Kekuatan Kata dan Tanggung Jawab Publik: Pelajaran dari Kasus Gus Miftah
Kekuatan Kata dan Tanggung Jawab Publik: Pelajaran dari Kasus Gus Miftah
Kontributor
Sumarta
(Akang Marta)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiJ92CBkPu74khJLojjlcIRicsmWKgqzojShxEtHMu2FgDCb-3hC4M2DI8VzBWzXNahep_KLyC8VGNRsDoU-6iWC1KRWTvoCqU52_Q29Z4HaUqWz58NuWxM6JiolLwxv5eG3K9B7_VQHbbTXWm_VePIEjlg274ZvvT0XFXyHPrk0bJ3_Q01BmXNK5qmdaQ/s320-rw/Screenshot_20241211_035630_Chrome.jpg)
Miftah Maulana Habiburahman
![]() |
Miftah Maulana Habiburahman |
Kasus yang melibatkan Gus Miftah memberikan pelajaran penting tentang bagaimana
kata-kata dapat memengaruhi masyarakat, khususnya ketika diucapkan oleh tokoh
publik. Sebagai seorang penceramah agama yang juga memegang jabatan publik,
setiap perkataan yang disampaikan oleh Gus Miftah memiliki dampak yang jauh
lebih besar daripada kata-kata yang diucapkan oleh orang biasa. Kata-kata
seorang tokoh agama seharusnya tidak hanya menyampaikan pesan yang bermanfaat,
tetapi juga mencerminkan nilai-nilai moral dan etika yang tinggi. Dalam dunia
digital yang semakin terbuka dan cepat, sebuah pernyataan bisa dengan mudah
tersebar luas dan menimbulkan berbagai reaksi. Ketika ucapan seorang tokoh
agama tidak mencerminkan etika yang baik, maka dampaknya bisa sangat besar,
baik bagi citra pribadi maupun bagi masyarakat yang mengikutinya.
Tanggung jawab yang diemban oleh seorang penceramah seperti Gus Miftah bukan
hanya terbatas pada penyampaian dakwah, tetapi juga mencakup tanggung jawab
moral yang lebih besar sebagai figur publik. Sebagai pejabat yang memegang
posisi penting, ucapan dan tindakannya akan selalu mendapat perhatian publik.
Masyarakat cenderung menilai seorang tokoh agama tidak hanya dari apa yang
mereka ajarkan dalam ceramah, tetapi juga bagaimana mereka mengendalikan diri
dalam berbicara dan bertindak. Kasus ini mengingatkan kita bahwa sebagai
seorang pemimpin, baik dalam agama maupun pemerintahan, seseorang harus menjaga
lisan dan perilaku dengan lebih bijak dan penuh pertimbangan. Setiap kata yang
terucap harus bisa memberikan contoh positif dan tidak merugikan orang lain,
terutama dalam konteks publik.
Introspeksi menjadi langkah pertama yang penting dalam menghadapi kritik
atau kontroversi. Dalam kasus ini, Gus Miftah seharusnya bisa menjadikan kritik
yang muncul sebagai kesempatan untuk melakukan refleksi diri, memahami dampak dari
ucapannya, dan berusaha memperbaiki kesalahan. Meskipun kesalahan adalah hal
yang manusiawi, tetapi kesalahan yang berulang menunjukkan kurangnya usaha
untuk berubah atau memperbaiki diri. Ini menjadi pembelajaran bagi siapa saja
yang memegang peran penting dalam masyarakat, bahwa introspeksi dan perubahan
diri adalah hal yang sangat penting dalam menjaga integritas dan citra publik.
Bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk kebaikan bersama,
terutama bagi mereka yang mengikuti dan mempercayai pesan yang disampaikan.
Tanggung jawab moral dan etika dalam berkomunikasi menjadi sangat penting,
terlebih ketika berbicara di depan publik. Penceramah seperti Gus Miftah harus
mampu menjaga keseimbangan antara menyampaikan pesan agama dengan cara yang
menyentuh hati dan menjaga etika dalam berbicara. Humor dalam dakwah memang
penting untuk menciptakan kedekatan dengan jamaah, namun tetap harus dilakukan
dengan bijaksana. Humor yang tidak tepat atau berlebihan bisa menimbulkan salah
paham atau bahkan menyakiti perasaan orang lain. Oleh karena itu, penceramah
harus sangat hati-hati dalam menggunakan humor dan kata-kata, agar pesan yang
disampaikan tetap efektif tanpa menimbulkan dampak negatif yang tidak
diinginkan. Ini adalah pelajaran penting bagi setiap tokoh agama dan pejabat
publik yang berbicara di depan banyak orang.
Kasus Gus Miftah seharusnya menjadi pengingat bagi semua pihak tentang
pentingnya menjaga lisan dan etika, terutama dalam dunia yang semakin digital
dan terbuka. Apa yang diucapkan di ruang publik, baik itu dalam ceramah,
pidato, maupun media sosial, memiliki kekuatan besar yang dapat mempengaruhi
banyak orang. Untuk itu, sebagai tokoh publik, sangat penting untuk selalu
mengingat bahwa kata-kata yang diucapkan tidak hanya mencerminkan diri sendiri,
tetapi juga bisa memberi dampak luas bagi masyarakat. Dengan menjaga etika
dalam berkomunikasi, seorang penceramah atau pejabat publik tidak hanya akan
dihormati, tetapi juga bisa memberikan pengaruh positif yang besar bagi
perubahan sosial yang lebih baik.