Etika dalam Dakwah dan Pengaruh Humor
Etika dalam Dakwah dan Pengaruh Humor
Kontributor
Sumarta
(Akang Marta)
Dalam tradisi dakwah, humor seringkali digunakan sebagai salah satu cara
untuk menarik perhatian jamaah dan menyampaikan pesan-pesan agama dengan cara
yang lebih ringan dan menyenangkan. Humor dapat menjadi jembatan yang
menghubungkan penceramah dengan audiensnya, menciptakan suasana yang lebih
akrab dan tidak kaku. Salah satu contoh klasik yang banyak dikenal adalah
almarhum KH Zainuddin MZ, seorang penceramah yang terkenal dengan gaya
ceramahnya yang jenaka namun tetap mengandung banyak hikmah. Gaya ceramah yang
disertai humor membuat jamaah lebih mudah menyerap pesan yang disampaikan,
karena humor mampu mengurangi ketegangan dan membuat suasana menjadi lebih
santai. Namun, yang perlu ditekankan adalah penggunaan humor yang bijak. Ketika
humor disampaikan dengan hati-hati, dengan tujuan untuk mempererat ikatan
antara penceramah dan jamaah serta untuk menyampaikan pesan moral yang penting,
maka humor tersebut dapat menjadi alat dakwah yang sangat efektif tanpa melukai
perasaan siapa pun.
Namun, humor yang tidak terkontrol atau menyimpang dari batasan etika bisa
menjadi bumerang yang berpotensi merusak citra seorang penceramah. Hal ini
terutama terjadi ketika humor digunakan untuk mengolok-olok atau merendahkan
orang lain. Ketika humor dipakai untuk mengejek atau menghina, terutama di
depan publik yang luas, efeknya bisa jauh lebih besar daripada yang
dibayangkan. Dalam konteks seorang penceramah agama, seperti Gus Miftah, kritik
muncul karena beberapa pernyataan yang dianggap tidak pantas. Misalnya,
sindiran terhadap pedagang es teh yang dianggap merendahkan kelompok tertentu
atau istilah yang dianggap menghina seorang individu. Ketika penceramah
menggunakan humor untuk menyerang atau merendahkan orang lain, maka tujuan
utama dakwah, yaitu membimbing dan menyampaikan ajaran agama dengan baik, bisa
terabaikan. Meskipun dalam beberapa kasus humor tersebut bisa diterima oleh
sebagian kalangan, tetap saja ada dampak negatif yang muncul ketika humor
tersebut tidak beretika dan melukai perasaan orang lain.
Kritik terhadap penggunaan humor oleh penceramah juga datang dari berbagai
kalangan, yang menyuarakan bahwa etika dalam berdakwah harus selalu dijaga.
Etika tidak hanya berkaitan dengan isi pesan yang disampaikan, tetapi juga
dengan cara penyampaiannya. Sebagai penceramah yang memegang peranan penting
dalam membimbing umat, Gus Miftah seharusnya lebih berhati-hati dalam memilih
kata-kata, terutama ketika menyampaikan humor. Banyak orang mengharapkan
seorang tokoh agama, apalagi yang juga berperan sebagai pejabat publik, untuk
memberikan contoh yang baik dalam berkomunikasi. Humor yang menyimpang atau
yang tidak sensitif terhadap kondisi sosial atau individu tertentu bisa
menciptakan persepsi negatif terhadap penceramah tersebut. Oleh karena itu,
penceramah agama tidak hanya dituntut untuk memiliki ilmu agama yang mumpuni,
tetapi juga harus mengerti betul cara berkomunikasi dengan audiens yang
beragam. Mereka harus menjaga lisan agar tidak menyakiti hati orang lain,
apalagi ketika berkaitan dengan hal-hal yang sensitif.
Di sisi lain, ada juga kalangan yang memandang humor dalam dakwah sebagai
bagian dari karakter unik seorang penceramah. Mereka berargumen bahwa gaya
humor yang disampaikan Gus Miftah, meskipun kontroversial, merupakan bagian
dari cara beliau dalam mendekatkan diri kepada jamaah dan membuat suasana
ceramah lebih hidup. Humor, bagi sebagian orang, bisa menjadi sarana untuk
meringankan beban pikiran dan membuat ajaran agama lebih mudah dicerna. Namun,
meskipun humor dapat menjadi alat yang efektif dalam dakwah, tetap harus ada
batasan yang jelas agar tidak menyebabkan kerugian atau memunculkan
kesalahpahaman. Penceramah harus memiliki kesadaran penuh bahwa di balik humor
terdapat pengaruh yang besar terhadap persepsi audiens. Oleh karena itu, sangat
penting bagi setiap penceramah untuk mempertimbangkan dampak dari setiap kata
yang mereka ucapkan.
Pada akhirnya, penggunaan humor dalam dakwah harus didasari oleh niat yang
baik dan kesadaran akan dampak yang ditimbulkan. Sebagai penceramah, seseorang
harus mampu menyesuaikan gaya komunikasi dengan audiens dan menjaga agar humor
yang disampaikan tidak melampaui batas-batas etika. Sebagai tokoh yang
dihormati, seorang penceramah memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga citra
agama dan memastikan bahwa dakwah yang mereka lakukan benar-benar memberikan
manfaat dan mendidik. Humor bisa menjadi alat dakwah yang luar biasa jika
digunakan dengan bijak dan penuh tanggung jawab. Namun, jika tidak
berhati-hati, humor bisa berbalik menjadi masalah yang merugikan baik bagi
penceramah maupun bagi masyarakat yang mendengarkan. Sebagai umat yang semakin
terhubung melalui media sosial, kita juga memiliki peran untuk ikut menjaga
etika dalam berkomunikasi, agar dakwah yang dilakukan tetap membangun dan tidak
menimbulkan dampak negatif.