-unsur asli berusaha dipertahankan dan intervensi budaya asing
diminimalisasi. Sikap ini menjadi cerminan kebijakan Kesultanan yang terus
diwariskan, bahkan ketika menghadapi tantangan dari kebijakan yang diusulkan
oleh penguasa kolonial seperti Daendels.
Menghadapi Kebijakan Daendels di Abad ke-19
Pada tahun 1810, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels berusaha untuk
mengubah tata cara upacara dan etiket di Kesultanan. Daendels ingin menempatkan
pejabat Eropa setara dengan raja, yang secara tidak langsung merendahkan
martabat Sultan sebagai penguasa lokal. Sultan Hamengku Buwono II menolak
kebijakan ini dan terus memperjuangkan kehormatan Kesultanan. Tindakan tersebut
menunjukkan bagaimana sikap melawan campur tangan asing telah mengakar dalam
sejarah Kesultanan.
Pernyataan Kesetiaan pada Republik Indonesia
Pasca kemerdekaan, Yogyakarta memainkan peran penting dalam sejarah
nasional. Pada tahun 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam menegaskan
kesetiaan mereka kepada Republik Indonesia yang baru saja merdeka. Pernyataan
ini menjadi dasar bagi pengakuan Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa, sebuah
status yang kemudian ditegaskan dalam piagam yang diberikan oleh pemerintah
pusat pada September dan Oktober 1945.
Pada masa itu, Yogyakarta juga menjadi pusat pemerintahan sementara
Indonesia ketika ibu kota dipindahkan ke kota ini pada tahun 1946. Tidak hanya
sebagai simbol, Sultan Hamengku Buwono IX juga menyumbangkan dana pribadi dari
kas Keraton untuk mendukung perjuangan kemerdekaan, menunjukkan komitmen
Yogyakarta terhadap negara yang baru berdiri.
Kritik terhadap Status Keistimewaan DIY
Seiring dengan perkembangan zaman, status keistimewaan Yogyakarta terus
menjadi perdebatan. Beberapa kritik menyatakan bahwa keistimewaan ini tidak
lagi relevan di era modern yang demokratis, terutama karena pengisian jabatan
Gubernur DIY tidak melalui pemilihan umum seperti di daerah lain. Namun, para
pendukung keistimewaan DIY menegaskan bahwa status ini berakar kuat dalam
sejarah, legitimasi konstitusional, dan nilai-nilai sosial budaya yang telah
melekat dalam masyarakat Yogyakarta.
Landasan Hukum Keistimewaan DIY dalam Era Modern
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY mengatur
aspek-aspek khusus yang membuat Yogyakarta unik dibandingkan dengan provinsi
lain di Indonesia. Undang-undang ini mencakup tata cara pengisian jabatan
Gubernur dan Wakil Gubernur, kebijakan pertanahan, tata ruang, serta
kebudayaan. Salah satu keunikan yang paling menonjol adalah sistem pertanahan
di DIY.
Pengelolaan Tanah di DIY: Kasultanan, Pakualaman, dan Hak Rakyat
Di Yogyakarta, tidak ada konsep tanah negara seperti di wilayah lain. Semua
tanah di DIY memiliki status hak milik, baik milik rakyat, Kesultanan, maupun
Pakualaman. Tanah yang dikelola oleh Kesultanan dan Pakualaman dikenal sebagai
Sultan Ground dan Pakualaman Ground, yang merupakan aset-aset yang tidak dapat
dipisahkan dari status keistimewaan DIY.
Pengelolaan tanah ini diatur melalui Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 1 Tahun 2017 yang memberikan rincian tentang pemanfaatan tanah, termasuk
sewa, pengalihan hak, dan penggunaan untuk kepentingan umum. Peraturan ini
bertujuan untuk menjaga hak-hak masyarakat dan melindungi aset budaya serta
ekonomi dari eksploitasi yang tidak bertanggung jawab.
Tantangan dalam Pengelolaan Tanah DIY
Meskipun sistem pertanahan di DIY menawarkan kerangka yang unik dan
memberikan hak-hak yang kuat kepada masyarakat, tantangan masih ada. Persoalan
terkait konflik lahan, pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang,
dan pemanfaatan tanah oleh pihak asing menjadi isu yang perlu dihadapi secara
berkelanjutan. Selain itu, masih ada perdebatan mengenai status tanah Sultan
Ground dan Pakualaman Ground, terutama terkait dengan hak sewa dan kepemilikan
yang melibatkan pihak luar.
Menjaga Warisan dan Membangun Masa Depan
Sejarah panjang dan kebijakan tanah di DIY mencerminkan upaya Kesultanan
untuk mempertahankan otonomi dan identitas lokal. Status keistimewaan
Yogyakarta bukan hanya sekedar warisan masa lalu, tetapi juga merupakan bagian
integral dari strategi untuk membangun masa depan yang lebih sejahtera dan
berkeadilan bagi masyarakat. Dengan kebijakan yang terus beradaptasi terhadap
tantangan zaman, DIY dapat menjadi contoh bagi daerah lain dalam hal
pengelolaan tanah dan pelestarian warisan budaya.
Pengakuan dan pelaksanaan hak-hak istimewa Yogyakarta harus terus
diharmonisasi dengan kebutuhan masyarakat modern, sehingga keistimewaan ini
tetap relevan dan bermanfaat dalam konteks Indonesia yang semakin dinamis.
Penulis
Sumarta
Sumber