HIV dan Stigma: Menyuarakan Cerita yang Terpendam

HIV dan Stigma: Menyuarakan Cerita yang Terpendam



Sebagai seorang remaja yang tumbuh di Irlandia, narasumber kita menghadapi perasaan terasingkan dalam keluarganya yang konservatif. Di tengah dinamika keluarga yang menekankan nilai-nilai tradisional, ia merasa tidak memiliki tempat untuk mengekspresikan dirinya secara autentik. Dengan saudara-saudaranya yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk kegiatan olahraga, ia merasa berbeda karena kecenderungannya yang lebih feminin. Ketidakhadiran ruang untuk berbicara secara terbuka tentang identitas dirinya di dalam keluarga membuatnya mencari komunitas lain yang lebih memahami. Menurut Butler (1990), identitas gender dan seksual sering kali dikonstruksi oleh norma sosial yang dapat membatasi individu untuk mengekspresikan diri mereka secara bebas. Dalam hal ini, pengalaman narasumber menunjukkan bagaimana keterasingan dalam keluarga dapat memengaruhi perjalanan seseorang dalam menemukan identitasnya.

Pencarian ini membawanya kepada komunitas queer, tempat di mana ia menemukan kebebasan yang selama ini dicari. Hidup di tengah komunitas homoseksual memberikan ruang untuk mengakui dan menerima identitas seksualnya sendiri. Menjalani kehidupan yang lebih terbuka adalah pengalaman yang membebaskan, mengurangi tekanan dari bertahun-tahun menekan perasaan sejatinya. Dalam studi yang dilakukan oleh Herek (2009), disebutkan bahwa memiliki jaringan sosial yang mendukung dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis individu LGBTQ+. Komunitas ini tidak hanya menjadi tempat perlindungan, tetapi juga menjadi sarana untuk mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang dirinya dan orang lain dengan latar belakang serupa.

Namun, hidupnya berubah drastis saat ia mengetahui status HIV-nya. Diagnosis ini membawa rasa takut dan ketidakpastian yang belum pernah ia alami sebelumnya. Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC, 2023), stigma terhadap HIV sering kali lebih menekan dibandingkan dengan dampak medis dari penyakit itu sendiri. Dalam kasus narasumber kita, perasaan tertekan akibat stigma ini menjadi tantangan besar, terutama karena ia harus menyimpan rahasia ini dari banyak orang terdekatnya. Diagnosis ini menjadi titik balik yang membuatnya harus menghadapi pertanyaan mendalam tentang bagaimana ia akan menjalani kehidupan selanjutnya.

Meski ia memiliki dukungan dari keluarga dan teman-temannya, rasa kesepian tetap menghantui. Kesepian ini tidak hanya muncul dari status penyakitnya, tetapi juga dari tekanan untuk merahasiakannya. Menurut penelitian oleh Bogart et al. (2008), individu dengan HIV yang menyembunyikan status mereka lebih rentan terhadap gangguan psikologis seperti kecemasan dan depresi. Hal ini dialami oleh narasumber yang merasa terisolasi dalam perjuangannya meskipun secara fisik dikelilingi oleh orang-orang yang mencintainya. Rahasia ini menjadi beban emosional yang menghalanginya untuk merasa sepenuhnya terhubung dengan orang-orang terdekatnya.

Di sisi lain, ia menemukan komunitas yang memahami pengalamannya. Kelompok pendukung HIV menjadi ruang di mana ia dapat berbicara secara terbuka tentang rasa takut, rasa bersalah, dan harapannya. Dukungan ini sangat penting dalam proses penerimaan dirinya sendiri. Kelompok seperti ini memainkan peran penting dalam mengurangi rasa terisolasi dan membantu individu dengan HIV untuk membangun kembali rasa percaya diri mereka (UNAIDS, 2022). Dalam konteks ini, kehadiran komunitas yang mendukung menjadi salah satu elemen kunci dalam membantu narasumber menghadapi stigma dan tantangan hidup dengan HIV.

Penerimaan ini juga membuatnya lebih aktif dalam berbagi cerita untuk meningkatkan kesadaran tentang HIV. Ia mulai terlibat dalam kampanye yang menyoroti bagaimana HIV tidak hanya tentang virus itu sendiri, tetapi juga tentang bagaimana stigma dan diskriminasi dapat memperparah dampaknya. Melalui ceritanya, ia berharap dapat mengubah pandangan masyarakat tentang HIV dan mereka yang hidup dengan penyakit ini. Menurut Goffman (1963), menceritakan pengalaman pribadi adalah salah satu cara paling efektif untuk memerangi stigma sosial, karena dapat membangun empati dan menghilangkan prasangka.

Namun, perjuangan melawan stigma bukanlah tugas yang mudah. Narasumber sering kali harus menghadapi stereotip yang keliru dan komentar yang menyakitkan dari masyarakat. Ini mencerminkan kurangnya pemahaman masyarakat tentang HIV, terutama mengenai cara penularannya. Menurut World Health Organization (WHO, 2023), edukasi publik yang memadai sangat penting untuk mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap individu dengan HIV. Tanpa pemahaman yang benar, masyarakat cenderung mengandalkan mitos dan prasangka, yang pada akhirnya menciptakan lebih banyak hambatan bagi mereka yang hidup dengan HIV.

Cerita ini memberikan pelajaran penting tentang bagaimana stigma dapat memengaruhi seseorang secara mendalam. Dari keterasingan dalam keluarga hingga perjuangan melawan stigma di masyarakat, narasumber menunjukkan betapa kompleksnya tantangan yang dihadapi oleh individu dengan HIV. Namun, kisah ini juga mengingatkan kita akan kekuatan komunitas, edukasi, dan keberanian individu untuk melawan stigma. Dengan dukungan yang tepat, seseorang dapat mengatasi tantangan ini dan menemukan makna baru dalam hidupnya.

Pada akhirnya, pengalaman ini menggarisbawahi pentingnya pendekatan berbasis komunitas dan edukasi publik dalam memerangi stigma terhadap HIV. Tidak hanya untuk melindungi individu dengan HIV, tetapi juga untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan empati. Kisah ini menjadi pengingat bahwa setiap orang memiliki peran dalam menciptakan perubahan positif dalam cara kita memandang HIV dan mereka yang hidup dengan penyakit ini.

Kontributor

Sumarta

Indramayutradisi.com

Note :

Artikel ini mencoba memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana komunitas HIV di Irlandia bergerak untuk menciptakan ruang yang lebih inklusif, serta bagaimana mereka melalui pengalaman pribadi untuk merayakan hidup mereka. Kisah-kisah ini, meski penuh tantangan, adalah sumber kekuatan yang bisa menginspirasi perubahan lebih luas, tidak hanya bagi mereka yang hidup dengan HIV tetapi juga bagi seluruh masyarakat.

Referensi:

Bogart, L. M., Cowgill, B. O., Kennedy, D., Ryan, G., Murphy, D. A., Elijah, J., & Schuster, M. A. (2008). HIV-related stigma among people with HIV and their families: A qualitative analysis. AIDS and Behavior, 12(2), 244–254. https://doi.org/10.1007/s10461-007-9231-x

Butler, J. (1990). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. New York: Routledge.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2023). HIV stigma and discrimination

DW Documentary. (30 Nov 2024) Living with HIV - The fight against stigmatization. https://www.youtube.com/@DWDocumentary/videos

Goffman, E. (1963). Stigma: Notes on the management of spoiled identity. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall.

Herek, G. M. (2009). Sexual stigma and sexual prejudice in the United States: A conceptual framework. The Journal of Sex Research, 46(2–3), 13–21. https://doi.org/10.1080/00224490903010046

UNAIDS. (2022). Global HIV & AIDS statistics — Fact sheet

World Health Organization (WHO). (2023). HIV/AIDS.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel