Hakikat dan Syariat: Menemukan Keseimbangan dalam Pandangan Ulama
Hakikat dan Syariat: Menemukan Keseimbangan dalam Pandangan Ulama
Penulis
Sumarta
(Akang Marta)
Di kalangan para ulama, terdapat perdebatan panjang mengenai pemahaman yang
tepat antara hakikat dan syariat dalam kehidupan seorang Muslim. Syariat, yang
merujuk pada hukum Islam yang ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadits, memberikan
petunjuk yang jelas mengenai apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan
dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam memandang kematian. Dalam
perspektif syariat, kematian dianggap sebagai sebuah peristiwa yang sakral dan
harus dihormati. Kematian adalah fase transisi yang menghubungkan dunia dengan
akhirat, di mana setiap amal perbuatan akan dihitung oleh Allah. Oleh karena
itu, hidup harus dijalani sesuai dengan aturan syariat yang telah ditentukan.
Syariat mengatur bagaimana seorang Muslim harus bersikap terhadap kematian
dengan penuh rasa hormat dan ketakwaan, memperlihatkan bahwa kehidupan di dunia
ini adalah sementara dan setiap detik di dalamnya harus digunakan untuk beramal
saleh.
Namun, di sisi lain, hakikat memiliki pemahaman yang lebih mendalam mengenai
kehidupan dan kematian. Dalam pandangan hakikat, kematian bukanlah akhir dari
segalanya, melainkan sebuah kebebasan dari belenggu duniawi. Hakikat
mengajarkan bahwa kematian adalah sebuah bentuk pembebasan, di mana seorang
hamba yang telah menjalani hidupnya dengan baik akan dipanggil oleh Tuhan untuk
kembali kepada-Nya. Perspektif hakikat ini mengajarkan bahwa dunia adalah
tempat ujian dan penderitaan, dan kematian adalah jalan menuju kebahagiaan yang
abadi. Bagi mereka yang telah mencapai pemahaman hakikat, kematian tidak lagi
dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan atau menyedihkan, melainkan sebagai
saat yang dinanti-nanti untuk mencapai pertemuan dengan Sang Pencipta. Dalam
hal ini, hakikat lebih menekankan pada kedalaman spiritual dan makna yang lebih
besar dari sekadar kehidupan duniawi.
Di sinilah terletak keseimbangan antara hakikat dan syariat. Meskipun
pandangan hakikat tentang kematian memberikan kebebasan dan pengharapan yang
lebih dalam, syariat mengajarkan pentingnya menjalani kehidupan dengan penuh
tanggung jawab. Oleh karena itu, keduanya tidak saling bertentangan, melainkan
saling melengkapi. Syariat memberikan pedoman praktis tentang bagaimana
seharusnya seorang Muslim hidup di dunia ini dengan baik, sementara hakikat
mengingatkan bahwa tujuan akhir dari kehidupan ini adalah pertemuan dengan
Allah. Sebagai contoh, dalam kehidupan seorang pengrajin pelana kuda pada zaman
Nabi Musa, meskipun dalam syariat tindakan tersebut dianggap tidak sesuai,
tetapi dari perspektif hakikat, ia memberikan yang terbaik untuk Allah sebagai
bentuk penghambaan dan keikhlasan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun perbuatan
seseorang tampak sederhana atau bahkan tidak sempurna menurut syariat, namun
jika dilakukan dengan niat yang tulus, itu akan menjadi amal yang diterima di
sisi Allah.
Mencari keseimbangan antara hakikat dan syariat juga mencakup bagaimana
seorang Muslim melihat dunia dan kehidupan itu sendiri. Dalam kehidupan
sehari-hari, seorang Muslim dihadapkan pada berbagai tantangan yang
mengharuskannya untuk berinteraksi dengan dunia material. Syariat memberikan
petunjuk tentang cara menjalani kehidupan yang adil, baik dalam urusan pribadi,
sosial, maupun keagamaan. Namun, pandangan hakikat membantu seseorang untuk
tidak terlalu terikat pada dunia ini, mengingat bahwa kehidupan dunia hanyalah
sebuah tempat persinggahan. Dengan memahami hakikat, seorang Muslim diingatkan
bahwa setiap perbuatan di dunia ini harus dilakukan dengan tujuan yang lebih
tinggi, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini membuat seorang
Muslim mampu melihat dunia dari perspektif yang lebih luas, tidak hanya sebatas
kebutuhan material, tetapi juga spiritual.
Sebagai penutup, penting bagi setiap individu untuk merenungkan peran
hakikat dan syariat dalam kehidupan mereka. Kehidupan yang dijalani dengan
keseimbangan antara keduanya akan menghasilkan ketenangan batin dan pemahaman
yang lebih mendalam tentang hakikat hidup itu sendiri. Syariat memberikan arah
dan panduan praktis, sedangkan hakikat memberikan kedalaman spiritual yang
memotivasi seseorang untuk tidak terjebak dalam kehidupan duniawi. Dengan
memadukan kedua perspektif ini, seorang Muslim dapat menjalani hidupnya dengan
penuh makna, tidak hanya mencari kepuasan dunia, tetapi juga berfokus pada
tujuan yang lebih tinggi, yaitu mendapatkan keridhaan Allah. Sebuah kehidupan yang
seimbang antara hakikat dan syariat adalah kehidupan yang sejati, penuh dengan
pengertian dan kesadaran tentang tujuan akhir yang abadi.
Referensi
Al-Ghazali, A. (2004). Ihya' Ulum al-Din. Dar al-Turath.
Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity.
HarperSanFrancisco.
Rumi, J. (1995). The Essential Rumi (C. Barks, Ed.). HarperCollins.