Humor di Panggung Dakwah: Antara Etika, Adab, dan Refleksi

 Humor di Panggung Dakwah: Antara Etika, Adab, dan Refleksi

Kontributor

Sumarta (Akang Marta)

 
Akang Marta 

Beberapa pekan terakhir, jagat maya Indonesia dikejutkan dengan kontroversi yang melibatkan seorang pendakwah berlabel "Habib" yang menyampaikan guyonan yang dianggap tidak pantas di depan jemaah. Cerita ini bermula dalam sebuah acara dakwah ketika pendakwah bernama Zaidan melontarkan candaan yang dinilai mesum. Dalam salah satu segmennya, Zaidan bertanya kepada seorang jemaah perempuan, “Tahu bahasa Inggrisnya dua mobil?” lalu menjawab sendiri, “Tiga istri.” Candaan tersebut disambut tawa dari sebagian besar jemaah, termasuk beberapa tokoh agama yang hadir, namun tidak berselang lama, publik mulai bereaksi keras. Meskipun di acara tersebut tawa tampak mengalir, efek dari humor tersebut jauh lebih dalam dan memicu kritik tajam dari masyarakat yang menilai bahwa lelucon semacam ini tidak seharusnya disampaikan di tempat yang mulia, seperti dalam sebuah ceramah agama.

Sebagai pendakwah yang berada di atas mimbar, Zaidan dan juga tokoh agama lainnya yang ikut tertawa, seperti Gus Utsman Ali, seharusnya menyadari dampak yang ditimbulkan dari setiap kata dan tindakan mereka. Ceramah agama adalah tempat untuk menyampaikan pesan moral dan spiritual yang menginspirasi dan mengedukasi masyarakat, bukan sebagai arena untuk melontarkan candaan yang bisa dianggap merendahkan atau menyakitkan pihak lain. Etika dan adab dalam berbicara sangat penting, terutama bagi seorang tokoh agama yang menjadi panutan. Humor yang disampaikan dalam konteks keagamaan seharusnya bersifat mendidik dan mempererat tali silaturahmi, bukan malah menimbulkan kontroversi dan membuat orang merasa tidak nyaman. Ini adalah pelajaran bagi para penceramah agar senantiasa menjaga kualitas dakwah dengan penuh tanggung jawab.

Kontroversi ini juga menyoroti ketidakhati-hatian dalam menggunakan humor di ruang publik. Humor memang memiliki peran penting dalam ceramah agama, dapat mencairkan suasana dan membuat pesan lebih mudah diterima, tetapi harus tetap dalam batas-batas yang sesuai. Dalam hal ini, humor yang merendahkan atau bersifat mesum tidak seharusnya menjadi bahan tertawa di hadapan publik. Masyarakat tentu mengharapkan penceramah untuk memiliki sikap bijak dalam memilih materi ceramah, mengingat posisi mereka yang memegang pengaruh besar terhadap audiens. Sebagai penceramah, kemampuan untuk menyesuaikan humor dengan konteks dan audiens adalah bagian dari etika berbicara yang tidak bisa diabaikan. Hal ini terutama penting di tengah masyarakat yang sangat beragam latar belakangnya, dengan nilai dan pandangan yang berbeda.

Penting untuk menyadari bahwa humor yang dianggap ringan oleh sebagian orang, bisa jadi sangat ofensif bagi yang lainnya. Ini adalah tantangan yang harus dihadapi oleh setiap penceramah, yang tidak hanya harus pintar dalam menyampaikan materi, tetapi juga cerdas dalam membaca situasi dan audiens. Ketika lelucon yang disampaikan justru memunculkan keresahan atau penilaian negatif dari masyarakat, maka penceramah perlu mengevaluasi kembali bagaimana cara mereka berinteraksi dengan audiens. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi para pendakwah bahwa humor, meskipun sering kali efektif untuk menyampaikan pesan, harus digunakan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan, terutama dalam konteks dakwah yang membutuhkan kehati-hatian dan rasa hormat yang tinggi terhadap nilai-nilai agama.

Kasus ini, meski mungkin terlihat sebagai masalah sepele, sebenarnya memberikan gambaran tentang betapa pentingnya menjaga etika dan adab dalam berbicara, khususnya bagi mereka yang memiliki posisi sebagai figur publik atau pemimpin agama. Setiap perkataan yang keluar dari mulut seorang penceramah memiliki potensi untuk menginspirasi atau merusak. Oleh karena itu, pendakwah seharusnya senantiasa sadar bahwa mereka bukan hanya berbicara kepada audiens yang hadir secara fisik, tetapi juga kepada masyarakat luas yang bisa mengakses dan menilai setiap ucapannya. Refleksi terhadap penggunaan humor dalam dakwah ini seharusnya menjadi titik tolak untuk meningkatkan kualitas ceramah dan memperbaiki hubungan dengan jemaah.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel