Landasan Naratif untuk Masa Depan Indonesia di IKN
Sebuah
Landasan Naratif untuk Masa Depan Indonesia di IKN
Indonesia
saat ini sedang menghadapi pergeseran besar dalam sejarahnya, tidak hanya
secara fisik dengan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) tetapi juga secara
intelektual dan moral. IKN bukan hanya situs fisik; ia menyimpan potensi untuk
menjadi situs intelektual dan moral, simbol bagi visi masa depan Indonesia.
Namun, visi ini tidak lepas dari kritik. Dalam proses membangun dan mengokohkan
IKN, ada ketegangan antara gagasan kemajuan dengan nilai-nilai feodalisme yang
secara tidak langsung hadir di dalam proses pembangunan itu sendiri. IKN, jika
dipahami dan dirancang secara kritis, dapat menjadi sebuah kota intelektual yang
lahir dari pertukaran ide dan dialog yang aktif di antara warganya.
Salah
satu kritik utama terhadap IKN adalah bahwa ia dibangun tanpa memperhatikan
narasi intelektual yang diperlukan untuk menciptakan sebuah kota yang memadai
sebagai pusat intelektual. Sebaliknya, pembangunan kota ini lebih merefleksikan
keinginan untuk memperlihatkan kemegahan fisik dan bukan investasi pada
struktur intelektual jangka panjang. Pada titik ini, pembangunan IKN
menghadirkan paradoks: harapan bahwa IKN menjadi lambang kemajuan intelektual,
namun dilaksanakan dengan pendekatan yang cenderung feodal. Feodalisme dalam
proyek besar seperti IKN tampak dalam kecenderungan pihak pengambil kebijakan
untuk mengabaikan keterlibatan masyarakat dalam merumuskan visi dan narasi
besar bangsa yang diwakili oleh kota baru tersebut. Feodalisme ini hadir ketika
hanya sedikit ruang bagi pertentangan ide, seolah kecepatan pembangunan menjadi
prioritas utama tanpa memperhitungkan keterlibatan intelektual di dalamnya.
Pembangunan
IKN menyimpan potensi besar untuk menjadi pusat narasi baru Indonesia, yang
melampaui perdebatan fisik menjadi wacana yang menggugah intelektualitas
masyarakat. Namun, cita-cita ini hanya bisa tercapai jika ruang diskusi dan
pertentangan ide diizinkan berkembang dalam kota tersebut. Menjadikan IKN
sebagai kota intelektual berarti menciptakan ruang di mana warga negara dapat
berpartisipasi dalam menyusun narasi kebangsaan. Hal ini sejalan dengan
pemikiran filsuf politik bahwa bangsa lahir dan berkembang melalui perdebatan dan
perselisihan yang sehat. Sebagai contoh, Jean-Jacques Rousseau mengemukakan
pentingnya kontrak sosial yang melibatkan partisipasi aktif dari seluruh
anggota masyarakat (Rousseau, 1762). Melalui IKN, Indonesia bisa membentuk
kontrak sosial baru, sebuah komitmen bersama untuk membangun bangsa dalam
kerangka kesetaraan dan keterbukaan.
Di sisi
lain, gagasan nasionalisme memainkan peran penting dalam pembangunan IKN.
Nasionalisme dapat menjadi pendorong bagi keterlibatan sosial dalam pembangunan
IKN sebagai simbol persatuan bangsa. Namun, hal ini juga memunculkan pertanyaan
mengenai batas antara nasionalisme dan liberalisme dalam mewujudkan pembangunan
yang inklusif. Di banyak negara, nasionalisme sering kali mengalahkan gagasan
liberalisme dalam menentukan arah kebijakan. Fenomena seperti Brexit dan
kebangkitan populisme di Amerika Serikat dan Eropa menjadi bukti bahwa dalam
konteks yang penuh ketidakpastian, nasionalisme cenderung mendominasi narasi
kebangsaan (Kaufmann, 2018). Tetapi, apakah nasionalisme semacam ini sesuai
dengan konteks Indonesia, sebuah negara yang terdiri dari beragam suku, agama,
dan budaya? Seharusnya, nasionalisme di Indonesia dipadukan dengan
prinsip-prinsip liberalisme yang menghargai perbedaan dan memberikan ruang bagi
keberagaman.
Secara
historis, bangsa Indonesia selalu berdiri di atas narasi kebangsaan yang
inklusif, yang berakar dari nilai-nilai liberalisme. Nilai-nilai ini tercermin
dalam cita-cita kemerdekaan dan juga Pancasila yang menjadi dasar ideologi
negara. Ketika partai liberal di Belanda berkuasa pada abad ke-19, mereka
membuka ruang bagi diskusi mengenai kemerdekaan Indonesia. Liberalisme
memungkinkan terciptanya ruang berpikir yang membebaskan, sebuah landasan yang
menjadi dasar pergerakan kemerdekaan di Indonesia (Noer, 1990). Di sisi lain,
bangsa ini juga berpegang teguh pada persatuan yang melampaui perbedaan,
sebagaimana tertuang dalam sila ketiga Pancasila. Namun, seiring dengan
perkembangan dunia modern, prinsip-prinsip liberalisme yang menghargai
kebebasan individu semakin mengalami tekanan dalam konteks nasionalisme yang
sempit.
Kritik
terhadap pembangunan IKN juga dapat dilihat dari perspektif teori-teori sosial
klasik, seperti pemikiran Thomas Hobbes tentang kekuasaan dan ketertiban. Dalam
bukunya, Leviathan,
Hobbes menyatakan bahwa kekuasaan yang kuat diperlukan untuk menjaga stabilitas
dalam masyarakat yang penuh ketidakpastian (Hobbes, 1651). Namun, dalam konteks
Indonesia modern, kekuasaan semacam ini harus dibatasi oleh hukum dan etika
agar tidak berubah menjadi otoritarianisme. Oleh karena itu, pembangunan IKN
membutuhkan kerangka hukum dan etika yang kuat agar menjadi tempat di mana
kebebasan berpikir dan inovasi intelektual dapat berkembang tanpa tekanan
politik atau ideologi tertentu.
Ketika
kita melihat ke masa depan, pertanyaannya adalah apakah IKN akan menjadi sebuah
kota yang benar-benar merefleksikan visi bersama Indonesia atau hanya sekadar
kota administratif yang terbebas dari dinamika sosial dan intelektual. Dalam
kaitannya dengan visi besar Indonesia sebagai negara demokratis dan inklusif,
IKN memiliki peluang untuk menjadi model bagi kota-kota lain dalam hal
integrasi antara modernitas dan kebangsaan. IKN dapat menjadi contoh bagaimana
sebuah kota dapat dibangun tanpa harus mengorbankan nilai-nilai kebebasan
berpikir dan keterbukaan. Namun, untuk mencapai itu, proses pembangunan IKN
harus mengakomodasi pertarungan ide dan keterlibatan intelektual masyarakatnya.
Dalam
menghadapi tantangan ini, penting bagi Indonesia untuk mengingat bahwa
kebebasan intelektual dan keterbukaan terhadap ide-ide baru adalah landasan
dari bangsa yang beradab. Pembangunan IKN seharusnya tidak hanya didasarkan
pada ambisi untuk memperlihatkan kemegahan, tetapi juga pada keinginan untuk
menciptakan ruang di mana setiap warga negara merasa memiliki dan mampu
berkontribusi dalam menentukan masa depan bersama. Seperti yang pernah
dikatakan oleh Rocky Gerung, “Indonesia dihidupkan oleh perkelahian naratif” –
sebuah pernyataan yang menekankan pentingnya dialog dalam membentuk identitas
dan arah bangsa. Hanya dengan cara ini, IKN dapat benar-benar menjadi simbol
kemajuan yang berakar pada prinsip-prinsip keadilan sosial dan kemanusiaan yang
adil dan beradab, sesuai dengan Pancasila.
Sebagai
kesimpulan, IKN memiliki potensi besar untuk menjadi pusat intelektual baru
bagi Indonesia, tetapi ini hanya mungkin terjadi jika ada keterbukaan terhadap
pertarungan ide dan keterlibatan intelektual dari seluruh lapisan masyarakat.
Dalam menghadapi dunia yang semakin kompleks, Indonesia perlu mendasarkan
pembangunan nasionalnya pada prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan, dan
keterbukaan. Hanya dengan cara ini, IKN bisa menjadi lebih dari sekadar ibu
kota administratif, tetapi juga sebagai simbol harapan dan masa depan bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Penulis
Sumarta
Referensi:
Chronicles
bersama Bagus Muljadi. Rocky Gerung: Di Mana Letak Akal Budi Bangsa
Hari Ini? dari https://www.youtube.com/@bagusmuljadi
yang diupload pada 8 Bovember 2024
Hobbes,
T. (1651). Leviathan.
Oxford University Press.
Kaufmann,
E. (2018). Whiteshift:
Populism, Immigration, and the Future of White Majorities. Penguin
Books.
Noer, D.
(1990). The
Modernist Muslim Movement in Indonesia, 1900-1942. Oxford University
Press.
Rousseau,
J. J. (1762). The Social Contract.