Dunia yang Terbalik: Ketika Hal Penting Menjadi Tidak Penting
Dunia yang Terbalik: Ketika Hal Penting Menjadi Tidak Penting
Penulis
Sumarta
(Akang Marta)
Dalam kehidupan modern yang serba cepat ini, banyak orang terjebak dalam
pola pikir materialistis yang sangat mengedepankan hal-hal duniawi. Uang,
koneksi sosial, dan status sering kali dianggap sebagai indikator keberhasilan
dan kebahagiaan. Hal ini sangat jelas terlihat dalam cara hidup banyak individu
yang merasa bahwa memiliki lebih banyak materi dan pengaruh di dunia ini adalah
tujuan utama. Mereka sering kali mengukur kebahagiaan dan kesuksesan hanya
berdasarkan pencapaian materi tersebut, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek yang
lebih mendalam dalam hidup. Namun, jika kita melihat lebih dekat, pola pikir
seperti ini dapat menyesatkan dan membuat kita lupa akan hal-hal yang jauh
lebih penting, yaitu hubungan spiritual dengan Tuhan. Dunia dengan segala
hiruk-pikuknya sering kali membutakan manusia akan tujuan hidup yang sejati,
yang seharusnya lebih mengarah kepada pencarian makna dan kedamaian batin yang
hanya dapat ditemukan melalui kedekatan dengan Tuhan.
Dalam banyak tradisi spiritual, terutama dalam tasawuf, ada pandangan yang
menekankan bahwa manusia sering kali "tidur" dalam kehidupan mereka.
Mereka terjaga hanya dalam arti fisik, tetapi sejatinya rohani mereka tertidur
dan tidak menyadari kedalaman hidup yang sebenarnya. Istilah "tidur"
di sini menggambarkan kondisi di mana seseorang terjebak dalam rutinitas duniawi,
tidak menyadari bahwa ada tujuan hidup yang lebih besar daripada sekadar
memenuhi keinginan duniawi. Seorang Sufi terkenal, Jalaluddin Rumi,
mengungkapkan bahwa manusia sering hidup dalam kealpaan dan tidak benar-benar
menyadari keberadaan spiritual mereka. Mereka baru akan "terbangun"
ketika menghadapi kematian, ketika sudah tidak ada kesempatan lagi untuk
memperbaiki kehidupan yang telah dijalani. Hal ini menggambarkan betapa
seringnya manusia terjebak dalam dunia material dan terlambat menyadari bahwa
kehidupan sejati terletak pada penghubungan diri dengan Tuhan, bukan pada apa
yang dimiliki atau dicapai di dunia ini.
Kehidupan yang sesungguhnya, menurut banyak ajaran spiritual, bukanlah
tentang seberapa banyak yang kita miliki atau seberapa besar pengaruh kita di
dunia. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana kita memanfaatkan hidup ini
untuk mendekat kepada Tuhan dan menjalani hidup dengan penuh kesadaran
spiritual. Terkadang, dalam kesibukan sehari-hari, kita lupa untuk merenung dan
berintrospeksi. Kita terlalu fokus pada pencapaian duniawi sehingga melupakan
bahwa hidup ini hanya sementara. Semua hal duniawi yang kita anggap
penting—seperti pekerjaan, uang, atau status sosial—pada akhirnya tidak dapat
membawa kita kepada kebahagiaan abadi. Apa yang akan tetap ada setelah kita
meninggal adalah amal perbuatan dan kedekatan kita dengan Tuhan. Oleh karena
itu, seharusnya kita lebih memprioritaskan aspek spiritual dalam hidup, agar
tidak terjebak dalam kehidupan yang hanya mengejar kepuasan duniawi semata.
Secara filosofis, kritik terhadap materialisme mengingatkan kita bahwa hidup
yang sesungguhnya terletak pada bagaimana kita memahami dan menjalani
nilai-nilai kehidupan yang lebih tinggi. Manusia sering kali menilai
kebahagiaan dari apa yang bisa dilihat dan dirasakan secara fisik, namun
kebahagiaan yang hakiki tidak selalu tampak di luar. Banyak orang yang memiliki
segala macam harta dan status sosial tinggi, tetapi tetap merasa kosong dan
tidak puas. Hal ini menunjukkan bahwa pencarian kebahagiaan melalui kepemilikan
duniawi adalah sebuah perjalanan yang tak akan pernah berujung. Dalam banyak
ajaran spiritual, kebahagiaan sejati ditemukan dalam kedamaian batin dan
kesadaran akan tujuan hidup yang lebih besar, yaitu untuk mencapai kedekatan
dengan Tuhan. Dalam hal ini, hidup yang berkualitas adalah hidup yang memiliki
arah dan makna, bukan hidup yang hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan
materi semata.
Sebagaimana dikemukakan oleh para filsuf dan tokoh spiritual, salah satu
cara untuk menemukan kedamaian dan makna hidup adalah dengan mengejar
kebijaksanaan, bukan hanya kecerdasan duniawi. Kebijaksanaan dalam konteks
spiritual mengarah pada pemahaman tentang tujuan hidup yang lebih dalam, yaitu
untuk mengenal diri kita sendiri dan Tuhan dengan lebih baik. Banyak ajaran
agama dan filsafat mengajarkan bahwa kita harus mengejar hidup yang berimbang,
di mana kita tidak hanya fokus pada dunia luar tetapi juga memperhatikan dunia
batin kita. Salah satu cara untuk mencapai ini adalah dengan berdoa, bertafakur,
dan melibatkan diri dalam praktik-praktik spiritual lainnya yang membantu kita
untuk menyadari bahwa hidup ini lebih dari sekadar mengejar kepuasan duniawi.
Kebijaksanaan spiritual ini membawa kita pada kesadaran bahwa dunia ini
hanyalah tempat sementara, dan kehidupan yang sejati berada di akhirat.
Dalam kehidupan yang penuh dengan gangguan dan godaan duniawi, kita sering
kali lupa bahwa tujuan utama hidup ini adalah untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan. Kehidupan yang terbalik, di mana hal-hal yang tidak penting dianggap
penting dan yang penting justru terabaikan, mencerminkan bagaimana manusia
sering salah fokus dalam menjalani hidup. Kritik terhadap materialisme dalam
konteks ini seharusnya menyadarkan kita bahwa kebahagiaan dan kepuasan sejati tidak
ditemukan dalam kekayaan atau status sosial, tetapi dalam kedamaian batin dan
kedekatan kita dengan Tuhan. Oleh karena itu, kita perlu memeriksa kembali
prioritas hidup kita dan menyadari bahwa hidup yang sesungguhnya bukanlah
tentang seberapa banyak yang kita miliki, tetapi tentang bagaimana kita
menghabiskan waktu kita untuk memperdalam hubungan kita dengan Tuhan dan
menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran spiritual.
Referensi
Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity.
HarperOne.
Rumi, J. (2004). The Essential Rumi. Translated by Coleman Barks.
HarperOne.
Sartre, J. P. (1943). Being and Nothingness. Routledge.