Dinamika Tradisi dan Modernitas dalam Pemikiran Islam di Indonesia
Menggali Kembali Kearifan Al-Ghazali
Pemikiran Islam di Indonesia mengalami pergolakan intelektual yang dinamis, khususnya di kalangan santri yang mendalami tradisi Al-Ghazali. Sosok Al-Ghazali sendiri dikenal sebagai pemikir yang menganalisis dan mengkritik berbagai konsep dalam filsafat Yunani, namun dengan cara yang menekankan harmoni antara filsafat dan ajaran agama. Walaupun kritiknya terhadap filsafat sering disalahpahami sebagai penyebab kemunduran Islam, di Indonesia, ajaran Al-Ghazali justru menjadi pilar dalam membangun tradisi keislaman yang progresif dan terbuka.
Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana para pemikir Islam di Indonesia yang dipengaruhi tradisi Al-Ghazali telah menemukan cara untuk mengintegrasikan nilai-nilai tradisional dengan realitas modern. Melalui analisis mendalam, kita akan melihat bahwa ajaran Al-Ghazali tidak semata-mata menolak filsafat, tetapi justru memberikan pijakan bagi berkembangnya pemikiran Islam yang lebih fleksibel dan relevan dengan kebutuhan zaman.
Tradisi Al-Ghazali dan Pengaruhnya di Indonesia
Sejak awal, Al-Ghazali sudah memperlihatkan semangat untuk mengkritisi dan menyelami filsafat Yunani. Dalam karya-karyanya, ia tidak serta-merta menolak filsafat, namun lebih memilih untuk menyesuaikannya dengan ajaran Islam, menjadikannya sebagai "filsafat yang Islami." Hal ini terlihat dalam kritiknya terhadap filsafat Ibnu Sina dan Al-Farabi yang dianggapnya tidak sepenuhnya sesuai dengan akidah Islam. Namun, kritik ini lebih bersifat konstruktif karena Al-Ghazali sendiri menerima beberapa aspek filsafat, seperti logika, fisika, dan ilmu alam lainnya, yang menurutnya tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Di Indonesia, warisan pemikiran Al-Ghazali sangat terasa di kalangan pesantren tradisional, khususnya di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Para santri di pesantren-pesantren tersebut mendalami kitab-kitab Al-Ghazali seperti Ihya’ Ulumuddin yang mengajarkan pentingnya harmonisasi antara ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu rasional. Hal ini menciptakan generasi santri yang berwawasan luas dan mampu menempatkan ajaran agama dalam konteks sosial dan politik modern. Di kalangan pesantren ini, Al-Ghazali dianggap sebagai teladan dalam mengembangkan pemikiran yang kritis, namun tetap berpegang pada nilai-nilai Islam.
Pemberontakan Intelektual dan Pergolakan di Lingkungan Pesantren
Di lingkungan pesantren, muncul pemberontakan intelektual yang berakar dari kegelisahan terhadap keterbatasan pandangan tradisional yang sering kali tidak relevan dengan kebutuhan zaman. Banyak tokoh Islam di Indonesia seperti Ulil Abshar-Abdalla dan Gus Dur yang menunjukkan keterbukaan dalam pemikiran, bahkan melangkah lebih jauh dengan menekankan pentingnya dialog antara tradisi keislaman dan modernitas.
Sebagai contoh, jaringan Islam liberal yang digagas oleh Ulil Abshar-Abdalla tahun 2002 memperkenalkan pandangan baru tentang Islam yang menimbulkan polemik di kalangan masyarakat. Gagasan-gagasannya banyak terinspirasi dari intelektual Islam progresif seperti Mas Dawam Rahardjo, Ahmad Wahib, dan Cak Nur yang juga dikenal sebagai pemikir reformis Islam. Pengaruh-pengaruh ini mendorong para santri untuk tidak hanya mempelajari agama secara tekstual, tetapi juga memahaminya dalam konteks kehidupan nyata.
Gus Ulil sendiri menjelaskan bahwa saat ia kembali ke tradisi, kecintaannya terhadap ajaran Islam klasik justru bertambah besar. Ia merasa bahwa tradisi intelektual Islam yang dipelajarinya di pesantren dapat ditempatkan lebih proporsional dalam konteks modern. Kecintaan ini bukan sekadar penghormatan, tetapi juga upaya untuk meletakkan tradisi dalam konteks yang relevan. Seperti yang dijelaskan Ulil, penghargaan terhadap ajaran lama bisa berdampingan dengan upaya menyegarkan dan menyelaraskannya dengan kebutuhan masyarakat kontemporer.
Al-Ghazali: Antara Kritik Filsafat dan Pembaruan Islam
Sebagian kritikus menilai bahwa Al-Ghazali adalah sumber kemunduran Islam, terutama melalui kritiknya terhadap filsafat yang dikemukakan dalam Tahafut al-Falasifah (Kekeliruan Para Filosof). Kritik ini terutama diarahkan pada filsafat ketuhanan ala Aristoteles yang dipopulerkan oleh Ibnu Sina dan Al-Farabi. Menurut para kritikus ini, dualisme antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu rasional yang ditekankan Al-Ghazali telah mengarahkan umat Islam untuk lebih memilih ilmu agama dan meninggalkan ilmu rasional, sehingga memperlambat kemajuan ilmiah di dunia Islam.
Namun, tuduhan ini dibantah oleh banyak cendekiawan Islam, termasuk Ulil Abshar-Abdalla. Menurutnya, Al-Ghazali tidak membunuh filsafat, melainkan menawarkan pendekatan filsafat yang lebih selaras dengan akidah Islam. Ketika Al-Ghazali mengkritik filsafat Yunani, ia tidak serta-merta menolak ilmu rasional, melainkan hanya menyoroti bagian-bagian yang ia anggap tidak selaras dengan prinsip-prinsip ketuhanan dalam Islam. Al-Ghazali sendiri tetap menerima beberapa bagian filsafat Yunani, seperti logika, ilmu fisika, dan etika, yang dianggapnya netral dan bermanfaat bagi umat Islam.
Di Indonesia, khususnya di kalangan pesantren NU, pemikiran Al-Ghazali menjadi sumber inspirasi bagi santri dalam menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan dan tantangan modern. Mereka tidak sekadar menerima tradisi, tetapi juga mempertanyakan dan mengembangkannya. Dalam hal ini, mereka adalah "anak cucu" Al-Ghazali yang tidak hanya melestarikan, tetapi juga mengembangkan tradisi pemikiran Islam agar tetap relevan dengan tantangan zaman.
Peran Santri "Anak Cucu" Al-Ghazali dalam Kehidupan Sosial-Politik
Di Indonesia, para santri yang terpengaruh pemikiran Al-Ghazali terbukti memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas sosial-politik, terutama dalam melawan radikalisme dan mendukung NKRI. Mereka adalah kelompok yang mendukung kebinekaan dan memperjuangkan demokrasi yang inklusif. Pandangan ini menjadikan para santri dari pesantren NU sebagai garda terdepan dalam melawan kelompok-kelompok radikal yang menentang konsep negara bangsa dan ingin mendirikan sistem pemerintahan agama yang kaku.
Misalnya, pada kasus penistaan agama yang melibatkan Ahok beberapa tahun lalu, sejumlah kiai dan santri dari pesantren tradisional tampil sebagai saksi yang memberikan kesaksian untuk mempertahankan keadilan. Mereka menunjukkan bahwa pandangan Islam yang moderat dan inklusif yang diajarkan di pesantren NU tetap relevan dalam membangun demokrasi yang damai. Hal ini menunjukkan bahwa warisan Al-Ghazali telah diadaptasi menjadi tradisi keislaman yang progresif dan terbuka terhadap perubahan.
Menyelaraskan Tradisi dan Modernitas
Tantangan terbesar bagi umat Islam saat ini adalah bagaimana menyelaraskan antara nilai-nilai tradisional yang diwarisi dari ulama klasik seperti Al-Ghazali dengan tuntutan zaman modern. Banyak pemikir Muslim modern di Indonesia yang berusaha mengatasi ketegangan antara tradisi dan modernitas. Mereka meyakini bahwa tradisi harus tetap dihargai, namun tidak berarti harus dipertahankan tanpa perubahan.
Sebagai contoh, Gus Dur sebagai tokoh penting NU menunjukkan bahwa pemikiran Islam harus adaptif dan inklusif. Ia menekankan pentingnya nilai-nilai keadilan, pluralisme, dan kemanusiaan dalam Islam. Dengan mengembangkan pemikiran Islam yang inklusif, para santri yang terpengaruh oleh tradisi Al-Ghazali dapat mempertahankan relevansi mereka dalam menghadapi perkembangan zaman tanpa kehilangan identitas keislaman mereka.
Kesimpulan
Pemikiran Al-Ghazali, meskipun sering disalahpahami, sebenarnya telah memberikan kontribusi yang besar dalam mengembangkan tradisi Islam yang inklusif dan adaptif. Di Indonesia, pengaruhnya terlihat nyata dalam dinamika pemikiran Islam di pesantren-pesantren NU yang mencetak generasi santri dengan pandangan progresif. Mereka tidak hanya mewarisi ajaran Al-Ghazali, tetapi juga mengembangkannya agar sesuai dengan tantangan sosial, politik, dan intelektual masa kini.
Warisan pemikiran Al-Ghazali menjadi bukti bahwa tradisi Islam dapat diselaraskan dengan modernitas tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip dasar keagamaan. Justru melalui dialog antara tradisi dan modernitas, Islam dapat terus berkembang dan memberikan kontribusi positif dalam membangun masyarakat yang damai, adil, dan inklusif.
Editor
Sumarta