Tantangan dan Peluang Modernisasi Alutsista: Mengukur Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia
Mengukur Kemandirian Industri Pertahanan Indonesia
Modernisasi
alat utama sistem persenjataan (alutsista) merupakan salah satu fokus utama
dalam upaya memperkuat pertahanan suatu negara. Bagi Indonesia, perjalanan
modernisasi alutsista telah mengalami pasang surut yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor, termasuk alokasi anggaran, perkembangan industri pertahanan
dalam negeri, dan dinamika kerjasama internasional. Namun, realitas modernisasi
alutsista seringkali tidak sesuai dengan harapan yang diemban. Artikel ini akan
membahas sejauh mana pencapaian modernisasi alutsista Indonesia, termasuk
tantangan dan peluang dalam mencapai kemandirian industri pertahanan, serta
pengaruh regulasi terbaru terhadap tujuan tersebut.
Anggaran Pertahanan dan Pemenuhan Minimum
Essential Force (MEF)
Modernisasi
alutsista tidak terlepas dari alokasi anggaran pertahanan yang memadai.
Idealnya, untuk mencapai dan mempertahankan modernisasi alutsista, sebuah
negara perlu mengalokasikan sekitar 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) ke
sektor pertahanan. Angka tersebut dianggap sebagai ambang batas minimal untuk
menggantikan alutsista yang usang dengan yang baru. Jika persentase anggaran
berada pada kisaran 1,5% hingga 2%, maka anggaran tersebut hanya cukup untuk
pemeliharaan dan perawatan. Sementara itu, jika alokasi anggaran berada di
bawah 1,5%, maka kemampuan pertahanan akan terus menurun karena tidak mampu
mempertahankan kekuatan yang ada.
Selama
masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, anggaran pertahanan cenderung mengalami
penurunan dalam hal persentase terhadap PDB. Baik di era Menteri Pertahanan
Ryamizard Ryacudu maupun Prabowo Subianto, proporsi anggaran pertahanan tidak
pernah mencapai angka 2%, bahkan seringkali hanya berkisar antara 0,8% hingga
1,5%. Hal ini menunjukkan bahwa prioritas modernisasi alutsista tidak sekuat
yang diharapkan, dan kemampuan Indonesia untuk mempertahankan serta
meningkatkan kualitas alutsistanya menjadi terbatas.
Konsekuensi
dari anggaran pertahanan yang minim ini adalah berkurangnya kemampuan untuk
memperbarui persenjataan yang sudah tua, serta menambah sistem senjata baru.
Pada saat yang sama, upaya untuk memperpanjang usia pakai alutsista yang ada
menjadi semakin menantang. Modernisasi pun lebih sering berkutat pada perbaikan
atau pemeliharaan rutin daripada pengadaan baru yang dapat meningkatkan
kualitas dan kapabilitas pertahanan secara signifikan.
Tantangan dalam Modernisasi Alutsista di Tengah
Kerjasama Internasional
Indonesia
telah menjalin berbagai kerjasama internasional untuk modernisasi alutsista,
salah satunya dengan Korea Selatan dalam program pengembangan pesawat tempur
KFX/IFX. Namun, transfer teknologi yang diharapkan dari program tersebut
menghadapi kendala besar. Salah satu masalah utama adalah terkait dengan
teknologi kritis yang bersumber dari Amerika Serikat. Karena Indonesia bukan
bagian dari aliansi strategis Amerika, beberapa teknologi yang krusial tidak
dapat ditransfer sepenuhnya, menyebabkan Indonesia hanya mendapatkan versi
teknologi yang lebih rendah dari Korea Selatan.
Hal ini
menandakan bahwa meskipun upaya kerjasama internasional dilakukan untuk
memperkuat alutsista, sering kali hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.
KFX, yang seharusnya menjadi pesawat tempur generasi 4.5, mungkin tidak
sepenuhnya mendukung ambisi Indonesia untuk memiliki kemampuan tempur modern.
Keterbatasan transfer teknologi ini menjadi tantangan besar yang harus dihadapi
jika Indonesia ingin mencapai kemandirian dalam bidang pertahanan udara.
Selain
proyek pesawat tempur, Indonesia juga menghadapi masalah dalam modernisasi
kapal selam dengan Korea Selatan. Walaupun ada kemajuan dalam hal pembuatan
badan kapal, teknologi lainnya seperti sistem navigasi, radar, dan persenjataan
belum dapat sepenuhnya diproduksi dalam negeri. Kondisi ini menunjukkan bahwa
Indonesia masih bergantung pada impor teknologi untuk komponen-komponen vital,
meskipun sebagian besar pekerjaan fabrikasi fisik dapat dilakukan di dalam
negeri.
Kinerja BUMN Strategis dan Kemandirian Industri
Pertahanan
Industri
pertahanan dalam negeri Indonesia terdiri dari beberapa BUMN strategis seperti
PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia (DI), yang memiliki peran
penting dalam pengadaan alutsista bagi TNI. Meski telah mengalami perbaikan
dalam hal kesehatan korporasi dan peningkatan kinerja, tingkat kemandirian yang
dicapai masih jauh dari harapan. Pada dasarnya, kemandirian industri pertahanan
berarti mampu memproduksi seluruh komponen senjata dan peralatan tempur yang
diperlukan tanpa bergantung pada impor. Namun, hingga saat ini, kemampuan
industri pertahanan nasional masih terbatas pada produk tertentu dan sering
kali masih membutuhkan bahan baku serta komponen teknologi yang diimpor.
Misalnya,
PT Pindad telah mampu memproduksi beberapa jenis kendaraan tempur, namun untuk
kelas menengah seperti tank Harimau, Indonesia belum mampu bersaing dengan
tank-tank utama seperti Leopard. Di sektor maritim, PT PAL terus berupaya
memproduksi kapal selam dan kapal perang, tetapi tantangan terkait teknologi
yang kompleks dan kritis masih menjadi hambatan besar. Sementara itu, PT DI
terus tertatih-tatih dalam mengembangkan pesawat tempur maupun pesawat angkut
militer.
Revisi Undang-Undang dan Pengaruhnya terhadap
Kemandirian Industri Pertahanan
Dengan
diberlakukannya Omnibus Law Cipta Kerja, terdapat perubahan signifikan dalam
pengaturan industri pertahanan. Revisi terhadap Undang-Undang Industri
Pertahanan telah mengubah orientasi dari kemandirian penuh menuju keterlibatan
dalam rantai pasok global. Dalam peraturan baru ini, industri pertahanan
nasional diizinkan untuk berperan sebagai integrator produk, yang berarti dapat
bekerjasama dengan perusahaan internasional dalam bentuk joint venture atau
konsorsium untuk memenuhi kebutuhan alutsista.
Hal ini
memberikan peluang bagi industri pertahanan Indonesia untuk terlibat dalam
produksi global dan mendapatkan akses teknologi, namun pada saat yang sama juga
membuka risiko ketergantungan yang lebih besar pada produk asing. Dengan
menjadi bagian dari rantai pasok global, industri pertahanan mungkin lebih
terfokus pada aspek komersial daripada mendorong inovasi lokal yang diperlukan
untuk mencapai kemandirian penuh. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa
keterlibatan perusahaan non-BUMN dalam produksi alutsista dapat menimbulkan persaingan
yang kurang sehat, terutama dalam hal pengadaan pemerintah yang seharusnya
memprioritaskan produk dalam negeri.
Reformasi Organisasi dan Tantangan Kontrol
Sipil-Militer
Di
samping modernisasi alutsista dan industri pertahanan, organisasi dan struktur
di dalam tubuh TNI juga menghadapi tantangan tersendiri. Salah satunya adalah
kontrol sipil terhadap militer, yang menjadi isu penting dalam konteks
demokrasi. Modernisasi pertahanan seharusnya tidak hanya melibatkan aspek
pengadaan senjata, tetapi juga pembenahan struktur komando, pembagian tugas,
dan peran antara unsur militer dan sipil.
Di
Indonesia, tantangan dalam hal ini terlihat dari peran besar militer di
berbagai sektor, termasuk di luar tugas utama pertahanan negara. Pengaruh
militer yang kuat dalam politik dan ekonomi sering kali menjadi sorotan karena
bisa mengganggu prinsip subordinasi militer di bawah kendali sipil. Oleh karena
itu, upaya modernisasi juga harus diikuti dengan reformasi organisasi untuk
memastikan bahwa kekuatan militer tetap terkendali dan sejalan dengan prinsip
demokrasi.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Modernisasi
alutsista di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang signifikan,
baik dari segi anggaran, keterbatasan industri pertahanan, maupun masalah
regulasi dan organisasi. Meski upaya-upaya untuk meningkatkan kapabilitas
pertahanan sudah dilakukan, pencapaian kemandirian masih jauh dari yang
diharapkan. Beberapa rekomendasi yang bisa dipertimbangkan untuk mengatasi
permasalahan ini adalah:
1. Meningkatkan Anggaran Pertahanan Secara
Konsisten: Pemerintah perlu mengalokasikan anggaran
pertahanan yang memadai untuk mencapai minimum essential force (MEF) yang
ideal. Tanpa dukungan anggaran yang cukup, modernisasi alutsista hanya akan
menjadi wacana.
2. Memperkuat Program Riset dan Pengembangan
(R&D): Penguatan industri pertahanan dalam negeri
harus dimulai dari peningkatan kapasitas R&D, terutama dalam
teknologi-teknologi kritis yang masih diimpor. Kemandirian akan sulit dicapai
tanpa inovasi dan pengembangan teknologi lokal.
3. Mendorong Transfer Teknologi yang Lebih
Komprehensif: Kerjasama internasional tetap diperlukan,
namun Indonesia harus memperkuat posisi tawarnya dalam negosiasi transfer
teknologi, agar tidak hanya menjadi konsumen produk jadi tetapi juga produsen
komponen penting.
4. Reformasi Organisasi dan Kontrol Sipil-Militer:
Struktur organisasi di dalam tubuh militer harus dibenahi untuk memperkuat
kontrol sipil dan memastikan bahwa modernisasi pertahanan tidak hanya sebatas
pengadaan alutsista, tetapi juga mencakup aspek manajemen dan kepemimpinan.
Melalui
langkah-langkah tersebut, diharapkan modernisasi alutsista Indonesia dapat
berjalan lebih efektif dan mendukung tercapainya kemandirian industri
pertahanan.
Penulis
Sumarta
Sumber
Dialog Podcast
Akbar Faizal Uncensored dengan Andi Wijayanto (Mantan
Gubernur Lemhanas Era Presiden Joko Widodo) tanggal 12 Nopember 2024