Jokowi dan Prabowo: Realpolitik yang Unik dalam Dinamika Politik Indonesia
Realpolitik yang Unik dalam Dinamika Politik Indonesia
Hubungan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto menjadi
salah satu fenomena paling menarik dalam politik Indonesia modern. Setelah
bersaing ketat dalam Pemilu 2014 dan 2019, kedua tokoh ini kini menjalin kerja
sama strategis yang mencerminkan tingkat realpolitik yang jarang terlihat
sebelumnya. Langkah ini tidak hanya memperkuat stabilitas politik nasional
tetapi juga membuka peluang baru bagi konsolidasi kekuasaan di tengah tantangan
domestik dan global. Kemampuan Jokowi untuk merangkul Prabowo sebagai mitra
strategis menggambarkan pendekatan politiknya yang pragmatis dan berbasis pada
kepentingan nasional yang lebih luas (Tomsa, 2023).
Prabowo, di sisi lain, menunjukkan kedewasaan politik dengan menerima
tawaran untuk bergabung dalam kabinet Jokowi. Sebagai Menteri Pertahanan, ia
memanfaatkan posisinya untuk membangun reputasi sebagai tokoh yang loyal kepada
pemerintah, sembari menjaga ambisinya untuk maju dalam Pilpres 2024. Keputusan
ini mencerminkan kalkulasi politik yang matang, di mana Prabowo memahami
pentingnya dukungan Jokowi untuk menjaga peluangnya meraih kursi presiden.
Hubungan ini memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak, memperlihatkan bahwa
pragmatisme sering kali menjadi kunci dalam politik Indonesia (Mietzner, 2020).
Realpolitik yang ditunjukkan Jokowi dan Prabowo menggambarkan perubahan
besar dalam budaya politik Indonesia pasca-reformasi. Sebelumnya, rivalitas
politik sering kali berujung pada polarisasi yang tajam, tetapi kerja sama
kedua tokoh ini menunjukkan bahwa kompromi dapat menjadi solusi efektif untuk
menjaga stabilitas nasional. Langkah ini menjadi preseden penting, terutama
dalam menghadapi tantangan global seperti ketegangan geopolitik dan pemulihan
ekonomi pasca-pandemi. Kemampuan Jokowi dan Prabowo untuk bekerja sama juga
memperlihatkan bahwa politik Indonesia semakin matang dan fleksibel dalam
menghadapi dinamika yang kompleks (Aspinall & Mietzner, 2019).
Kerja sama ini tidak lepas dari kritik. Beberapa pihak menilai bahwa
kolaborasi antara Jokowi dan Prabowo mengurangi semangat oposisi yang sehat
dalam demokrasi. Dengan bergabungnya Gerindra ke dalam koalisi pemerintah,
ruang bagi partai-partai oposisi menjadi semakin sempit, sehingga pengawasan
terhadap pemerintah kurang optimal. Namun, Jokowi dan Prabowo berargumen bahwa
langkah ini diambil demi kepentingan nasional, khususnya untuk menjaga
stabilitas politik di tengah tantangan global. Hal ini mencerminkan dilema
antara pragmatisme politik dan idealisme demokrasi (Warburton, 2021).
Dalam konteks Pilpres 2024, hubungan Jokowi dan Prabowo menjadi semakin
strategis. Jokowi, yang memiliki pengaruh kuat di pemerintahan dan masyarakat,
dapat memainkan peran penting dalam menentukan arah dukungan politiknya.
Sementara itu, Prabowo memanfaatkan kedekatan ini untuk memperkuat posisinya
sebagai kandidat presiden yang didukung oleh koalisi besar. Keberhasilan
keduanya dalam memelihara hubungan ini menunjukkan kemampuan mereka untuk
menyeimbangkan ambisi pribadi dengan kepentingan bersama (Mietzner, 2019).
Kerja sama ini juga menunjukkan bagaimana politik Indonesia semakin
dipengaruhi oleh pragmatisme daripada ideologi. Baik Jokowi maupun Prabowo
telah membuktikan bahwa perbedaan latar belakang dan pandangan politik tidak
menjadi hambatan untuk bekerja sama demi tujuan yang lebih besar. Ini menjadi
pelajaran penting bagi generasi politik selanjutnya, bahwa realpolitik dapat
menjadi alat yang efektif untuk mencapai stabilitas dan kemajuan nasional
(Tomsa, 2023).
Namun, hubungan ini tidak sepenuhnya bebas dari tantangan. Ketegangan antara
PDI-P, partai pengusung utama Jokowi, dan Gerindra sebagai basis politik
Prabowo sering kali menciptakan friksi di dalam koalisi. Perbedaan kepentingan
antara kedua partai ini dapat menjadi ancaman bagi stabilitas koalisi, terutama
menjelang Pilpres 2024. Dalam situasi ini, Jokowi memainkan peran penting
sebagai mediator untuk menjaga harmoni di dalam pemerintahan (Aspinall, 2014).
Prabowo juga menghadapi tantangan dalam menjaga keseimbangan antara
loyalitasnya kepada Jokowi dan ambisinya untuk maju sebagai presiden. Sebagai
tokoh dengan latar belakang militer, Prabowo harus membuktikan bahwa ia mampu
menjadi pemimpin yang inklusif dan adaptif dalam menghadapi tuntutan politik
modern. Hal ini menjadi ujian besar bagi Prabowo untuk menunjukkan bahwa ia
tidak hanya sekadar tokoh pragmatis, tetapi juga seorang pemimpin visioner
(Hadiz, 2017).
Bagi Jokowi, kerja sama ini adalah bagian dari strategi yang lebih besar
untuk memastikan keberlanjutan agenda-agenda pembangunannya. Dengan mendukung
Prabowo, Jokowi berupaya menjaga kesinambungan kebijakan nasional, sekaligus
meminimalkan risiko konflik politik pasca-2024. Strategi ini mencerminkan
pemikiran jangka panjang Jokowi yang jarang terlihat dalam politik Indonesia
sebelumnya (Warburton, 2021).
Kolaborasi antara Jokowi dan Prabowo juga membawa dampak besar pada peta
politik nasional. Dengan bergabungnya Gerindra ke dalam koalisi pemerintah,
Jokowi berhasil membentuk koalisi terbesar dalam sejarah politik Indonesia. Hal
ini tidak hanya memperkuat stabilitas politik, tetapi juga memberikan landasan
yang kuat untuk melaksanakan agenda-agenda nasional tanpa hambatan berarti.
Namun, tantangan tetap ada dalam menjaga integritas koalisi ini di tengah
perbedaan kepentingan di antara partai-partai pendukung (Mietzner, 2020).
Ke depan, hubungan Jokowi dan Prabowo akan menjadi salah satu faktor penentu
dalam menentukan arah politik Indonesia. Jika kerja sama ini berhasil dikelola
dengan baik, Indonesia dapat menghadapi tantangan global dengan posisi yang
lebih kuat. Namun, jika hubungan ini terganggu oleh konflik internal atau
ambisi politik yang berlebihan, dampaknya dapat merusak stabilitas nasional. Oleh
karena itu, keberlanjutan hubungan ini menjadi ujian penting bagi kedewasaan
politik Indonesia (Tomsa, 2023).
Kontributor
Sumarta
Referensi:
Aspinall, E. (2014). Electoral
dynamics in Indonesia: Money politics, patronage and clientelism at the
grassroots. Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute.
Hadiz, V. R. (2017). Islamic populism in Indonesia and the Middle East.
Cambridge: Cambridge University Press.
Mietzner, M. (2019). Authoritarian innovations in Indonesia’s democratic
decline. Democratization, 26(1), 16-31.
Mietzner, M. (2020). Political polarization and democratic resilience in
Indonesia. Asian Affairs, 51(2), 241-264.
Nusantara TV. (30 Nov 2024)
Peta Politik Indonesia, Saiful SMRC: Prabowo Pengin Banget Bareng Bu Mega, Tapi
Mega Nggak!. https://nusantaratv.com/
Tomsa, D. (2023). Indonesia
under Jokowi: Between populism and technocracy. Journal of Current
Southeast Asian Affairs, 42(3), 23-47.
Warburton, E. (2021). Developmentalism and democracy in Indonesia:
Reshaping the political order. The Pacific Review, 34(1), 123-144.