Menggali Kejeniusan Al-Ghazali, Gus Dur, dan Warisan Islam Progresif di Indonesia
Kritik Intelektual dan Inovasi Pemikiran
Al-Ghazali dikenal sebagai sosok intelektual kritis dalam sejarah Islam yang tidak puas hanya berpegang pada dogma dan rutinitas tekstual. Beliau tidak sekadar menguasai fiqh, tetapi juga menggagas kritik yang tajam terhadap pendekatan beragama yang terlalu legalistik. Karya Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, memuat kritik mendalam terhadap ulama yang terpaku pada aspek formal ajaran agama, tanpa memperhatikan sisi esensialnya. Al-Ghazali mengecam praktik keagamaan yang hanya memperhatikan "kulit" ajaran, tanpa menggali hakikat spiritual dan makna moral dari ibadah itu sendiri. Kritiknya yang bersifat reflektif ini menjadikan Al-Ghazali bukan hanya seorang ulama besar, tetapi juga sebagai sumber inovasi pemikiran Islam yang sangat berpengaruh.
Para cendekiawan kontemporer, seperti Gus Ulil Abshar Abdalla, memandang Al-Ghazali sebagai tokoh yang bisa menjadi inspirasi bagi umat Islam modern untuk menggali relevansi agama dalam konteks yang berbeda-beda. Al-Ghazali, yang mampu mengkritisi sekaligus memperbaharui pendekatan Islam, bisa menjadi sosok pembaharu yang ideal bagi konteks saat ini, di mana Islam menghadapi tantangan untuk tetap relevan dalam perubahan zaman yang begitu cepat.
Gus Dur dan Kebangkitan Pemikiran Islam di Indonesia
Gus Dur, atau Abdurrahman Wahid, adalah salah satu tokoh intelektual besar dalam sejarah Islam Indonesia, yang pengaruhnya masih dirasakan hingga kini. Masa keemasan Gus Dur sebagai pemikir berlangsung antara tahun 1970-an hingga 1990-an. Pada periode ini, Gus Dur menjadi pemimpin pemikiran yang membawa angin segar dalam tradisi Islam Nusantara. Sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Gus Dur mengangkat pemikiran yang melampaui batas-batas tradisi semata, dengan memperkenalkan tokoh-tokoh besar dari luar Indonesia seperti Hasan Hanafi, Muhammad Abid Al-Jabiri, dan Muhammad Arkoun. Melalui pengaruh Gus Dur, anak-anak muda NU mulai terbiasa dengan bacaan dan pemikiran baru yang membuka cakrawala.
Pengaruh Gus Dur ini menjadikan NU sebagai organisasi Islam yang tidak hanya mengakar pada tradisi lokal, tetapi juga terbuka pada pemikiran progresif global. Inovasi Gus Dur membawa dimensi baru pada pemikiran keagamaan di Indonesia, dengan memasukkan elemen-elemen dari pemikiran modern yang didapatnya dari luar negeri. Gus Dur membawa semangat keterbukaan dan dialog dengan tradisi baru tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar Islam yang diajarkan oleh para pendahulu NU.
Tradisi dan Kritik: Membaca Tradisi dengan Kacamata Baru
Dalam pandangan Gus Dur, tradisi Islam Nusantara harus dibaca ulang dan dimodernisasi agar tetap relevan dengan konteks kekinian. Gus Ulil pernah menyebut bahwa membaca tradisi harus dilakukan pada dua level: pertama, relevansi pada zamannya, dan kedua, relevansi untuk konteks saat ini. Dalam konteks Indonesia, membaca ulang tradisi Islam merupakan upaya untuk memahami bahwa Islam dapat bersifat adaptif dan inovatif, tanpa kehilangan esensinya.
Melalui kritik terhadap rigiditas beragama, baik dalam aspek aqidah maupun syariat, Gus Dur membuka ruang untuk pemikiran Islam yang lebih dinamis dan kontekstual. Ketika membaca Al-Ghazali dan para tokoh lain seperti Ibnu Miskawaih, Gus Dur berusaha mengajak umat Islam untuk tidak hanya berfokus pada ritual dan hukum, tetapi juga menekankan pada aspek etika dan spiritualitas yang menjadi inti dari ajaran Islam. Kritik ini menjadi bagian dari upaya menciptakan iklim intelektual yang mengedepankan nilai dan esensi daripada sekadar simbol.
NU sebagai Kontinum Pemikiran Islam Nusantara
Tradisi NU tidak bisa hanya dipahami melalui satu generasi. Ada kesinambungan sejarah yang menghubungkan pemikiran-pemikiran tokoh besar NU, mulai dari Hasyim Asy'ari, Wahid Hasyim, hingga Gus Dur. Tokoh-tokoh ini adalah bagian dari kontinum yang terus membentuk karakter Islam Nusantara. KH. Hasyim Asy'ari sebagai pendiri NU mengukuhkan akar tradisi Islam Nusantara yang berbasis pada hadis dan fiqh, sementara Wahid Hasyim mulai mengenalkan dunia modern kepada NU dengan berperan aktif dalam politik nasional, bahkan menjadi anggota BPUPKI yang merumuskan dasar negara Indonesia.
Gus Dur kemudian mengambil tongkat estafet ini, melangkah lebih jauh dengan memperkenalkan pemikiran-pemikiran baru dari tokoh-tokoh besar Islam di Timur Tengah. Gus Dur adalah tokoh yang bukan hanya membawa NU ke arah keterbukaan, tetapi juga menyelaraskannya dengan tantangan intelektual kontemporer. Dalam masa keemasannya, Gus Dur berhasil membuat NU dikenal sebagai wadah intelektual Islam yang dinamis, di mana kritik dan inovasi berjalan beriringan.
Kritik terhadap Aqidah Asy’ariyah: Warisan Hasan Hanafi dan Pemikiran Dekonstruksi
Salah satu tokoh besar yang dikenalkan Gus Dur kepada masyarakat NU adalah Hasan Hanafi, seorang pemikir besar dari Mesir yang kritis terhadap aqidah Asy’ariyah, yang diikuti mayoritas umat Islam. Kritik terhadap Asy’ariyah yang dikembangkan oleh Hasan Hanafi menjadi diskursus penting yang memperkaya pandangan umat Islam Indonesia. Hanafi menekankan pentingnya melihat agama tidak sekadar sebagai serangkaian aturan, tetapi sebagai ideologi yang mendukung pembebasan umat. Pandangan ini sangat selaras dengan semangat Gus Dur yang selalu mengedepankan aspek pembebasan dalam beragama.
Muhammad Arkoun juga dikenal sebagai pemikir yang radikal dalam pendekatannya terhadap agama, menggunakan konsep dekonstruksi ala Derrida untuk menganalisis tafsir-tafsir klasik Al-Qur'an. Dekonstruksi ini memungkinkan pembacaan yang lebih fleksibel dan kontekstual terhadap Al-Qur'an, menghindari interpretasi yang stagnan. Pengaruh Arkoun sangat berpengaruh di kalangan intelektual muda NU, terutama bagi mereka yang memiliki minat dalam studi agama yang kritis dan reflektif.
Era 1980-1990-an: Masa Keemasan Pemikiran Islam Indonesia
Era 1980-an hingga 1990-an adalah masa keemasan bagi pemikiran Islam di Indonesia. Selain Gus Dur, tokoh lain yang memiliki peran penting dalam perkembangan intelektual Islam adalah Nurcholish Madjid (Cak Nur), Munawir Sjadzali, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, dan lain-lain. Pemikiran-pemikiran mereka berkisar pada tema-tema reformasi dalam Islam, khususnya dalam konteks hubungan antara agama dan negara. Cak Nur, misalnya, menekankan pentingnya menerima Pancasila sebagai dasar negara, yang menurutnya sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Pemikiran para tokoh ini membuka cakrawala baru bagi umat Islam di Indonesia dalam memahami hubungan antara agama dan negara. Tantangan yang mereka hadapi pada masa itu adalah bagaimana memperkenalkan nilai-nilai Islam yang inklusif dan kompatibel dengan semangat nasionalisme Indonesia. Pemikiran mereka berperan penting dalam membentuk wajah Islam di Indonesia yang toleran dan inklusif.
Generasi Baru Islam di Era Reformasi
Setelah reformasi, wajah pemikiran Islam di Indonesia mengalami pergeseran. Semangat intelektual mulai meredup, dan perhatian umat Islam lebih tersedot pada isu-isu politik. Generasi baru Islam lebih banyak terlibat dalam dunia politik daripada bergelut dengan pemikiran-pemikiran besar dalam teologi atau filsafat Islam. Hal ini merupakan fenomena yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di level global.
Produksi pemikiran Islam di tingkat internasional juga menunjukkan penurunan, dengan semakin sedikitnya tokoh-tokoh besar seperti Arkoun, Abdurrahman Wahid, atau Hasan Hanafi yang aktif memperbarui pemikiran keagamaan. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa generasi baru umat Islam cenderung mengabaikan aspek intelektual Islam dan lebih tertarik pada aspek politik praktis.
Membangun Generasi Pemikir Islam yang Berkelanjutan
Masa keemasan pemikiran Islam yang pernah dialami Indonesia menjadi tonggak penting dalam perkembangan intelektual Islam Nusantara. Pemikiran kritis dan inovatif yang digagas oleh tokoh-tokoh seperti Al-Ghazali, Gus Dur, dan Cak Nur perlu terus dihidupkan, terutama di kalangan generasi muda yang diharapkan mampu membawa perubahan bagi umat Islam. Gus Dur dan Al-Ghazali telah menunjukkan bahwa agama tidak hanya soal dogma dan ritual, tetapi juga soal pemikiran dan kritik terhadap diri sendiri.
Warisan intelektual ini penting untuk dipertahankan agar Islam tetap relevan dengan perkembangan zaman, menjadi sumber nilai dan inspirasi dalam kehidupan bermasyarakat. Islam yang diperbaharui melalui kritik dan inovasi akan lebih mampu menjawab tantangan zaman, serta memberikan sumbangan positif bagi peradaban.
Editor
Sumarta