Tantangan Kendali Sipil dalam Reformasi Pertahanan Indonesia: Antara Keinginan Politik dan Kenyataan di Lapangan

Antara Keinginan Politik dan Kenyataan di Lapangan



Reformasi sektor pertahanan Indonesia, yang dimulai sejak 1998, bertujuan mengurangi keterlibatan militer dalam kehidupan sipil dan memperkuat kendali sipil atas angkatan bersenjata. Upaya ini dilakukan untuk menghindari potensi penyalahgunaan kekuasaan dan menciptakan transparansi serta akuntabilitas dalam pengambilan kebijakan pertahanan. Namun, sejumlah kebijakan dan perkembangan terbaru menunjukkan adanya beberapa kemunduran dalam upaya ini, terutama pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Pelibatan TNI dalam Jabatan Sipil dan Ekonomi

Salah satu persoalan mendasar dalam reformasi pertahanan adalah keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam jabatan-jabatan sipil dan urusan ekonomi. Meskipun reformasi awal bertujuan membatasi peran TNI hanya dalam pertahanan negara, fakta menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam urusan sipil masih terjadi. Beberapa kementerian dan lembaga negara diketahui mengusulkan perwira TNI aktif untuk menduduki posisi tertentu, seperti Deputi di Kantor Staf Presiden (KSP), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan beberapa posisi lainnya.

Beberapa alasan di balik pelibatan TNI dalam jabatan sipil mencakup kompetensi teknis dan kepemimpinan yang dimiliki oleh perwira militer, serta jaringan dan pengalaman mereka dalam menghadapi situasi darurat. Namun, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran tentang dominasi militer dalam birokrasi sipil dan penurunan kualitas demokrasi, yang dapat mengurangi kontrol sipil atas militer.

Sebagai contoh, upaya untuk menempatkan seorang perwira tinggi di KSP sebagai Deputi mengalami kesulitan karena regulasi yang tidak memperbolehkan perwira aktif menjabat di posisi tersebut. Situasi serupa terjadi dalam kasus pengangkatan Kepala BNPB, di mana perwira aktif harus diberhentikan dari dinas militer sebelum menjabat di posisi sipil. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada celah hukum yang memungkinkan pelibatan TNI, tetap ada batasan yang harus diikuti.

Kendali Sipil di Kementerian Pertahanan: Dari Sipil Menuju Kuasi-Sipil?

Kementerian Pertahanan, sebagai lembaga utama dalam pembentukan kebijakan pertahanan, awalnya dianggap sebagai kementerian sipil. Namun, perkembangan terbaru menunjukkan adanya dominasi militer di dalamnya. Sebelum masa Presiden Joko Widodo, semua Menteri Pertahanan berlatar belakang sipil, mulai dari Matori Abdul Djalil hingga Purnomo Yusgiantoro. Pergantian ini menunjukkan simbol komitmen terhadap kendali sipil atas militer.

Namun, situasi berubah ketika Presiden Joko Widodo mengangkat Prabowo Subianto, seorang mantan jenderal, sebagai Menteri Pertahanan. Meski Prabowo telah pensiun dari militer, latar belakangnya tetap membawa nuansa militer dalam pengambilan kebijakan pertahanan. Lebih jauh lagi, beberapa posisi strategis di Kementerian Pertahanan, seperti Direktur Jenderal Potensi Pertahanan, kembali diisi oleh perwira aktif, yang pada awal reformasi sempat diduduki oleh pejabat sipil.

Tidak hanya di level direktur jenderal, kuota penempatan pejabat militer di Kementerian Pertahanan juga menunjukkan adanya pola pembagian kekuasaan antara angkatan. Hal ini terlihat dari penempatan posisi seperti Wakil Gubernur Lemhannas dan Deputi di lembaga tersebut yang secara tidak resmi didistribusikan kepada masing-masing angkatan. Kondisi ini mengurangi fleksibilitas kendali sipil dalam memilih pejabat yang sesuai dengan kebutuhan strategis kementerian, karena posisi-posisi tersebut secara tidak langsung sudah ditentukan oleh distribusi kuota militer.

Keputusan dan Kebijakan Pertahanan: Dari Transparansi Menuju Tertutup

Di awal reformasi, kebijakan pertahanan Indonesia berfokus pada langkah-langkah transparansi melalui Confidence-Building Measures (CBM) yang bertujuan mengurangi ketegangan dan membangun rasa saling percaya di kawasan. Langkah ini melibatkan transparansi anggaran pertahanan, kebijakan, dan gelar pasukan. Namun, tren ini mulai berubah dalam beberapa tahun terakhir.

Di masa Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, beberapa aspek kebijakan pertahanan yang sebelumnya terbuka kini kembali menjadi lebih tertutup. Contohnya adalah tidak adanya penerbitan Buku Putih Pertahanan yang menjadi rujukan utama kebijakan pertahanan negara, meskipun dokumen seperti Kebijakan Umum Pertahanan (Jakum) dan Kebijakan Anggaran Pertahanan (Jagar) tetap dikeluarkan. Hal ini menimbulkan tanda tanya mengenai komitmen Indonesia terhadap transparansi di sektor pertahanan.

Selain itu, revisi Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pertahanan yang terjadi berkali-kali, hingga sepuluh kali dalam satu periode, menunjukkan adanya inkonsistensi dalam perencanaan jangka panjang pertahanan. Revisi yang terlalu sering mengindikasikan perubahan kebijakan yang mungkin tidak didasarkan pada penilaian strategis jangka panjang, melainkan pada kondisi politik dan ekonomi saat itu. Ini menunjukkan kurangnya kesinambungan dalam kebijakan pertahanan, yang bisa berdampak pada kesiapan militer dalam jangka panjang.

Tantangan Kendali Sipil: Menjawab PR Masa Depan

Melihat perkembangan selama masa pemerintahan Joko Widodo, terutama dengan dua periode berturut-turut menunjuk Menteri Pertahanan berlatar belakang militer, muncul tantangan besar dalam menjaga prinsip kendali sipil atas militer. Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) utama bagi pemerintahan berikutnya, untuk memastikan bahwa TNI benar-benar hanya berperan sebagai kekuatan pertahanan dan tidak terlibat dalam urusan sipil yang bisa ditangani oleh aparat sipil.

Beberapa PR besar yang masih harus diselesaikan antara lain penyelesaian Minimum Essential Force (MEF) dan perancangan Rencana Strategis (Renstra) pasca MEF. Target MEF yang ditetapkan dalam renstra sering kali tidak realistis, mengingat asumsi ekonomi yang tidak selalu terpenuhi. Pemerintah perlu merumuskan kembali target pertahanan yang lebih realistis dan dapat dicapai, mengingat keterbatasan anggaran dan prioritas lainnya.

Selain itu, revisi Undang-Undang TNI yang saat ini sedang dibahas juga perlu diperhatikan dengan seksama, untuk memastikan tidak ada ketentuan yang mengarah pada peningkatan peran TNI dalam urusan sipil yang seharusnya menjadi domain pemerintah sipil. Revisi ini harus tetap mengacu pada semangat reformasi, yang bertujuan memperkuat demokrasi dan supremasi sipil di atas militer.

Simbolisme dan Komitmen terhadap Reformasi

Salah satu simbol komitmen terhadap reformasi adalah penunjukan Menteri Pertahanan berlatar belakang sipil, seperti yang terjadi pada awal reformasi hingga masa Susilo Bambang Yudhoyono. Hal ini diharapkan dapat menjadi simbol nyata dari kendali sipil terhadap sektor pertahanan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, ada kecenderungan berlawanan dengan prinsip tersebut.

Keputusan untuk mengangkat menteri berlatar belakang militer dapat dipahami sebagai langkah pragmatis untuk menjamin dukungan militer dan stabilitas politik. Namun, ini juga mengisyaratkan adanya kelonggaran dalam komitmen terhadap kendali sipil, yang seharusnya menjadi salah satu landasan utama dalam reformasi.

Kesimpulan: Menjaga Semangat Reformasi di Tengah Tantangan

Reformasi pertahanan di Indonesia berada di persimpangan jalan, di mana keputusan-keputusan strategis harus diambil untuk menjaga semangat reformasi yang telah diperjuangkan sejak 1998. Pemerintah berikutnya perlu memikirkan kembali langkah-langkah yang diambil untuk memastikan bahwa TNI tetap berperan sesuai dengan fungsi utamanya, yaitu menjaga pertahanan negara, bukan terlibat dalam urusan sipil atau ekonomi.

Salah satu tantangan terbesar adalah memastikan adanya transparansi dan konsistensi dalam kebijakan pertahanan, termasuk penerbitan dokumen-dokumen strategis seperti Buku Putih Pertahanan dan kebijakan umum lainnya. Hal ini penting untuk memastikan bahwa sektor pertahanan tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan kendali sipil yang kuat.

Dengan terus memantau dan mengkaji kebijakan pertahanan, serta memastikan pelaksanaan revisi Undang-Undang TNI yang sesuai dengan semangat reformasi, diharapkan Indonesia dapat mengembangkan kekuatan militer yang modern, kuat, dan tetap berada di bawah kendali sipil yang efektif.

Penulis

Sumarta

 

Sumber

Dialog Podcast Akbar Faizal Uncensored dengan Andi Wijayanto (Mantan Gubernur Lemhanas Era Presiden Joko Widodo) tanggal 12 Nopember 2024

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel