Golput: Apatisme atau Protes Politik?

Golput: Apatisme atau Protes Politik?



Fenomena golput (golongan putih) dalam pemilu sering kali dianggap sebagai indikasi apatisme masyarakat terhadap politik. Dalam pandangan ini, mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya diasumsikan tidak peduli terhadap hasil politik atau bahkan terhadap keberlanjutan demokrasi itu sendiri. Namun, anggapan ini terlalu menyederhanakan kenyataan. Penelitian oleh Aspinall dan Berenschot (2019) menunjukkan bahwa ketidakpedulian pemilih sering kali merupakan hasil dari kekecewaan mendalam terhadap sistem politik yang dianggap tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, golput menjadi ekspresi dari kurangnya kepercayaan publik terhadap elite politik.

Selain itu, golput juga dapat terjadi karena alasan yang lebih teknis atau personal, yang disebut abstain pasif. Pemilih yang abstain secara pasif biasanya tidak hadir di tempat pemungutan suara (TPS) karena hambatan tertentu, seperti kesibukan, lokasi TPS yang jauh, atau kondisi cuaca buruk. Penelitian dari Przeworski (2019) menyoroti bahwa alasan-alasan teknis semacam ini sering kali tidak terkait langsung dengan preferensi politik, tetapi tetap memengaruhi tingkat partisipasi secara signifikan. Meskipun abstain pasif tidak selalu dianggap sebagai bentuk golput yang disengaja, fenomena ini tetap memberikan dampak pada data partisipasi dan persepsi publik terhadap pemilu.

Golput juga dapat menjadi bentuk protes politik, di mana pemilih dengan sengaja memberikan suara tidak sah atau menolak untuk mendukung kandidat yang tersedia. Fenomena ini sering dilihat sebagai sinyal ketidakpuasan terhadap pilihan politik yang dirasa tidak merepresentasikan aspirasi publik. Dalam Pilkada Jakarta, misalnya, gerakan simbolik seperti "gerakan coblos semua" (gercos) menunjukkan adanya kelompok masyarakat yang tetap ingin terlibat dalam proses demokrasi tetapi menolak memberikan legitimasi kepada kandidat yang dianggap tidak layak. Fenomena ini sesuai dengan pandangan Norris (2020), yang menyatakan bahwa protes voting adalah cara efektif bagi masyarakat untuk menyuarakan kritik terhadap sistem tanpa keluar dari proses demokrasi.

Fenomena protes politik dalam golput memberikan gambaran bahwa masyarakat tidak sepenuhnya apatis terhadap politik, melainkan kecewa dengan kandidat yang tersedia. Dalam konteks Pilkada, hal ini sering terjadi ketika kandidat dianggap terlalu elitis, tidak memiliki visi yang jelas, atau terjebak dalam dinamika politik transaksional. Menurut penelitian oleh Tapsell (2020), kekecewaan ini sering kali diperburuk oleh media yang cenderung mempromosikan kandidat tertentu, sehingga mempersempit ruang bagi tokoh alternatif. Protes melalui golput menjadi bentuk perlawanan terhadap monopoli elite politik dalam menentukan arah demokrasi.

Namun, penting untuk membedakan antara golput yang bersifat apatis dan golput yang bersifat protes politik. Golput apatis cenderung tidak memiliki niat untuk memengaruhi sistem, sementara golput protes secara eksplisit bertujuan menyampaikan pesan kepada elite politik. Liddle (2020) menyoroti bahwa perbedaan ini penting untuk dipahami agar pemerintah dan masyarakat tidak keliru dalam menafsirkan tingkat partisipasi. Salah satu implikasinya adalah kebutuhan untuk mendesain ulang sistem pemilu agar lebih inklusif dan representatif, sehingga meminimalkan kecenderungan golput, baik apatis maupun protes.

Golput juga bisa dilihat sebagai tantangan bagi sistem demokrasi untuk lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Ketika pemilih merasa pilihan yang tersedia tidak sesuai dengan harapan mereka, golput menjadi opsi terakhir yang dianggap paling rasional. Hal ini sejalan dengan teori pilihan rasional yang dikemukakan oleh Downs (1957), yang menyatakan bahwa pemilih cenderung bertindak berdasarkan evaluasi biaya dan manfaat dari partisipasi politik. Dalam konteks ini, golput dapat dianggap sebagai keputusan logis ketika manfaat memilih dianggap lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan.

Elite politik sering kali merespons golput dengan langkah-langkah yang cenderung simbolis, seperti kampanye untuk meningkatkan kesadaran politik atau insentif bagi pemilih. Namun, tanpa perbaikan struktural dalam sistem politik, langkah-langkah ini kemungkinan besar tidak akan efektif. Norris (2020) menegaskan bahwa respons elite terhadap golput harus lebih dari sekadar meningkatkan angka partisipasi; mereka juga harus memastikan bahwa partisipasi tersebut bermakna dan relevan bagi masyarakat. Dalam konteks Indonesia, hal ini mencakup reformasi sistem pencalonan, peningkatan transparansi, dan pengurangan pengaruh oligarki dalam politik.

Pada akhirnya, golput mencerminkan dinamika kompleks antara masyarakat dan sistem politik. Meskipun sering dianggap sebagai ancaman bagi demokrasi, golput juga dapat menjadi cerminan dari keberanian masyarakat untuk menolak pilihan yang mereka anggap tidak layak. Menurut Aspinall dan Berenschot (2019), fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia sedang mengalami proses pendewasaan, di mana masyarakat semakin kritis terhadap kualitas pemimpin yang ditawarkan. Dalam jangka panjang, pemahaman yang lebih baik tentang golput dapat membantu memperkuat demokrasi Indonesia.

Melihat fenomena ini, penting bagi semua pihak, termasuk pemerintah, partai politik, dan masyarakat sipil, untuk tidak mengabaikan golput sebagai bentuk apatisme belaka. Sebaliknya, golput harus dilihat sebagai cerminan dari kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Dengan mempelajari akar penyebab golput, kita dapat menciptakan sistem politik yang lebih inklusif, adil, dan responsif terhadap aspirasi masyarakat. Dalam hal ini, golput bukanlah akhir dari demokrasi, melainkan panggilan untuk perubahan yang lebih baik.

Kontributor

Sumarta

Referensi

·         Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia. Cornell University Press.

·         Downs, A. (1957). An Economic Theory of Democracy. Harper and Row.

·         Liddle, R. W. (2020). Voting Behavior and Political Representation in Indonesia. Cambridge University Press.

·         Norris, P. (2020). Why Elections Fail. Cambridge University Press.

·         Przeworski, A. (2019). Democracy and the Limits of Self-Government. Cambridge University Press.

·         Tapsell, R. (2020). Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens and the Digital Revolution. Rowman & Littlefield.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel