Andika Perkasa dan Tradisi Kandidat dari Latar Belakang Militer

Andika Perkasa dan Tradisi Kandidat dari Latar Belakang Militer



Nama Andika Perkasa, mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), muncul sebagai salah satu tokoh yang dipertimbangkan dalam bursa calon presiden (capres) Indonesia. Keikutsertaan tokoh berlatar belakang militer dalam kancah politik Indonesia bukanlah fenomena baru. Sejak masa pemerintahan Soekarno, Suharto, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), figur militer sering kali menjadi calon yang kuat dalam perebutan kursi kepresidenan. Latar belakang militer dianggap memberikan nilai tambah, seperti kedisiplinan, kepemimpinan, serta wibawa yang tinggi di mata publik. Tokoh-tokoh militer ini juga dianggap memiliki kemampuan dalam mengorganisasi dan mengelola kekuatan yang sangat dibutuhkan dalam dunia politik yang penuh dengan tantangan. Dalam konteks ini, Andika Perkasa mengikuti jejak para pendahulunya dengan membawa pengalaman militernya yang sangat kaya untuk diterapkan dalam politik Indonesia yang semakin kompleks.

Namun, meskipun memiliki latar belakang yang kuat, tantangan besar bagi Andika adalah bagaimana ia dapat menyesuaikan gaya politiknya dengan karakter pemilih Indonesia yang sangat beragam. Pemilih di Indonesia sangat dinamis dan cenderung dipengaruhi oleh faktor emosional yang mendalam, selain rasionalitas. Seorang analis politik menjelaskan bahwa politik di Indonesia jauh dari sederhana. “Politik di Indonesia itu kompleks. Seorang calon harus memahami bahwa pemilih kita sangat dinamis dan sering kali lebih mengutamakan faktor emosional daripada rasionalitas,” katanya. Hal ini menggambarkan tantangan besar bagi Andika Perkasa, yang dikenal dengan gaya kepemimpinan yang lebih formal dan struktural, untuk bisa terhubung secara emosional dengan pemilih dari berbagai latar belakang.

Penting untuk dicatat bahwa, meskipun nilai-nilai seperti kedisiplinan dan kepemimpinan yang dimiliki oleh seorang militer sangat dihargai dalam konteks nasional, dunia politik memiliki dinamika yang jauh berbeda. Di politik, kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan sosial dan memenuhi harapan pemilih dengan cara yang lebih personal dan empatik menjadi kunci kesuksesan. Andika, yang terbiasa dengan struktur hierarkis dalam militer, harus mampu mengubah pendekatannya untuk menciptakan hubungan yang lebih erat dengan rakyat. Seperti yang disoroti oleh banyak pengamat politik, pemilih Indonesia sering kali lebih mendahulukan perasaan dan hubungan emosional daripada sekadar melihat pada rekam jejak atau kemampuan administratif seorang calon presiden (Mietzner, 2020).

Salah satu contoh nyata yang menggambarkan tantangan ini adalah ketika Andika Perkasa diuji dalam pilkada di Jawa Tengah. Meskipun memiliki reputasi yang solid dan latar belakang militer yang mengesankan, Andika tidak mampu menciptakan koneksi emosional yang kuat dengan masyarakat setempat. Keberhasilan dalam pemilu sering kali bergantung pada seberapa baik seorang kandidat dapat membangun kedekatan dengan masyarakat melalui komunikasi yang efektif, bukan hanya melalui kekuatan institusional yang mereka bawa. Analisis terhadap dinamika pilkada menunjukkan bahwa Andika, meskipun dihormati, gagal untuk menyentuh hati pemilih Jawa Tengah yang lebih mementingkan hubungan personal dan kemampuan calon untuk menyelesaikan masalah sosial yang mereka hadapi setiap hari (Warburton, 2021).

Ketidakmampuan Andika untuk menjalin koneksi emosional dengan pemilih juga terlihat dari kenyataan bahwa politik Indonesia sering kali bergantung pada pengaruh personal, budaya politik, dan kekuatan lokal. Seringkali, pemilih di Indonesia lebih memilih calon yang bisa merespons kebutuhan mereka secara langsung dan mendalam, bukan hanya kandidat yang dapat menawarkan stabilitas atau keamanan yang lebih luas. Dengan kata lain, meskipun memiliki latar belakang yang kuat, seorang kandidat militer seperti Andika perlu menghadapi kenyataan bahwa di politik, pengaruh lokal dan kapasitas untuk membangun hubungan emosional menjadi faktor yang tak terelakkan dalam memenangkan hati pemilih.

Penting juga untuk menyoroti aspek lain dari tradisi kandidat militer di Indonesia. Meskipun ada pandangan positif mengenai figur militer yang dianggap mampu memberikan stabilitas, ada juga persepsi bahwa kandidat militer cenderung kaku dalam menjalankan politik praktis. Dalam sejarah politik Indonesia, meskipun figur militer sering kali berhasil memenangkan pemilu, mereka sering menghadapi tantangan besar dalam menjalankan kebijakan yang sesuai dengan tuntutan demokrasi. Pemerintahan yang terlalu otoriter atau militaristik sering kali menimbulkan ketidakpuasan di kalangan publik yang menginginkan lebih banyak kebebasan dan keterbukaan dalam pengambilan keputusan politik (Aspinall & Berenschot, 2019).

Selain itu, Andika Perkasa juga harus memperhitungkan perubahan besar dalam pola pemilih di Indonesia. Generasi muda, yang semakin terhubung dengan dunia digital dan memiliki pandangan politik yang lebih liberal, menjadi tantangan besar bagi kandidat dari latar belakang militer. Generasi ini cenderung lebih kritis terhadap otoritarianisme dan lebih menginginkan pemerintahan yang mendengar dan merespons kebutuhan mereka dengan cepat dan transparan. Oleh karena itu, Andika perlu beradaptasi dengan kecenderungan ini agar bisa mendapatkan dukungan dari kelompok pemilih yang lebih muda dan lebih modern (Hadiz, 2017).

Strategi kampanye Andika juga harus mengedepankan nilai-nilai yang lebih inklusif dan demokratis, yang dapat menyentuh berbagai lapisan masyarakat. Meskipun latar belakang militer memberikan kredibilitas dalam hal disiplin dan organisasi, Andika perlu memastikan bahwa program-program politiknya juga mencakup isu-isu yang menjadi perhatian utama rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Dengan kata lain, meskipun latar belakang militernya memberikan keunggulan dalam beberapa aspek, Andika harus dapat menunjukkan bahwa ia bukan hanya seorang pemimpin yang otoriter, tetapi juga seorang pemimpin yang mampu mendengarkan dan merespons kebutuhan rakyat (Mietzner, 2020).

Lebih lanjut, Andika harus mampu menciptakan citra politik yang lebih terbuka dan inklusif agar bisa berkompetisi dengan kandidat lain yang lebih terhubung dengan basis pemilih yang lebih luas. Meskipun ia memiliki struktur organisasi yang solid, hal tersebut tidak cukup jika ia tidak dapat menanggapi masalah-masalah yang dihadapi oleh pemilih yang lebih kritis dan sensitif terhadap isu-isu sosial dan politik. Dalam politik, kehadiran tokoh yang dianggap mampu merespons masalah sehari-hari rakyat lebih dihargai dibandingkan dengan sekadar figur yang memiliki kekuatan birokratis dan militernya. Ini menjadi tantangan besar bagi Andika Perkasa dalam menghadapi kompetisi pemilu yang semakin dinamis (Tomsa, 2023).

Akhirnya, tradisi kandidat militer dalam politik Indonesia menunjukkan bahwa latar belakang yang kuat dalam bidang militer memberikan sejumlah keunggulan, namun juga menghadirkan sejumlah tantangan. Tokoh seperti Andika Perkasa memiliki potensi untuk memenangkan pemilu jika ia bisa mengadaptasi pendekatannya untuk lebih relevan dengan kebutuhan politik kontemporer. Dalam politik Indonesia yang semakin demokratis dan transparan, kandidat militer harus menunjukkan bahwa mereka dapat berfungsi dalam kerangka demokrasi dan kebebasan, serta tidak hanya mengandalkan kedisiplinan dan kekuatan militer semata (Hadiz, 2017).

Kontributor

Sumarta

Referensi:

Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for sale: Elections, clientelism, and the state in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University Press.
Hadiz, V. R. (2017). Islamic populism in Indonesia and the Middle East. Cambridge: Cambridge University Press.
Mietzner, M. (2020). Political polarization and democratic resilience in Indonesia. Asian Affairs, 51(2), 241-264.

Nusantara TV. (30 Nov 2024) Peta Politik Indonesia, Saiful SMRC: Prabowo Pengin Banget Bareng Bu Mega, Tapi Mega Nggak!. https://nusantaratv.com/
Tomsa, D. (2023). Indonesia under Jokowi: Between populism and technocracy. Journal of Current Southeast Asian Affairs, 42(3), 23-47.
Warburton, E. (2021). Developmentalism and democracy in Indonesia: Reshaping the political order. The Pacific Review, 34(1), 123-144.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel