Kekuatan dan Kelemahan: Perspektif Ilahi

 

Kekuatan dan Kelemahan: Perspektif Ilahi

Penulis

Sumarta (Akang Marta)

 


Dalam pandangan dunia modern, kekuatan sering kali diukur dengan pencapaian material dan dominasi sosial. Banyak orang menilai keberhasilan seseorang berdasarkan seberapa besar pengaruh, kekayaan, dan status yang dimiliki. Kekuasaan duniawi dianggap sebagai simbol kekuatan yang dapat memberikan kontrol atas kehidupan dan keadaan. Namun, pandangan ini hanya mencakup aspek fisik dan sosial, tanpa memperhitungkan dimensi yang lebih dalam dari kehidupan manusia, yaitu dimensi spiritual. Dalam banyak tradisi spiritual, termasuk dalam ajaran Islam, kekuatan sejati bukanlah kekuasaan atas orang lain atau kemampuan untuk mengendalikan dunia, melainkan kesadaran akan kelemahan diri di hadapan Tuhan. Kesadaran ini membuka jalan bagi penyerahan diri yang ikhlas kepada Allah dan mengajarkan bahwa kekuatan yang sesungguhnya datang dari ketundukan dan kerendahan hati di hadapan-Nya.

Dalam perspektif spiritual, kekuatan sejati bukan terletak pada apa yang kita miliki, tetapi pada apa yang kita rasakan dalam hubungan kita dengan Tuhan. Banyak tokoh spiritual, termasuk para Sufi, mengajarkan bahwa seorang manusia yang kuat adalah mereka yang dapat merasakan kelemahan dirinya di hadapan Tuhan, mengakui ketidakberdayaan mereka tanpa-Nya, dan berserah diri sepenuhnya pada kehendak-Nya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pandangan dunia modern yang menekankan kekuatan dalam bentuk dominasi atau penguasaan. Dalam Islam, Allah berfirman dalam Al-Qur'an bahwa kekuatan sejati adalah milik-Nya, dan hanya dengan mengingat-Nya kita bisa merasakan kedamaian dan kekuatan batin. Pandangan ini mengingatkan kita bahwa hidup ini bukan tentang siapa yang lebih kuat dalam hal materi atau kekuasaan sosial, tetapi bagaimana kita bisa menjadi lebih dekat dengan Tuhan dan menjalani hidup dengan penuh ketulusan dan pengabdian.

Kelemahan manusia dalam perspektif ilahi bukanlah sesuatu yang patut dipermalukan atau disembunyikan, melainkan sesuatu yang dapat mengarah pada pencerahan spiritual. Setiap manusia, terlepas dari status sosial atau kedudukan mereka, memiliki kelemahan dan keterbatasan. Kekuatan yang dimiliki manusia di dunia ini bersifat sementara dan relatif. Bahkan pemimpin dunia yang paling berkuasa sekalipun, pada akhirnya, akan menghadapi kematian, yang mengingatkan kita bahwa segala kekuasaan duniawi tidak akan bertahan selamanya. Kematian adalah batas yang tak terelakkan, dan tidak ada yang dapat menghindarinya. Dalam hal ini, perspektif ilahi mengajarkan kita bahwa hidup yang penuh dengan kesadaran spiritual, yang mengakui kelemahan dan keterbatasan kita di hadapan Tuhan, adalah jalan menuju kebahagiaan abadi. Oleh karena itu, kita diajarkan untuk tidak membanggakan kekuatan duniawi, tetapi untuk mengandalkan kekuatan yang lebih besar, yaitu kekuatan yang datang dari Tuhan.

Dalam surat Al-Qur'an, Allah mengingatkan kita tentang kenyataan bahwa segala yang ada di dunia ini adalah fana, termasuk kekuatan dan kekuasaan manusia. Dalam QS. Qaf: 22, disebutkan, “Pada hari itu Kami singkapkan hijabmu, maka penglihatanmu pada hari itu menjadi tajam.” Ayat ini menggambarkan bahwa pada akhirnya, manusia akan melihat dengan jelas kebenaran yang selama ini tersembunyi. Pada hari kiamat, ketika dunia ini tidak lagi ada, kekuatan duniawi tidak akan berarti apa-apa. Apa yang akan tetap ada adalah amal perbuatan dan niat seseorang selama hidup di dunia. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk mengevaluasi kembali pandangan mereka tentang kekuatan dan kelemahan. Perspektif ilahi mengingatkan kita bahwa yang penting dalam hidup ini adalah niat yang tulus dan amal yang baik, yang mendekatkan kita kepada Allah dan menjauhkan kita dari sifat sombong atau keserakahan.

Konsep kekuatan dalam perspektif ilahi juga mengajarkan kita bahwa manusia bukanlah pusat dari segala sesuatu. Dunia ini dan segala isinya adalah ciptaan Tuhan yang memiliki kehendak-Nya sendiri. Kekuatan manusia hanya bisa berjalan sesuai dengan kehendak-Nya. Ketika manusia menganggap bahwa kekuatan dan kekuasaan adalah milik mereka, mereka lupa bahwa semua ini hanya diberikan sementara oleh Tuhan untuk ujian. Dalam Islam, umat diajarkan untuk menyadari bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah titipan Tuhan, dan kita harus menggunakan kekuatan yang diberikan dengan bijaksana. Hal ini mengarah pada pemahaman bahwa kesombongan dan keangkuhan dalam memiliki kekuasaan tidak hanya sia-sia, tetapi juga akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Sebagai manusia, kita diingatkan untuk selalu rendah hati dan berserah diri kepada Tuhan, serta tidak menganggap diri kita lebih tinggi atau lebih kuat dari orang lain.

Melalui pemahaman ini, kita diharapkan dapat merubah pandangan kita tentang kekuatan dan kelemahan dalam kehidupan sehari-hari. Daripada terus-menerus mengejar kekuatan duniawi, yang pada akhirnya hanya bersifat sementara dan akan hilang, lebih baik kita fokus pada pencarian kekuatan batin yang datang dari hubungan yang kuat dengan Tuhan. Kekuatan yang sejati adalah kemampuan untuk mengendalikan diri, untuk tetap teguh dalam iman, dan untuk mengutamakan amal saleh. Ketika kita mengakui kelemahan kita di hadapan Tuhan, kita sebenarnya menemukan kekuatan yang lebih besar, yaitu kekuatan yang tidak tergoyahkan oleh dunia ini. Oleh karena itu, dalam menjalani hidup, kita harus senantiasa mengingat bahwa kekuatan yang sebenarnya adalah kesadaran akan kelemahan diri, yang membawa kita untuk hidup dengan penuh rasa syukur dan rendah hati.

Referensi

Al-Qur'an. (n.d.). QS. Qaf: 22.
Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. HarperOne.
Ghazali, A. (2005). Ihya' Ulum al-Din (The Revival of Religious Sciences). Translated by Muhammad Abduh. Islamic Text Society.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel