Menelusuri Perjalanan Pemikiran Gus Ulil Abshar-Abdalla
Menghidupkan Kembali Tradisi dan Reformasi
Bincang-bincang seputar pemikiran dan perjalanan tokoh-tokoh intelektual sering kali memberi perspektif yang lebih luas tentang bagaimana gagasan mereka berkembang dan merespons tantangan zaman. Salah satu tokoh yang sering mengisi diskusi seputar pembaruan pemikiran Islam di Indonesia adalah Ulil Abshar-Abdalla, lebih dikenal sebagai Gus Ulil, seorang intelektual dan tokoh yang dikenal karena pendekatannya yang progresif dan liberal dalam Islam. Gus Ulil, yang menjadi ikon di awal dekade 2000-an dengan gagasan-gagasan yang menantang tradisi, kini dianggap telah melalui evolusi pemikiran yang tidak sedikit. Lantas, bagaimana Gus Ulil melihat perkembangan pemikirannya sendiri? Artikel ini menyajikan analisis tentang perjalanan intelektual Gus Ulil dari perspektif yang kaya akan dinamika keilmuan dan tradisi Islam.
Latar Belakang dan Akar Intelektual
Sebagai seorang yang tumbuh dalam tradisi pesantren, Gus Ulil sudah memiliki keterikatan mendalam dengan tradisi keilmuan Islam sejak kecil. Lingkungan keluarga dan pendidikan di pesantren membentuk dasar intelektualnya, terutama dalam memahami dan mendalami kitab kuning, fiqh, dan ilmu alat seperti Nahwu dan Shorof. “Saya mencintai tradisi,” katanya, mengakui bahwa rasa cinta pada ilmu dan bahasa Arab diwariskan oleh ayahnya, seorang kiai yang juga mencintai tradisi literatur klasik Islam.
Namun, pada saat yang sama, sejak muda ia menyimpan banyak pertanyaan kritis tentang sejumlah aspek dalam tradisi. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya berpusat pada aspek praktis fiqh tetapi juga mencakup isu-isu teologis dan sosio-politik yang sedang berlangsung. “Kritik itu sudah ada sejak dulu,” ungkapnya. Namun, keberaniannya untuk mengekspresikan kritik-kritik ini baru tumbuh ketika ia berinteraksi dengan tulisan-tulisan tokoh pemikir pembaruan Islam, seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur), Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pemikiran-pemikiran dari para intelektual tersebut memberinya inspirasi dan keberanian untuk memformulasikan protes yang selama ini bergejolak dalam dirinya.
Semangat Pemberontakan Dekade 80-an dan 90-an
Dekade 80-an dan 90-an menjadi masa yang sangat berpengaruh dalam membentuk Gus Ulil sebagai pemikir yang kritis terhadap tradisi. Ia menyebut dekade tersebut sebagai “masa keemasan” bagi intelektual Islam Indonesia yang berani mendobrak pemikiran-pemikiran konvensional. Pada era ini, ia tumbuh sebagai bagian dari generasi pemberontak, di mana banyak anak muda yang mulai mempertanyakan praktik keagamaan yang telah mapan dan menggagas pembaruan. Semangat pemberontakan ini, menurut Gus Ulil, merupakan kelanjutan dari semangat generasi sebelumnya, seperti Ahmad Wahib dan Nurcholish Madjid, yang berani mempertanyakan interpretasi keagamaan yang ada.
Pemikiran pembaruan dari generasi Gus Ulil dan pendahulunya tidak hanya terbatas pada wacana teologis semata tetapi juga mencakup isu-isu sosial-politik. Dalam konteks ini, Gus Ulil melihat pembaruan pemikiran Islam sebagai bagian dari usaha untuk memberikan alternatif pandangan yang inklusif dan terbuka terhadap berbagai isu kontemporer.
Berdirinya Jaringan Islam Liberal (JIL)
Pada awal tahun 2000-an, Gus Ulil memantapkan posisinya sebagai salah satu penggagas Jaringan Islam Liberal (JIL), sebuah kelompok yang menyuarakan Islam progresif dan liberal di Indonesia. Pembentukan JIL terjadi pada era reformasi, masa di mana Indonesia baru saja keluar dari rezim otoritarianisme Orde Baru. Dengan semangat kebebasan yang diusung oleh reformasi, Gus Ulil dan rekan-rekannya melihat peluang besar untuk mendorong pemikiran Islam yang lebih terbuka, demokratis, dan berani menantang konsep-konsep keagamaan yang kaku dan eksklusif.
Namun, perjalanan JIL tidak berjalan mulus. Gagasan-gagasan yang diusung Gus Ulil kerap mendapat perlawanan keras dari kelompok-kelompok konservatif dan radikal yang juga muncul di era reformasi. “Saya muncul pada situasi yang berbeda,” ujarnya, menjelaskan bahwa berbeda dengan generasi Cak Nur atau Gus Dur yang hidup di masa kontrol ketat rezim Orde Baru, Gus Ulil muncul dalam konteks kebebasan politik pasca-reformasi yang juga membuka ruang bagi kelompok-kelompok ekstremis.
Kritik yang datang kepada JIL dan Gus Ulil beragam. Salah satu kritik utama adalah tentang gagasan menolak formalisasi syariat Islam dalam kehidupan publik di Indonesia. Bagi Gus Ulil, penerapan syariat Islam sebagai hukum formal di Indonesia bertentangan dengan prinsip keberagaman dan kebebasan yang dianut oleh Pancasila dan UUD 1945. Hal ini tentu saja menuai reaksi keras dari kelompok-kelompok yang menginginkan formalisasi syariat, yang pada akhirnya melahirkan kontroversi.
Evolusi Pemikiran: Dari Kritik ke Kecintaan pada Tradisi
Banyak yang mempertanyakan apakah Gus Ulil telah berubah dari seorang pemikir yang kritis menjadi seorang yang lebih “konservatif” dalam pendekatannya terhadap tradisi. Ia sendiri mengakui bahwa ada perubahan dalam pendekatannya, tetapi perubahan itu, menurutnya, hanyalah pada permukaan. “Perubahan yang kelihatan itu perubahan hanya di tingkat permukaan saja,” ujarnya. Gus Ulil melihat dirinya tidak pernah benar-benar meninggalkan tradisi. Sebaliknya, kecintaan pada tradisi itu selalu ada, hanya saja dulu diekspresikan melalui kritik yang tajam, sementara sekarang lebih dalam bentuk penghargaan dan upaya untuk menghidupkan kembali tradisi.
Kembali ke tradisi dalam pandangan Gus Ulil bukan berarti menerima begitu saja seluruh praktik keagamaan yang ada. Sebaliknya, ia ingin membaca tradisi dengan “kacamata baru,” yakni perspektif yang ia dapatkan dari pengalamannya belajar dan memahami pemikiran-pemikiran modern. Gus Ulil menganalogikan dirinya sebagai seorang musafir yang telah berkelana ke berbagai negeri dan kemudian kembali dengan wawasan baru tentang tanah kelahirannya. Tradisi, bagi Gus Ulil, adalah aset yang berharga dan kaya akan kebijaksanaan, tetapi untuk tetap relevan, ia harus terus ditafsirkan ulang sesuai dengan konteks zaman.
Mengaji Kembali: Pendekatan Baru dalam Mencintai Tradisi
Langkah Gus Ulil untuk mengadakan kajian keilmuan yang disebut dengan “Ngaji Ihya” adalah bukti nyata dari kecintaannya pada tradisi. Dengan mengkaji kitab “Ihya Ulumuddin” karya Imam Al-Ghazali, Gus Ulil menunjukkan bahwa nilai-nilai dan hikmah yang terkandung dalam literatur klasik Islam tetap relevan hingga kini. Namun, pendekatannya tidak sekadar mengaji dalam arti membacakan kitab secara harfiah; ia mengaji dengan kacamata yang kritis dan reflektif, mengupas kandungan kitab klasik tersebut dengan pemahaman yang sudah ia peroleh melalui perjalanan intelektualnya selama ini.
Ngaji Ihya yang diselenggarakan Gus Ulil adalah contoh nyata bagaimana ia menggunakan pendekatan baru dalam menghargai dan mencintai tradisi. Dengan latar belakang pemikiran liberal dan progresif yang ia miliki, Gus Ulil tidak hanya sekadar membaca teks tetapi juga menginterpretasikan dan mengontekstualisasikan ajaran-ajaran Imam Al-Ghazali untuk menjawab tantangan zaman. Ia menyatakan, “Saya membaca tradisi dengan kacamata baru, bukan dengan kacamata lama.”
Menuju Keilmuan Islam yang Inklusif
Di tengah berbagai kritik dan kontroversi, Gus Ulil tetap berpegang pada prinsip inklusivitas dalam pemikiran Islam. Baginya, Islam adalah agama yang universal dan harus mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam. Prinsip inklusivitas ini menuntun Gus Ulil untuk tetap membuka diri terhadap berbagai gagasan, baik dari dalam maupun luar Islam, dan mempertimbangkan relevansinya dengan kondisi zaman yang terus berubah.
Gus Ulil juga memahami bahwa Islam di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan negara-negara lain, terutama di Timur Tengah. Oleh karena itu, pemikiran Islam di Indonesia harus mampu menjawab kebutuhan masyarakatnya yang plural dan multikultural. Dalam konteks inilah, Gus Ulil melihat pentingnya untuk terus memperbaharui dan menghidupkan kembali tradisi keilmuan Islam di Indonesia dengan pendekatan yang inklusif dan terbuka.
Kesimpulan
Perjalanan pemikiran Gus Ulil Abshar-Abdalla adalah refleksi dari dinamika keilmuan dan tradisi Islam di Indonesia. Dari awal yang penuh kritik hingga sekarang dengan semangat menghidupkan tradisi, Gus Ulil menunjukkan bahwa perubahan adalah bagian tak terpisahkan dari proses pemikiran yang sehat. Ia tidak lagi sekadar menjadi sosok pemberontak tetapi lebih sebagai penjaga tradisi yang berpikiran terbuka. Dengan menggabungkan pendekatan kritis dan kecintaan pada tradisi, Gus Ulil membuka jalan bagi generasi berikutnya untuk merangkul Islam yang inklusif dan relevan di tengah tantangan zaman.
Editor
Sumarta