Dakwah yang Berkelas: Menyampaikan Pesan dengan Martabat
Dakwah yang Berkelas: Menyampaikan Pesan dengan Martabat
Kontributor
Sumarta
(Akang Marta)
Kasus Miftah yang mencuat baru-baru ini seharusnya menjadi pengingat penting
bagi dunia dakwah bahwa tujuan utama dakwah adalah menyampaikan pesan kebaikan
dan bukan semata-mata untuk menghibur atau mencari perhatian. Sebagai seorang
penceramah, tugas utama adalah membimbing umat menuju pemahaman yang lebih baik
tentang agama dan nilai-nilai moral yang luhur. Ketika seorang penceramah lebih
tertarik pada popularitas dan hiburan, ia akan kehilangan arah dari tujuan
dakwah yang sesungguhnya. Humor dalam dakwah, apabila digunakan dengan benar,
dapat menjadi alat yang sangat efektif dalam mendekatkan pesan agama dengan
cara yang ringan dan menyentuh. Namun, humor yang digunakan secara sembarangan
dan merendahkan martabat orang lain hanya akan mencederai tujuan dakwah itu
sendiri. Oleh karena itu, penting bagi setiap penceramah untuk menyadari bahwa
kesuksesan dalam berdakwah tidak terukur dari seberapa banyak orang yang
tertawa atau kagum, tetapi dari seberapa besar pengaruh positif yang dapat
diberikan kepada umat.
Lebih lanjut, dalam dunia dakwah, seorang penceramah harus memiliki
pemahaman yang mendalam tentang tanggung jawab moralnya. Tidak hanya bertugas
untuk menyampaikan ilmu agama, seorang penceramah juga menjadi panutan bagi
umat, dan setiap kata yang diucapkan memiliki dampak besar. Oleh karena itu,
setiap ceramah harus dirancang dengan bijaksana dan penuh pertimbangan. Dakwah
yang berkelas adalah dakwah yang mampu mengangkat nilai-nilai agama dengan cara
yang penuh hikmah, tanpa mengandalkan humor yang berlebihan atau mencari sensasi
semata. Penceramah yang bijaksana adalah mereka yang mampu menyampaikan pesan
agama dengan kesantunan, tidak hanya mengandalkan humor atau atraksi untuk
menarik perhatian. Penceramah harus mampu menunjukkan kedalaman ilmu dan
kualitas akhlak, karena itulah yang akan memberikan keteladanan bagi umat.
Keteladanan inilah yang seharusnya menjadi kekuatan dalam dakwah, bukan sekadar
kata-kata lucu atau pertunjukan yang hanya menghibur.
Sementara itu, humor yang dipilih dalam dakwah haruslah yang dapat mendekatkan
jamaah kepada pemahaman yang lebih baik mengenai ajaran agama. Jika humor
tersebut justru menyakiti atau merendahkan orang lain, maka ia tidak hanya
menghilangkan kepercayaan umat kepada penceramah, tetapi juga merusak tujuan
mulia dari dakwah itu sendiri. Setiap penceramah seharusnya mampu memilih humor
yang tidak mengandung unsur merendahkan, menghina, atau memecah belah. Dakwah
yang berkelas adalah dakwah yang mampu memberikan pengajaran dan pembelajaran
yang dalam dengan cara yang tetap mengedepankan martabat setiap individu.
Sebagai contoh, para tokoh agama yang dihormati seperti Gus Baha atau Buya
Hamka, mereka tidak hanya mengandalkan humor untuk menarik perhatian, tetapi
mengedepankan kedalaman ilmu dan kesantunan dalam setiap ceramah yang mereka
berikan. Humor yang bijaksana dan penuh makna justru menjadi salah satu kunci
untuk membuat ceramah mereka lebih mengena di hati jamaah.
Selain itu, masyarakat juga memegang peran penting dalam mengawal kualitas
dakwah yang ada. Sebagai pendengar dan penerima pesan, masyarakat harus lebih
cermat dalam memilih penceramah yang memberikan nilai tambah dalam ceramah
mereka. Masyarakat perlu memiliki literasi keagamaan yang lebih baik untuk bisa
membedakan antara penceramah yang benar-benar menyampaikan ilmu agama dengan
kualitas yang baik dan mereka yang hanya mengejar popularitas. Salah satu
indikator penting dalam menilai kualitas dakwah adalah seberapa jauh penceramah
bisa menjaga martabat dan etika dalam menyampaikan pesan. Oleh karena itu,
masyarakat yang memiliki pemahaman agama yang baik akan lebih menghargai
penceramah yang tidak hanya populer, tetapi juga memiliki kedalaman ilmu dan
kesantunan dalam setiap ucapannya. Dakwah yang berkelas adalah dakwah yang
mampu memberikan keteladanan dan membuka pintu pemahaman yang lebih dalam
mengenai agama, bukan sekadar mencari perhatian atau popularitas.
Sebagai kesimpulan, kasus Miftah memberikan pelajaran yang sangat berharga
bagi dunia dakwah. Dakwah yang berkelas adalah dakwah yang tidak hanya
menyentuh hati tetapi juga menjaga martabat semua pihak yang terlibat. Ini
bukan hanya tentang siapa yang paling populer atau siapa yang paling lucu,
tetapi siapa yang paling mampu menyampaikan kebenaran dengan cara yang
bijaksana dan bermartabat. Penceramah harus menyadari bahwa tugas mereka lebih
besar daripada sekadar berbicara atau menghibur. Mereka harus menjadi teladan
bagi umat, menyampaikan pesan dengan hati-hati, penuh tanggung jawab, dan yang
terpenting, menjaga martabat setiap individu dalam dakwah tersebut. Semoga
kasus ini menjadi titik balik bagi semua pihak untuk terus mengedepankan
kualitas dalam dakwah dan tidak terjebak pada pencarian popularitas semata.
Dakwah yang berkelas akan selalu dihargai dan menjadi sumber inspirasi bagi
umat yang mencari kedamaian dan kebijaksanaan.