Ide dan Cerita dalam Kehidupan Sehari-Hari
Ide dan Narasi dalam Kehidupan Sehari-Hari
Di tengah kehidupan modern yang sarat dengan informasi dan opini, narasi memainkan peran penting dalam membentuk pandangan dan tindakan masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh berbagai pemikir sosial, banyak tindakan sosial manusia tidak semata-mata didorong oleh logika atau kebutuhan praktis. Sebaliknya, berbagai tindakan dan pandangan sering kali didasari oleh ide-ide besar dan narasi yang telah berakar dalam budaya dan sistem nilai kolektif. Narasi ini tidak hanya berfungsi sebagai media untuk menyampaikan pesan dan ide, tetapi juga sebagai landasan bagi identitas individu maupun kelompok. Dalam konteks Indonesia, salah satu narasi besar yang terus menjadi perbincangan adalah konsep "ambang batas presiden 0%," sebuah isu yang menggugah opini publik dan menyoroti pentingnya diskusi kritis dalam masyarakat. Tanpa adanya perdebatan yang sehat, ide-ide seperti ini dapat diterima begitu saja tanpa penyelidikan kritis, atau bahkan lebih parah, menjadi instrumen propaganda yang merugikan.
Dalam era digital, berpikir kritis menjadi kian krusial. Dengan
kemampuan ini, kita bisa memisahkan fakta dari narasi dan menganalisis apakah
sebuah ide benar-benar cocok dengan kebutuhan masyarakat atau hanya berfungsi
sebagai slogan kosong. Memang, narasi memiliki daya tarik emosional yang besar,
sering kali membuat masyarakat terpengaruh tanpa mempertanyakan validitasnya.
Ketika sebuah narasi merasuk dalam identitas kolektif, seperti kebanggaan
terhadap identitas nasional, banyak orang merasa enggan untuk menguji narasi
tersebut melalui realitas objektif. Hal ini terutama terlihat dalam konteks
"Indonesia adalah negara besar." Kebanggaan akan identitas nasional
semacam ini memang memiliki sisi positif, namun dapat menjadi penghalang bagi
perubahan ketika masyarakat lebih memilih menerima narasi tersebut daripada
melakukan evaluasi kritis. Dogma seperti ini, tanpa disadari, bisa menghambat
diskusi yang sehat dan melanggengkan ide-ide lama tanpa ada upaya untuk
menyempurnakannya sesuai dengan tantangan zaman.
Menurut Miller (2019), narasi semacam ini dapat bertindak sebagai
batasan dalam berinovasi atau beradaptasi dengan realitas baru. Di sinilah
pentingnya kemampuan berpikir kritis dalam memeriksa kembali narasi yang sudah
tertanam. Sebagai contoh, dalam dunia politik, isu ambang batas presiden 0% di
Indonesia menunjukkan bagaimana sebuah ide bisa menjadi kontroversial dan
membangkitkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Hal ini mencerminkan peran
narasi dalam kehidupan sehari-hari, yang mampu menciptakan diskusi namun juga
berpotensi menjadi dogma jika diterima tanpa pengujian. Dengan berpikir kritis,
masyarakat dapat mempertimbangkan berbagai sisi dari ide tersebut, mengevaluasi
dampak positif dan negatifnya, serta mempertimbangkan apakah ide tersebut
benar-benar sesuai dengan aspirasi kolektif atau hanya menjadi alat bagi
kepentingan tertentu.
Narasi-narasi besar ini, selain memiliki daya tarik emosional, juga
berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial. Para ahli seperti Anderson dalam Imagined
Communities (2006) menekankan bahwa narasi dapat membentuk identitas
nasional, menciptakan perasaan kebersamaan dan kesetiaan yang memperkuat kohesi
sosial. Namun, ini bukan berarti bahwa narasi harus selalu diterima tanpa
kritik. Dalam kasus Indonesia, narasi "Indonesia adalah negara besar"
adalah salah satu contoh nyata bagaimana sebuah ide dapat digunakan untuk
memupuk kebanggaan kolektif dan memperkuat rasa persatuan. Tetapi, narasi
tersebut bisa berubah menjadi dogma yang stagnan apabila tidak diimbangi dengan
pencapaian dan pembuktian nyata dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial.
Dengan demikian, berpikir kritis menjadi alat yang penting untuk menilai sejauh
mana narasi-narasi besar ini relevan dan produktif dalam memajukan bangsa.
Peran narasi dalam membentuk pandangan masyarakat juga ditegaskan oleh
Edward Said dalam Orientalism (1978). Menurut Said, persepsi manusia
sering kali dibentuk oleh konstruksi narasi yang tidak selalu sejalan dengan
kenyataan objektif. Hal ini mengindikasikan bahwa narasi bisa menjadi alat yang
kuat untuk membentuk persepsi, sekaligus menjadi jebakan ketika digunakan untuk
mengarahkan opini publik tanpa dasar yang kuat. Dalam konteks Indonesia, banyak
narasi tentang kebanggaan nasional, keunikan budaya, dan kekayaan alam yang
dimanfaatkan sebagai simbol identitas. Namun, tanpa upaya untuk mengonfirmasi
narasi-narasi tersebut dengan data objektif atau pencapaian konkret, narasi
tersebut hanya akan menjadi klise yang tidak membawa dampak nyata bagi
masyarakat. Misalnya, gagasan bahwa "Indonesia adalah negara kaya sumber
daya alam" telah lama menjadi bagian dari identitas nasional, namun banyak
masyarakat yang tidak mendapatkan manfaat langsung dari kekayaan tersebut.
Selain itu, narasi yang tidak diuji dapat menimbulkan masalah dalam
pengambilan keputusan. Dalam dunia politik dan sosial, narasi sering kali
dipakai untuk membenarkan kebijakan yang kontroversial. Ambang batas presiden,
misalnya, bisa dilihat sebagai bentuk narasi politik yang mengarahkan publik
untuk percaya pada suatu sistem tanpa mempertimbangkan implikasi yang lebih
luas. Jika masyarakat tidak menguji narasi ini secara kritis, maka mereka
rentan terhadap manipulasi. Kritik dan perdebatan adalah mekanisme yang
diperlukan untuk menghindari dampak negatif dari narasi yang dibiarkan tumbuh
tanpa kontrol. Dengan diskusi yang sehat, kita bisa mengevaluasi apakah suatu
ide masih relevan atau perlu disesuaikan dengan realitas baru.
Di sisi lain, narasi juga memiliki kekuatan untuk memotivasi perubahan.
Sebagai contoh, narasi perjuangan melawan kolonialisme dan penjajahan yang dulu
memotivasi para pahlawan Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan. Narasi ini
tetap hidup hingga hari ini, menginspirasi masyarakat untuk terus menjaga
kemerdekaan dan memajukan bangsa. Sebuah narasi, ketika dipadukan dengan
tindakan yang konkret, dapat membangkitkan semangat kolektif dan menghasilkan
perubahan positif. Oleh karena itu, tantangan bagi masyarakat adalah memadukan
narasi dengan kenyataan objektif dan memastikan bahwa narasi tersebut didukung
oleh fakta yang valid dan tindakan yang nyata.
Menurut Gutting (2018), berpikir kritis dalam menelaah narasi bukan
hanya tentang menemukan kesalahan dalam argumen, tetapi juga memahami alasan
dan konteks di balik suatu pandangan. Ini penting untuk menghindari sikap
skeptis yang berlebihan dan memungkinkan kita untuk tetap terbuka terhadap
ide-ide baru. Narasi besar seperti "ambang batas presiden 0%" bukan
hanya soal angka, tetapi juga soal prinsip-prinsip demokrasi, representasi, dan
partisipasi rakyat. Melalui pemikiran kritis, masyarakat dapat mempertimbangkan
aspek-aspek tersebut secara lebih komprehensif, tidak hanya berdasarkan
emosional atau opini yang bersifat sementara.
Kemampuan berpikir kritis yang disertai dengan pemahaman mendalam terhadap
narasi memberikan masyarakat alat yang diperlukan untuk terlibat secara
konstruktif dalam diskusi sosial. Di era di mana informasi tersedia dalam
jumlah besar dan bisa diakses dalam hitungan detik, kebiasaan untuk
mempertanyakan narasi sebelum menerimanya menjadi keterampilan yang tak
ternilai. Di sini, peran pendidikan dan media massa sangat krusial. Institusi
pendidikan harus mampu membekali generasi muda dengan keterampilan berpikir
kritis, sementara media massa perlu menyajikan informasi yang seimbang dan
mendorong masyarakat untuk berpikir lebih dalam.
Dengan demikian, narasi yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari tidak
bisa diterima begitu saja sebagai kebenaran yang mutlak. Narasi memiliki daya
yang kuat, tetapi juga membutuhkan verifikasi dan diskusi untuk memastikan
bahwa pesan yang terkandung di dalamnya sesuai dengan kepentingan bersama.
Dengan berpikir kritis, masyarakat dapat melihat di balik narasi, memahami
kompleksitasnya, dan mengambil keputusan yang lebih bijaksana. Narasi yang sehat
adalah narasi yang selalu terbuka untuk dikaji dan diperbaharui agar relevan
dengan dinamika zaman.
Penulis
Sumarta
Referensi:
Anderson, B. (2006). Imagined Communities: Reflections on the Origin
and Spread of Nationalism. Verso.
Chronicles
bersama Bagus Muljadi. Rocky Gerung: Di Mana Letak Akal Budi Bangsa
Hari Ini? dari https://www.youtube.com/@bagusmuljadi
yang diupload pada 8 Bovember 2024
Gutting, G. (2018). Thinking the Impossible: French Philosophy Since
1960. Oxford University Press.
Miller, M. (2019). The Power of Narrative in Shaping Societal Values.
Journal of Social Theory, 34(2), 120-134.
Said, E. (1978). Orientalism. Pantheon Books.