Uang dan Kebahagiaan: Dua Hal yang Sering Dikaitkan
Mencapai kesuksesan dan hidup lebih nyaman
Sejak
kecil, banyak dari kita didorong untuk belajar giat dan bekerja keras agar
mencapai kesuksesan dan hidup lebih nyaman. Orang tua sering kali mengajarkan
bahwa memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang stabil adalah kunci
kebahagiaan, sehingga kita tumbuh dengan persepsi bahwa kesejahteraan finansial
adalah tolok ukur keberhasilan hidup (Diener & Oishi, 2000). Pendidikan ini
membuat banyak orang dewasa mendambakan kekayaan sebagai simbol kesuksesan,
beranggapan bahwa uang yang cukup atau berlimpah akan membawa kepuasan yang
mendalam.
Namun,
semakin kita mengejar kekayaan, semakin kita bertanya-tanya tentang kebahagiaan
sejati. Bagi banyak orang yang sudah mencapai stabilitas finansial, munculnya
rasa hampa atau kosong menjadi fenomena umum, meskipun sudah memiliki semua hal
yang dulunya mereka anggap akan membawa kebahagiaan. Hal ini disoroti oleh Ryan
dan Deci (2000) dalam konsep kebutuhan psikologis dasar, yaitu bahwa
kebahagiaan tidak hanya berasal dari materi, tetapi dari pemenuhan kebutuhan emosional
dan sosial.
Penelitian
lebih lanjut menunjukkan bahwa uang hanya mampu meningkatkan kebahagiaan sampai
batas tertentu. Kahneman dan Deaton (2010) menemukan bahwa pendapatan yang
lebih tinggi memang berdampak positif pada kebahagiaan seseorang, namun hanya
hingga batas tertentu; setelah itu, dampaknya mulai menurun. Pendapatan
berlebih tidak lagi berbanding lurus dengan kebahagiaan emosional, yang
menandakan bahwa faktor lain mungkin memiliki peran yang lebih besar dalam
kebahagiaan seseorang.
Selain kebutuhan
materi, hubungan sosial yang mendalam dan bermakna ternyata menjadi salah satu
faktor penting dalam mencapai kebahagiaan. Studi yang dilakukan di Harvard
selama lebih dari 75 tahun menunjukkan bahwa kebahagiaan jangka panjang terkait
erat dengan hubungan sosial yang baik dan mendukung (Waldinger & Schulz,
2015). Orang dengan jaringan sosial yang kuat dan harmonis cenderung lebih
sehat secara fisik dan emosional, menunjukkan bahwa kualitas hubungan sosial
berperan besar dalam menjaga kebahagiaan yang stabil.
Meski
banyak orang berusaha meraih kesuksesan materi, kesepian dan isolasi tetap
menjadi ancaman nyata, terutama di tengah era modern yang semakin
individualistis. Menurut penelitian oleh Holt-Lunstad et al. (2015), isolasi
sosial tidak hanya mempengaruhi kesehatan mental tetapi juga fisik, sehingga
dapat meningkatkan risiko penyakit dan bahkan kematian. Dalam konteks ini, kita
melihat bahwa keinginan untuk kaya dan “sukses” kerap mengorbankan interaksi
sosial yang penting untuk kesejahteraan emosional.
Di
samping itu, konsep kesejahteraan subjektif menggarisbawahi bahwa kepuasan
hidup bergantung pada persepsi individu terhadap kehidupannya sendiri, bukan
hanya pada pencapaian materi (Diener et al., 1999). Orang yang memiliki tujuan
hidup yang bermakna, meski sederhana, cenderung lebih puas karena merasa
hidupnya berharga dan penuh arti. Hal ini menegaskan bahwa kebahagiaan sejati
bukanlah soal jumlah kekayaan, melainkan tentang bagaimana seseorang memahami
dan mengapresiasi hidupnya.
Dalam
mengejar kebahagiaan, keseimbangan antara kebutuhan material dan non-material
sangat penting. Meskipun uang dapat membawa kenyamanan, aspek-aspek
non-material seperti hubungan sosial, makna hidup, dan kesempatan untuk
berkembang adalah penentu kebahagiaan yang lebih mendalam. Oleh karena itu,
upaya untuk bahagia harus memperhatikan berbagai aspek kehidupan yang memberi
makna, bukan semata-mata kekayaan finansial.
Penulis
Sumarta
Sumber Referensi:
- Diener, E., & Oishi, S.
(2000). Money and happiness: Income and subjective well-being across
nations. In E. Diener & E. Suh (Eds.), Culture and subjective
well-being (pp. 185-218). MIT Press.
- Diener, E., Suh, E. M.,
Lucas, R. E., & Smith, H. L. (1999). Subjective well-being: Three
decades of progress. Psychological Bulletin, 125(2), 276-302.
- Holt-Lunstad, J., Smith, T.
B., Baker, M., Harris, T., & Stephenson, D. (2015). Loneliness and
social isolation as risk factors for mortality: A meta-analytic review. Perspectives
on Psychological Science, 10(2), 227-237.
- Kahneman, D., & Deaton,
A. (2010). High income improves evaluation of life but not emotional
well-being. Proceedings of the National Academy of Sciences, 107(38),
16489-16493.
- Ryan, R. M., & Deci, E.
L. (2000). Self-determination theory and the facilitation of intrinsic
motivation, social development, and well-being. American Psychologist,
55(1), 68-78.
- Waldinger, R., & Schulz,
M. S. (2015). The Harvard study of adult development. Harvard Gazette.