Warisan Raffles di Jawa: Kebijakan Inggris dan Perbandingannya dengan Belanda

 

Kebijakan Inggris dan Perbandingannya dengan Belanda



Pulau Jawa, dengan segala kekayaan sejarah dan budayanya, pernah menjadi pusat perhatian beberapa penjajah Eropa, termasuk Inggris dan Belanda. Salah satu tokoh yang memiliki dampak signifikan di pulau ini adalah Thomas Stamford Raffles, seorang administrator Inggris yang memimpin Jawa pada awal abad ke-19. Sikap dan perlakuan Raffles terhadap Jawa berbeda jauh dibandingkan dengan pendekatan yang diterapkan oleh Belanda sebelumnya, terutama di bawah komando Herman Willem Daendels. Artikel ini akan menjelajahi bagaimana pendekatan Inggris, khususnya Raffles, terhadap Jawa berbeda secara struktural dan politis dibandingkan dengan pendekatan yang diterapkan oleh Belanda, serta bagaimana pendekatan ini mencerminkan perbedaan kebijakan kolonial Inggris dan Belanda selama era penjajahan di Jawa.

Raffles dan Obsesi Jawa Sejak Awal

Thomas Stamford Raffles memiliki minat yang mendalam terhadap Jawa sejak masa mudanya. Meski ia memulai karirnya dengan status yang sangat rendah sebagai seorang pegawai di East India Company, Raffles menunjukkan bakat intelektual yang luar biasa. Di awal karirnya, Raffles bekerja sebagai "tukang salin" yang bertanggung jawab untuk menyalin dokumen-dokumen penting tanpa bantuan teknologi modern seperti mesin fotokopi. Namun, berkat daya ingat yang luar biasa, Raffles mampu menghafal dan menyerap informasi secara efisien, serupa dengan tokoh-tokoh intelektual besar seperti Albert Einstein yang juga memulai karir mereka di kantor paten.

Seiring berjalannya waktu, Raffles berhasil memanfaatkan kecerdasannya untuk naik pangkat, dan akhirnya ia ditunjuk untuk memimpin Jawa setelah Inggris berhasil merebut pulau ini dari tangan Belanda. Kecintaannya pada Jawa tampak jelas dari karya-karyanya, salah satunya adalah buku monumental The History of Java yang diterbitkan pada tahun 1817. Buku ini tidak hanya menjadi bukti dari ketertarikan Raffles pada Jawa, tetapi juga merupakan salah satu kontribusi besar dalam memperkenalkan budaya dan sejarah Jawa ke dunia Barat.

Pendekatan Politik dan Diplomasi Raffles

Salah satu perbedaan utama antara Raffles dan Daendels terletak pada pendekatan politik mereka. Jika Daendels lebih dikenal sebagai sosok yang keras dan otoriter, Raffles memiliki pendekatan yang lebih halus dan diplomatis. Raffles menyadari pentingnya merangkul para pemimpin lokal dan tokoh-tokoh penting Jawa untuk mendapatkan dukungan. Ia mampu membangun hubungan yang kuat dengan berbagai elite lokal seperti Surya De Mongolo di Surabaya dan Sultan Abdul Rahman, serta berkolaborasi dengan tokoh-tokoh penting lainnya seperti Pangeran Notokusumo yang kemudian diangkat oleh Inggris sebagai Paku Alam.

Pendekatan Raffles yang halus ini sangat kontras dengan cara Daendels yang lebih keras dan militeristik. Daendels, yang memimpin Belanda selama periode yang sulit, dikenal karena kebijakannya yang brutal dalam mengendalikan penduduk lokal. Salah satu contoh paling terkenal dari kekerasan Daendels adalah eksekusi cepat terhadap Demang lokal di Ambon setelah kegagalan Belanda mempertahankan pulau tersebut dari serangan Inggris. Daendels juga tidak memiliki kemampuan berbahasa lokal yang memadai, yang semakin membatasi kemampuannya untuk membangun hubungan baik dengan penduduk setempat.

Penggunaan Budaya sebagai Alat Politik

Raffles memahami bahwa budaya lokal adalah kunci untuk membuka hati masyarakat Jawa. Selama masa pemerintahannya, Raffles berusaha mendekati masyarakat melalui cara-cara yang menghormati adat istiadat dan tradisi setempat. Salah satu strategi utama Raffles adalah menguasai bahasa Jawa, sebuah keterampilan yang memungkinkan dia berkomunikasi secara langsung dengan para bangsawan dan pemimpin lokal. Bahkan, salah satu residen Inggris, John Crawford, berhasil mempelajari bahasa Jawa dalam waktu kurang dari 18 bulan, yang membuatnya mampu bernegosiasi secara efektif dengan tokoh-tokoh seperti Pangeran Diponegoro dan Sultan Hamengkubuwono III.

Pendekatan budaya yang digunakan oleh Raffles mencerminkan pemahaman mendalamnya tentang pentingnya menghormati tradisi dan nilai-nilai lokal. Ia menggunakan budaya sebagai alat politik untuk membangun rasa saling percaya dengan para pemimpin lokal, yang pada akhirnya membantu Inggris mempertahankan kekuasaan mereka di Jawa meskipun kekuatan militer mereka relatif terbatas.

Kontras dengan Belanda: Kekerasan dan Kekejaman Daendels

Sebaliknya, Daendels lebih dikenal karena pendekatan yang brutal dan tanpa kompromi. Ia sering kali menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya, yang menyebabkan ketegangan dan kebencian di kalangan penduduk lokal. Daendels adalah seorang tokoh militer yang keras, yang sering kali lebih memilih untuk menggunakan kekuatan daripada diplomasi dalam mengatasi masalah. Kekejaman Daendels terlihat jelas dalam berbagai insiden di mana ia memerintahkan eksekusi cepat terhadap para pemimpin lokal yang dianggap membangkang.

Selain itu, di bawah pemerintahan Belanda, banyak daerah yang mengalami penjarahan dan penghancuran. Misalnya, setelah Belanda berhasil menaklukkan Malaka, mereka merampas berbagai benda berharga dan artefak budaya yang kemudian tenggelam dalam perjalanan menuju Eropa. Praktik perampasan seperti ini menjadi salah satu ciri khas kolonialisme Belanda yang lebih berorientasi pada eksploitasi kekayaan daripada pembangunan hubungan yang saling menguntungkan.

Pengaruh Warisan Raffles di Jawa

Meskipun masa pemerintahan Raffles di Jawa relatif singkat, warisannya tetap memiliki dampak yang signifikan. Karya-karyanya tentang budaya dan sejarah Jawa menjadi referensi penting bagi generasi berikutnya, dan pendekatan diplomatisnya terhadap masyarakat lokal dianggap sebagai contoh yang lebih manusiawi dibandingkan dengan kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Belanda. Namun, meskipun Raffles sering kali dipuji sebagai seorang intelektual dan diplomat yang berbakat, penting untuk diingat bahwa ia juga adalah bagian dari kekuatan kolonial yang tujuannya tetap sama: mempertahankan kendali atas tanah dan sumber daya lokal demi keuntungan negaranya.

Pada akhirnya, pendekatan yang diterapkan oleh Inggris, khususnya di bawah kepemimpinan Raffles, menawarkan sebuah model kolonialisme yang berbeda dari yang diterapkan oleh Belanda. Meskipun tidak sempurna dan masih banyak terkait dengan eksploitasi, pendekatan Inggris yang lebih halus dan berbasis budaya memberikan perspektif yang berbeda tentang bagaimana sebuah kekuatan kolonial dapat berinteraksi dengan masyarakat lokal. Namun, terlepas dari perbedaan tersebut, baik Inggris maupun Belanda tetaplah kekuatan penjajah yang tujuannya adalah untuk memaksimalkan keuntungan dari wilayah yang mereka kuasai.

Penutup

Warisan Raffles di Jawa menawarkan pelajaran penting tentang bagaimana interaksi antara penjajah dan masyarakat lokal dapat membentuk sejarah sebuah wilayah. Pendekatan diplomatis dan berbasis budaya yang diterapkan oleh Raffles menunjukkan bahwa bahkan dalam konteks kolonialisme, ada ruang untuk dialog dan penghormatan terhadap budaya lokal. Namun, pada akhirnya, kekuasaan kolonial, baik itu Inggris maupun Belanda, tetaplah sebuah bentuk penindasan yang merampas kedaulatan dan sumber daya masyarakat lokal.

 

Penulis

Sumarta

 

Sumber

Tanah Jawa 300 Tahun yang Lalu - Peter Carey | Endgame #197 (Luminaries)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel