Menghadapi Ide dengan Kritis: Berpikir dan Mencipta dalam Semangat Create Dangerously
Menghadapi Ide dengan Kritis: Berpikir dan Mencipta dalam Semangat Create Dangerously
Di era digital yang penuh dengan arus informasi instan dan opini yang
berseliweran, kemampuan berpikir kritis menjadi semakin esensial. Di tengah
derasnya ide dan argumen yang beredar luas, tidak semua pemikiran sebaiknya
diterima tanpa penelaahan. Pada titik inilah konsep “create dangerously,” yang
dicetuskan oleh penulis dan filsuf Albert Camus, menemukan relevansinya. Camus
mengartikulasikan "create dangerously" sebagai keberanian dalam
mencipta, berpikir, dan menyuarakan gagasan meskipun berisiko. Dalam dunia yang
penuh tantangan politik, sosial, dan ekonomi, ide seharusnya diuji melalui
perdebatan yang sehat, bukan diterima tanpa penyelidikan. Ide yang diciptakan dengan
keberanian, meskipun bertentangan dengan arus utama, sering kali menghasilkan
perubahan yang bermakna.
Berpikir kritis sendiri adalah proses yang penuh misteri dan telah lama
menarik perhatian para filsuf dan ilmuwan. Teknologi modern seperti MRI (Magnetic
Resonance Imaging) memungkinkan kita memahami lebih dalam tentang cara kerja
otak manusia. Penemuan Sir Peter Mansfield di Nottingham, contohnya,
menunjukkan bagaimana otak dapat dipecah secara fungsional. Hemisfer kiri
sering dikaitkan dengan analisis logis, sedangkan hemisfer kanan dianggap lebih
kreatif dan intuitif (Carter, 2019). Walaupun teori ini belum sepenuhnya
terbukti, gagasan bahwa otak bekerja dalam kerangka “tesis” dan “antitesis”
mencerminkan pola pikir dialektis. Menurut pandangan ini, pemahaman sejati
memerlukan eksplorasi berbagai perspektif, termasuk yang bertolak belakang
(Haidt, 2012). Pemikiran dialektis ini, yang mengajak kita untuk
mempertimbangkan berbagai sisi dan gagasan yang mungkin bertentangan, adalah
bagian penting dari berpikir kritis.
Dalam konteks kebebasan berpikir kritis, sosok "Jester" atau
badut kerajaan dalam sejarah dan cerita rakyat menjadi metafora menarik. Di
berbagai kerajaan, seorang Jester memiliki kebebasan untuk menyampaikan
kebenaran kepada penguasa tanpa takut dihukum. Hal ini tidak berarti mereka
selalu bicara dengan cara langsung; sering kali, Jester menyampaikan kebenaran
melalui sindiran dan humor, seperti yang ditunjukkan ketika kapal-kapal Prancis
tenggelam dalam peperangan melawan Inggris. Hanya Jester yang berani
menyampaikan kepada raja tentang kekalahan dengan cara menyindir (Smith, 2016).
Figur Jester menjadi peringatan bahwa kebebasan berpikir dan berbicara adalah
fondasi masyarakat yang sehat. Dalam era modern, para pemikir kritis dan
kritikus sering kali mengisi peran ini, menantang asumsi-asumsi yang sudah
mengakar, membukakan diskusi, dan mempertanyakan narasi yang diterima umum.
Narasi besar sering kali membentuk pandangan kolektif masyarakat. Pakar
seperti Benedict Anderson dalam Imagined Communities (2006) menunjukkan
bagaimana identitas nasional dibangun melalui cerita-cerita yang menginspirasi
rasa persatuan. Edward Said, dalam Orientalism (1978), juga menyoroti
bahwa banyak persepsi manusia yang terbentuk oleh narasi-narasi yang dikonstruksi,
bukan semata-mata oleh realitas objektif. Sebagai contoh, gagasan bahwa
“Indonesia adalah negara besar” atau “Indonesia adalah kiblat panjat tebing
dunia” adalah narasi yang membentuk kebanggaan nasional. Namun, tanpa
pemeriksaan kritis, narasi ini bisa menjadi dogma yang membatasi pemahaman kita
tentang kenyataan yang lebih kompleks (Anderson, 2006; Said, 1978). Narasi
nasional dan budaya sering kali efektif dalam menciptakan rasa memiliki, namun
kritis memerlukan pengujian lebih lanjut untuk memastikan apakah narasi
tersebut berbasis pada realitas atau hanya idealisasi.
Di sisi lain, berpikir kritis menuntut kita untuk menggunakan dialektika
sebagai cara mengeksplorasi kebenaran. Pendekatan dialektis mengacu pada proses
dialog antara ide atau argumen utama (tesis) dan kontra-argumen (antitesis),
yang bertujuan untuk mencapai pemahaman baru yang lebih mendalam (sintesis).
Seorang intelektual yang berpengalaman sering kali menggunakan dialektika ini
untuk meneliti sebuah gagasan dari berbagai sisi, mendorong eksplorasi yang
lebih komprehensif. Gary Gutting (2018) menekankan bahwa intelektual yang bijak
kadang-kadang berpura-pura tidak setuju dalam sebuah diskusi untuk
mengeksplorasi perspektif yang berbeda. Pendekatan ini mendorong perdebatan
yang tidak hanya mengarah pada konsensus, tetapi juga memberikan wawasan baru
yang lebih dalam. Namun, pendekatan ini membutuhkan keberanian karena sering
kali menghadapi resistensi dari arus utama, bahkan bisa menimbulkan label
subversif atau radikal bagi sang pemikir.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Camus dalam ide “create dangerously,”
berani mencipta dan berpikir secara kritis menuntut keberanian, khususnya dalam
masyarakat yang terkadang lebih nyaman dengan konsensus atau kepatuhan terhadap
norma. Pemikir yang berani menantang asumsi-asumsi lama dan mengajukan
pandangan baru sering kali menghadapi risiko, baik dalam bentuk penolakan
publik maupun tekanan dari otoritas. Namun, peran intelektual dalam menciptakan
narasi baru yang menantang gagasan lama sangat penting dalam menggerakkan
masyarakat ke arah pemahaman yang lebih kompleks dan menyeluruh. Mereka tidak
hanya memberikan arahan berbasis logika, tetapi juga membantu masyarakat
menginterpretasikan dan memaknai ulang narasi-narasi yang telah lama dipegang.
Kebutuhan untuk mempertanyakan narasi besar tampak dalam perdebatan
seputar isu-isu penting, seperti misalnya ide tentang ambang batas presidensial
(presidential threshold) 0%. Ketika gagasan besar seperti ini muncul, publik
tidak seharusnya menerimanya sebagai solusi tunggal tanpa terlebih dahulu
mempertimbangkan implikasi logis dan praktisnya. Seperti yang dicontohkan oleh
Haidt (2012), setiap narasi perlu diuji secara kritis untuk melihat apakah ia
memiliki dasar faktual yang kuat atau hanya berfungsi sebagai wacana kosong.
Narasi besar ini, tanpa pemeriksaan yang teliti, bisa menjadi alat manipulasi
yang menghalangi masyarakat untuk berkembang. Inilah pentingnya berpikir
kritis—untuk mempertanyakan narasi tersebut dan memastikan apakah ia
benar-benar membawa manfaat atau hanya sekadar wacana.
Selain itu, pemikiran kritis menuntut kita untuk membuka diri terhadap
ide-ide baru. Terjebak dalam dogma menghalangi kita untuk memahami
pandangan-pandangan lain, sedangkan debat yang sehat memungkinkan ide
berkembang dan menginspirasi wawasan baru. Dalam masyarakat yang mengedepankan
konsensus, terkadang dibutuhkan keberanian untuk bersikap kritis. Untuk dapat
berpikir kritis dan berdebat secara sehat, kita perlu belajar mempertanyakan,
menantang, dan menggali lebih dalam. Dengan demikian, kita dapat menghindari
bahaya dogmatisme yang sering kali memenjarakan pikiran dan membatasi pemahaman
kita tentang realitas yang kompleks.
Akhirnya, kemampuan berpikir kritis adalah sebuah perjalanan yang tiada
akhir. Di tengah kompleksitas dunia yang semakin meningkat, kita harus terus
terbuka terhadap ide-ide baru dan siap menguji keyakinan yang telah ada. Proses
dialektis yang mengarahkan kita pada pemahaman baru seharusnya terus dipupuk.
Melalui proses ini, masyarakat dapat menjadi lebih terbuka, berpikir lebih
mendalam, dan siap menerima perubahan yang didasari oleh pengetahuan yang lebih
komprehensif. Ketika kita berani mencipta, berpikir, dan menyampaikan gagasan
tanpa takut pada dogma, kita tidak hanya mengejar kebenaran, tetapi juga
menciptakan ruang bagi diskusi dan refleksi yang lebih bermakna bagi kemajuan
bersama.
Jadi, mari kita hadapi ide-ide dengan pikiran terbuka dan rasa ingin
tahu yang besar. Create dangerously, berani mencipta dan berpikir tanpa
batasan dogma, karena hanya dengan demikian kita dapat menggali ide-ide yang
benar-benar bernilai bagi kehidupan bersama.
Penulis
Sumarta
Referensi:
Anderson, B. (2006). Imagined communities: Reflections on the origin
and spread of nationalism. Verso.
Camus, A. (1957). Create dangerously. University of Michigan
Press.
Carter, R. (2019). Mapping the mind: The brain and its functions.
Oxford University Press.
Chronicles
bersama Bagus Muljadi. Rocky Gerung: Di Mana Letak Akal Budi Bangsa
Hari Ini? dari https://www.youtube.com/@bagusmuljadi
yang diupload pada 8 Bovember 2024
Gutting, G. (2018). Thinking the impossible: French philosophy since
1960. Oxford University Press.
Haidt, J. (2012). The righteous mind: Why good people are divided by
politics and religion. Pantheon Books.
Said, E. W. (1978). Orientalism. Pantheon Books.
Smith, M. (2016). The role of jesters in royal courts. Medieval
History Review, 34(2), 145-160.