Menghindari Pemikiran Kaku: Mendorong Sikap Kritis dalam Masyarakat
Menumbuhkan Sikap Kritis di Tengah Masyarakat
Di era informasi saat ini, tantangan utama dalam berpikir kritis adalah
menghindari dogmatisme, yaitu kepercayaan yang kaku dan tertutup terhadap
pandangan lain. Dogmatisme tidak hanya menghambat kemampuan kita untuk menerima
dan memahami ide yang berbeda, tetapi juga dapat menyebabkan ketertutupan
intelektual yang menghalangi perdebatan yang sehat. Menurut psikolog Jonathan
Haidt dalam bukunya The Righteous Mind (2012), dogma sering kali membuat
seseorang menolak argumen lawan hanya karena ide tersebut bertentangan dengan
keyakinan pribadinya. Ketika seseorang terlalu terpaku pada kepercayaannya
tanpa mempertimbangkan bukti atau sudut pandang lain, maka terciptalah
ketidakfleksibelan dalam berpikir yang membatasi ruang diskusi dan eksplorasi.
Dogmatisme ini, jika tidak diwaspadai, dapat menyempitkan cara pandang
seseorang terhadap dunia. Sementara itu, berpikir kritis mengharuskan seseorang
untuk mempertimbangkan beragam perspektif, mempertanyakan asumsi yang ada, dan
membuka diri terhadap pengetahuan baru. Berpikir kritis pada dasarnya adalah
sebuah latihan mental yang terus menerus, di mana seseorang menguji kembali
gagasan yang dipegang dan membandingkannya dengan bukti serta pandangan alternatif
yang ada. Ketika kita berpegang pada prinsip-prinsip berpikir kritis, kita akan
memiliki kapasitas untuk memperluas wawasan, menumbuhkan toleransi terhadap
perbedaan, dan merangsang diskusi yang bermanfaat bagi pemahaman bersama.
Seperti yang diungkapkan oleh Gutting dalam bukunya Thinking the Impossible:
French Philosophy Since 1960 (2018), seorang pemikir yang kritis tidak
hanya mencari jawaban tetapi juga merangkul ketidakpastian dalam pencarian
pemahaman yang lebih mendalam.
Dalam konteks masyarakat, dogmatisme sering kali muncul dalam bentuk
kepercayaan kolektif yang sulit dipertanyakan. Berbagai kepercayaan sosial,
politik, atau budaya yang telah mengakar kuat bisa menjadi dogma yang diterima
tanpa tantangan. Dogma-dogma ini dapat membentuk identitas kelompok yang
memberi rasa aman dan kebersamaan, tetapi juga bisa menjadi sumber konflik
ketika pandangan tersebut dipertentangkan oleh kelompok lain atau oleh fakta
yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Dalam keadaan ini, berpikir kritis
menjadi sarana yang diperlukan untuk membangun jembatan komunikasi antar
kelompok dan mempromosikan pemahaman lintas pandangan.
Peran intelektual dalam mengurangi dogmatisme di masyarakat sangat
penting. Sebagai individu yang diharapkan mampu memimpin wacana dan berpikir
kritis, seorang intelektual sebaiknya tidak hanya menyampaikan logika dan
argumen yang kuat, tetapi juga membantu masyarakat untuk membentuk narasi baru
yang lebih relevan. Tanggung jawab seorang intelektual bukan sekadar
mempengaruhi pemikiran orang lain, tetapi juga memberikan kerangka berpikir
yang memungkinkan ide-ide berkembang melalui dialog terbuka. Intelektual yang
jujur adalah mereka yang siap mempertanyakan keyakinan pribadi mereka, tidak
terjebak dalam dogma mereka sendiri, dan memberikan ruang bagi wacana baru yang
mungkin bisa menjelaskan fenomena atau realitas yang lebih kompleks.
Namun, tugas ini tidak mudah di tengah arus informasi yang terus
berkembang dan sering kali bias. Informasi yang disajikan oleh media, terutama
media sosial, sering kali menguatkan keyakinan yang sudah ada daripada memicu
pemikiran kritis. Di sinilah pentingnya mengajarkan keterampilan berpikir
kritis sejak dini, agar individu dapat mengembangkan kemampuan untuk
memverifikasi informasi dan mempertanyakan sumber yang tidak jelas. Dalam
sebuah masyarakat yang didominasi oleh ide-ide yang saling bersaing, berpikir
kritis bukan lagi sekadar keterampilan tambahan, tetapi menjadi suatu kebutuhan
untuk membantu kita membangun pemahaman yang lebih baik tentang dunia.
Berpikir kritis mengajarkan kita untuk tidak menerima sebuah gagasan
begitu saja tanpa pengujian. Skeptisisme yang sehat adalah fondasi utama dalam
berpikir kritis. Dengan mempertanyakan berbagai asumsi dan keyakinan yang sudah
mapan, kita memiliki kesempatan untuk menemukan kebenaran yang lebih akurat dan
sesuai dengan kenyataan. Proses berpikir kritis ini tidak hanya mengandalkan
logika, tetapi juga membutuhkan keterbukaan terhadap ide-ide baru dan
keberanian untuk mengakui bahwa pandangan kita mungkin salah atau tidak
lengkap.
Berpikir kritis juga memungkinkan kita untuk bersikap lebih toleran
terhadap perbedaan. Ketika kita memahami bahwa setiap ide memiliki latar
belakang dan konteksnya sendiri, kita cenderung lebih memahami mengapa orang
lain mungkin memiliki pandangan yang berbeda dari kita. Ini membantu mengurangi
konflik yang timbul dari perbedaan pendapat, karena kita tidak lagi melihat
perbedaan tersebut sebagai ancaman, tetapi sebagai kesempatan untuk memperkaya
wawasan kita sendiri. Dalam dunia yang semakin kompleks, kemampuan untuk
menerima dan belajar dari pandangan yang berbeda adalah keterampilan yang
sangat berharga.
Tidak diragukan lagi bahwa dogmatisme menjadi penghalang terbesar dalam
membangun dialog yang produktif dan konstruktif. Ketika seseorang terjebak
dalam kepercayaan yang dogmatis, mereka cenderung menolak perubahan dan menolak
untuk mempertimbangkan bukti yang mungkin bertentangan dengan pandangan mereka.
Dogmatisme ini sering kali terlihat dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari
agama, politik, hingga budaya. Dalam politik, misalnya, dogmatisme bisa
mencegah seseorang untuk melihat kebenaran di luar ideologi atau partai yang
mereka dukung. Akibatnya, keputusan politik sering kali lebih didasarkan pada
loyalitas buta daripada pertimbangan rasional yang mempertimbangkan kepentingan
bersama.
Dogmatisme juga terlihat dalam dunia akademik, di mana terkadang para
akademisi dan ilmuwan terjebak dalam paradigma yang sudah mapan dan menolak
ide-ide baru yang bertentangan dengan teori atau penelitian mereka sendiri. Hal
ini disebut oleh Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolutions
(1962) sebagai “paradigm shift” atau pergeseran paradigma. Ketika dogma
akademik mulai digugat, biasanya akan terjadi resistensi yang besar dari para pendukung
paradigma lama. Namun, ini adalah bagian dari perkembangan ilmu pengetahuan, di
mana kebenaran terus berkembang seiring dengan temuan dan pemahaman baru.
Di tengah ketidakpastian global dan permasalahan yang kompleks, berpikir
kritis dan menghindari dogmatisme menjadi semakin penting. Ketika kita mampu
menantang asumsi dan pandangan kita sendiri, kita memberikan ruang bagi
perubahan yang mungkin membawa solusi baru terhadap masalah yang ada.
Dogmatisme hanya akan mempersempit cara pandang kita dan membuat kita terjebak
dalam kepercayaan yang kaku, sementara berpikir kritis memungkinkan kita untuk
terus berkembang dan beradaptasi dengan situasi baru. Berpikir kritis adalah
proses yang berkesinambungan, di mana kita terus mempertanyakan, mengevaluasi,
dan mengembangkan pemahaman kita tentang dunia.
Pada akhirnya, menghindari dogmatisme berarti membuka diri terhadap
kemungkinan bahwa kita belum sepenuhnya memahami segalanya. Dengan menerima
bahwa pemahaman kita terbatas, kita akan lebih terbuka terhadap ide-ide baru
dan diskusi yang beragam. Sikap ini tidak hanya membantu kita dalam mencapai
kebenaran, tetapi juga memperkaya kehidupan kita dengan pengetahuan dan
pengalaman yang lebih luas. Dalam pencarian kebenaran, penting bagi kita untuk
"create dangerously" – mencipta dengan berani dan siap untuk
menghadapi ide-ide yang berbeda dengan kritis, bukan dengan iman buta. Hanya
dengan sikap seperti ini, kita dapat menemukan makna yang lebih mendalam dalam
hidup dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat kita.
Penulis
Sumarta
Referensi:
Chronicles
bersama Bagus Muljadi. Rocky Gerung: Di Mana Letak Akal Budi Bangsa
Hari Ini? dari https://www.youtube.com/@bagusmuljadi
yang diupload pada 8 Bovember 2024
Gutting, G. (2018). Thinking the Impossible: French Philosophy Since
1960. Oxford University Press.
Haidt, J. (2012). The Righteous Mind: Why Good People Are Divided by
Politics and Religion. Pantheon Books.
Kuhn, T. S. (1962). The Structure of Scientific Revolutions.
University of Chicago Press.