Misteri di Balik Kecelakaan CN-235 Merpati di Gunung Puntang: Menelisik Tragedi yang Mengguncang Dunia Penerbangan Indonesia

Menelisik Tragedi yang Mengguncang Dunia Penerbangan Indonesia



Misteri di balik kecelakaan pesawat CN-235 Merpati Airlines di Gunung Puntang pada 18 Oktober 1992 masih menjadi perbincangan hingga kini, mengingat betapa besarnya dampak tragedi ini dalam dunia penerbangan Indonesia. Hari itu, pesawat CN-235 Merpati dengan nomor penerbangan MZ5601 tengah terbang dari Jakarta menuju Bandung. Pesawat ini berada di bawah komando pilot Firda Basaria Panggabean, seorang penerbang muda yang telah mengantongi lebih dari 6.000 jam terbang. Namun, perjalanan yang seharusnya berlangsung biasa menjadi akhir yang tragis, mencatatkan kecelakaan tersebut sebagai salah satu insiden fatal di Indonesia.

Hingga kini, banyak analisis yang mencoba mengungkap penyebab kecelakaan ini. Berdasarkan laporan Badan Keamanan Transportasi Nasional (NTSB) dan Federal Aviation Administration (FAA), ada indikasi bahwa cuaca buruk dan tekanan udara ekstrem menjadi faktor penting dalam kecelakaan tersebut. Hari itu, kondisi cuaca memang tidak mendukung, dengan awan tebal dan angin kencang yang menerpa pesawat saat melintas di kawasan pegunungan. Fenomena alam seperti downdraft dan updraft atau hembusan udara ke bawah dan ke atas, bisa menyebabkan pesawat kehilangan ketinggian secara tiba-tiba. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab pesawat hilang kendali dan akhirnya jatuh di Gunung Puntang (NTSB, 1993).

Perdebatan tentang penyebab kecelakaan

Perdebatan tentang penyebab kecelakaan ini semakin memanas setelah pernyataan Habibie, seorang tokoh penerbangan Indonesia, yang menyatakan bahwa pilot diduga menurunkan ketinggian terlalu cepat. Pernyataan ini memicu protes dari keluarga Firda, terutama sang ayah, Wilson Panggabean, yang merasa bahwa putrinya menjadi kambing hitam tanpa dasar yang kuat. Sang ayah merasa bahwa penyelidikan seharusnya menunggu hasil analisis kotak hitam atau black box, yang baru diumumkan beberapa bulan kemudian. Saat itu, pengacara Yan Apul juga sempat menawarkan bantuan hukum kepada keluarga Firda untuk menggugat Habibie atas tuduhan pencemaran nama baik (Tempo, 1992).

Analisis selanjutnya menemukan bahwa pesawat CN-235 tersebut, yang merupakan produk kerja sama IPTN dengan CASA Spanyol, memang memiliki beberapa keterbatasan teknis. Beberapa pilot melaporkan masalah pada mesin dan kendala pada mekanisme sirip pesawat atau flap. Saat kecepatan pesawat dipaksakan mencapai batas tertentu, pesawat akan bergetar hebat, menandakan adanya kendala pada stabilitas aerodinamikanya. Kejadian kerusakan mesin bahkan sudah pernah dialami oleh Firda saat menerbangkan pesawat yang sama pada tahun-tahun sebelumnya di Bandara Ngurah Rai dan Halim Perdanakusuma, namun berhasil diatasi dengan selamat (Direktorat Perhubungan Udara, 1993).

Masalah teknis pada pesawat CN-235

Masalah teknis pada pesawat CN-235 semakin diperparah oleh layanan purna jual yang dinilai buruk oleh Merpati, maskapai yang mengoperasikan pesawat tersebut. Pengadaan suku cadang yang kerap terlambat akibat ketergantungan pada pemasok di Spanyol membuat sebagian pesawat Merpati CN-235 harus menganggur. Direktur Utama Merpati waktu itu, Frans Sumolang, menyatakan bahwa masalah teknis tidak terkait langsung dengan kecelakaan di Gunung Puntang, namun tetap menjadi perhatian besar karena berpotensi membahayakan penerbangan lainnya (Sumolang, 1992).

Hasil penyelidikan akhir

Hasil penyelidikan akhir oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara menyimpulkan bahwa kecelakaan tersebut dipicu oleh kombinasi antara faktor cuaca buruk dan sedikit kesalahan manusia. Laporan menyebutkan bahwa Firda sempat memutar pesawat ke arah selatan, menghindari cuaca buruk di jalur normal. Namun, keputusan ini membuat pesawat lebih terpapar cuaca ekstrem, yang akhirnya menyebabkan hilangnya kendali. Kecelakaan ini akhirnya mengilhami berbagai langkah perbaikan dalam sistem pelatihan dan manajemen risiko di dunia penerbangan Indonesia (Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, 1993).

Pascatragedi, Merpati Nusantara Airlines mendirikan tugu peringatan di Cipaganti untuk mengenang 31 korban yang tewas dalam kecelakaan tersebut. Tragedi ini menjadi pelajaran bagi dunia penerbangan nasional, memacu evaluasi terhadap faktor teknis dan keselamatan penerbangan. Kehilangan dan kontroversi yang muncul kemudian, baik dari pihak keluarga korban maupun kalangan profesional penerbangan, menjadi pengingat bahwa keselamatan penerbangan harus selalu menjadi prioritas utama di atas segalanya.

Penulis

Sumarta

 

Sumber Referensi:

Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. (1993). Laporan Investigasi Kecelakaan CN-235 Merpati Airlines. Jakarta: Kementerian Perhubungan.

NTSB. (1993). Aircraft Accident Report: Merpati Airlines Flight MZ5601. Washington, DC: National Transportation Safety Board.

Sumolang, F. (1992). Pernyataan terkait Kecelakaan CN-235 di Gunung Puntang. Jakarta: Merpati Nusantara Airlines.

Tempo. (1992). "Kejanggalan Pesawat CN-235 Merpati dan Penyelidikan Kecelakaan di Gunung Puntang". Tempo, 31 Oktober.

Tempo.co. Pesawat Merpati Jatuh di Gunung Puntang: PUTAR BALIK. dari

https://www.youtube.com/@TempoVideoChannel pada 03 Nopember 2024

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel