Tantangan dan Realitas Modernisasi Pertahanan Indonesia: Dari Ekonomi Pertahanan hingga Dilema Keamanan Regional
Dari Ekonomi Pertahanan hingga Dilema Keamanan Regional
Dalam
beberapa dekade terakhir, modernisasi pertahanan di Indonesia telah menjadi
fokus penting, terutama ketika kita membicarakan alokasi anggaran dan strategi
pertahanan negara. Namun, meskipun ada niat untuk meningkatkan kemampuan
militer, berbagai faktor—terutama terkait ekonomi pertahanan—menjadi penghambat
dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Pembahasan ini akan mengulas bagaimana
upaya modernisasi pertahanan di Indonesia menghadapi kendala, apakah dalam
konteks anggaran, alutsista, maupun geopolitik regional, yang dapat menimbulkan
dilema keamanan.
Dominasi Pertempuran Darat dan Kebutuhan
Anggaran
Indonesia
dikenal sebagai negara kepulauan dengan perairan yang luas, namun penguatan
anggaran pertahanan justru lebih banyak mengarah pada pertempuran darat
dibandingkan dengan alutsista angkatan laut. Hal ini tampaknya mencerminkan
preferensi anggaran yang belum menyesuaikan dengan kebutuhan pertahanan sebagai
negara maritim. Sebagai negara yang seharusnya berfokus pada keamanan laut,
Indonesia seolah kurang memprioritaskan pembangunan kekuatan maritim secara
ideal.
Sejak
Rencana Strategis (Renstra) pertama kali diinisiasi oleh Juwono Sudarsono dan
kemudian dijalankan oleh Purnomo Yusgiantoro, proyeksi anggaran pertahanan
seharusnya meningkat bertahap. Pada awalnya, asumsi kenaikan proporsi anggaran
sebesar 1,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) menuju 2,5% bahkan hingga 3%
seharusnya sudah tercapai pada saat ini. Namun, target tersebut tidak dapat
dipenuhi karena asumsi makroekonomi yang melatarbelakangi perencanaan anggaran
tidak berjalan sesuai harapan, seperti pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah
dari yang diperkirakan.
Ketergantungan Ekonomi Pertahanan dan Dampaknya
pada Modernisasi
Ekonomi
pertahanan menjadi variabel utama dalam menentukan modernisasi alutsista.
Pemerintah sebelumnya telah mencoba merancang anggaran jangka panjang untuk
pertahanan. Misalnya, Prabowo Subianto pernah mengusulkan anggaran pertahanan
sebesar Rp 1.700 triliun untuk digunakan dalam jangka waktu 25 tahun, yang saat
itu dianggap ideal jika anggaran tahunan berkisar pada 1,5% dari PDB. Namun,
beberapa analisis mengindikasikan bahwa angka ini tidak akan cukup untuk
mencapai modernisasi yang diinginkan, apalagi jika targetnya adalah untuk
memenuhi standar NATO.
Keputusan
terkait penganggaran sering kali diwarnai oleh pertimbangan politis dan
ekonomis, bukan berdasarkan pada ancaman nyata atau karakteristik teknologi
pertahanan. Ini menyebabkan perkembangan modernisasi militer Indonesia berjalan
lambat, jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga yang memiliki
penganggaran yang lebih baik dan tepat sasaran. Bahkan, usulan untuk
menominasikan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai Menteri Pertahanan sempat
muncul dengan harapan dapat memandu strategi pertahanan berdasarkan pendekatan
ekonomi yang kuat.
Tantangan Kemandirian dalam Industri Pertahanan
Indonesia
telah lama bercita-cita untuk mencapai kemandirian dalam industri pertahanan,
dengan harapan dapat mengurangi ketergantungan pada produk impor. Beberapa
perusahaan strategis seperti PT Pindad, PT PAL, dan PT Dirgantara Indonesia
telah mengalami peningkatan kinerja. Namun, harapan untuk mencapai kemandirian
penuh dalam industri pertahanan masih jauh dari kenyataan. Dalam pengembangan
tank kelas menengah seperti Harimau, misalnya, Indonesia belum mampu melangkah
lebih jauh menuju Main Battle Tank (MBT) kelas berat seperti Leopard.
Untuk
Angkatan Laut, program kapal selam yang dijalankan dengan Korea Selatan
menghadapi kendala dalam hal transfer teknologi. Sementara untuk kapal
permukaan, kemajuan sudah terlihat meski terbatas pada pengembangan bagian
badan kapal. Pada aspek persenjataan, navigasi, dan radar, Indonesia masih
mengalami keterbatasan teknologi dan ketergantungan pada negara-negara pemasok.
Di
sektor Angkatan Udara, program pengembangan jet tempur KFX/IFX dengan Korea
Selatan juga menghadapi masalah yang serupa. Teknologi yang diinginkan
Indonesia tidak sepenuhnya dapat diperoleh, terutama karena keterbatasan dalam
transfer teknologi dari Amerika Serikat. Proyek KFX untuk Korea Selatan
diperkirakan akan menghasilkan pesawat generasi 4,5, sedangkan IFX untuk
Indonesia hanya dapat mencapai level teknologi generasi 4.
Revisi Undang-Undang Pertahanan dan Tantangan
Baru
Revisi
undang-undang pertahanan dalam UU Cipta Kerja menambah tantangan dalam mencapai
kemandirian industri pertahanan. Sebelum revisi, UU Industri Pertahanan
memiliki misi tunggal yaitu kemandirian, namun revisi memberikan jalan lain
bagi perusahaan nasional untuk menjadi bagian dari rantai pasok global. Hal ini
mempermudah perusahaan Indonesia untuk menjadi integrator atau bermitra dengan
korporasi global tanpa harus berfokus pada kemandirian.
Dengan
adanya undang-undang baru ini, arah kebijakan pertahanan menjadi lebih terbuka
untuk kolaborasi global. Namun, ini juga berarti bahwa ketergantungan pada
produk dan teknologi asing tetap ada, dan jalan menuju kemandirian semakin
sulit dicapai. Sementara itu, integrasi dalam rantai pasok global mungkin akan
membantu meningkatkan keterlibatan Indonesia di pasar internasional, tetapi
tidak serta-merta menjadikan Indonesia mandiri dalam hal produksi pertahanan.
Dilema Keamanan di Kawasan ASEAN
Ketidakmampuan
untuk sepenuhnya mandiri dalam industri pertahanan juga menempatkan Indonesia
dalam posisi yang rentan di kawasan ASEAN. Seberapa besar negara-negara
tetangga menganggap kekuatan militer Indonesia sebagai ancaman? Dalam
perencanaan Renstra, peningkatan alutsista Indonesia mungkin terlihat cukup
signifikan, namun secara realitas, masih banyak alutsista yang statusnya
kontrak dan belum datang. Hal ini menunjukkan bahwa modernisasi militer
Indonesia berjalan lambat dan belum sebanding dengan ambisi pertahanan.
Di sisi
lain, beberapa negara seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina, yang menjadi
bagian dari koalisi militer dengan negara adidaya, jauh lebih unggul dalam hal
alutsista dan anggaran pertahanan. Bahkan, kekuatan militer Indonesia dapat
dikatakan setara atau hanya sedikit lebih unggul dibandingkan dengan Vietnam
dan Filipina. Namun, begitu ada keterlibatan negara-negara ini dalam koalisi
atau aliansi dengan negara besar seperti Amerika Serikat, kesenjangan militer
Indonesia menjadi semakin jauh.
Ketakutan
negara-negara tetangga terhadap Indonesia sebenarnya tidak sepenuhnya hilang.
Dalam beberapa kesempatan, ada kekhawatiran bahwa peningkatan gelar pasukan di
wilayah perbatasan Kalimantan dapat memicu perlombaan senjata di kawasan. Hal
ini terungkap dari wawancara dengan peneliti luar negeri yang menunjukkan minat
serius mereka terhadap kekuatan militer Indonesia.
Kesimpulan: Menuju Modernisasi yang Efektif
Modernisasi
pertahanan Indonesia memerlukan perubahan pendekatan yang lebih mendasar. Fokus
pada ekonomi pertahanan sebagai variabel utama memang penting, namun tidak
boleh mengesampingkan ancaman nyata, perkembangan teknologi, dan perubahan
karakteristik perang. Pencapaian modernisasi juga membutuhkan komitmen yang
konsisten dalam alokasi anggaran pertahanan, disertai kebijakan yang mendukung
kemandirian industri pertahanan.
Kemandirian
dalam industri pertahanan tetap harus menjadi prioritas, meskipun tantangan
dalam transfer teknologi dan pengadaan alutsista masih besar. Selain itu,
Indonesia perlu lebih aktif mengelola hubungan dengan negara-negara tetangga
untuk mencegah perlombaan senjata yang tidak perlu, serta memastikan bahwa
kebijakan pertahanan tetap sejalan dengan kebutuhan strategis sebagai negara
kepulauan yang besar.
Dengan
pembenahan strategi pertahanan dan perencanaan ekonomi yang lebih terarah,
diharapkan modernisasi pertahanan Indonesia dapat menjadi lebih efektif, tidak
hanya dalam meningkatkan kekuatan militer, tetapi juga dalam mencapai
kemandirian industri pertahanan.
Penulis
Sumarta
Sumber
Dialog Podcast
Akbar Faizal Uncensored dengan Andi Wijayanto (Mantan
Gubernur Lemhanas Era Presiden Joko Widodo) tanggal 12 Nopember 2024