Kesalahan Lisan dalam Perspektif Publik
Kesalahan Lisan dalam Perspektif Publik
Kontributor
Sumarta
(Akang Marta)
Setiap budaya memiliki norma dan kebiasaan dalam berkomunikasi yang beragam,
terutama dalam hal penggunaan bahasa. Di beberapa wilayah, seperti di Jawa
Timur, ada kebiasaan menggunakan istilah atau bahasa yang dianggap kasar,
tetapi dianggap wajar atau bahkan sebagai bentuk kedekatan di antara
teman-teman dekat. Dalam lingkungan tersebut, istilah kasar atau humor yang
lebih bebas sering digunakan untuk menciptakan suasana yang lebih santai dan
akrab. Namun, dalam konteks yang lebih luas, terutama ketika berbicara di depan
umum atau dalam situasi formal, hal ini bisa memiliki dampak yang sangat
berbeda. Saat seseorang, terutama seorang tokoh publik atau penceramah,
menggunakan bahasa yang tidak sensitif atau kasar, apalagi di hadapan audiens
yang beragam, itu bisa menimbulkan persepsi yang salah. Di sinilah peran
penting etika dalam komunikasi, terutama bagi seorang penceramah yang harus
mempertimbangkan audiens yang lebih luas dengan latar belakang dan nilai-nilai
yang berbeda.
Salah satu contoh nyata dari bagaimana kesalahan dalam pemilihan kata dapat
berujung pada kontroversi adalah kasus "Bu Yati Pesek." Dalam insiden
ini, seorang wanita yang merasa dihina oleh pernyataan yang disampaikan oleh
Gus Miftah, seorang penceramah agama terkenal, mengungkapkan rasa kecewa dan
sakit hati. Meskipun Gus Miftah mungkin berniat untuk melontarkan humor atau
candaan, kenyataannya, humor yang tidak sensitif tersebut malah menyinggung
perasaan Bu Yati. Bu Yati mengungkapkan dalam wawancara bahwa ia merasa terluka
bukan hanya karena kata-kata tersebut, tetapi juga karena cara perlakuan Gus
Miftah yang tidak menghargai dirinya sebagai seorang guru. Kasus ini
menunjukkan bahwa meskipun humor atau bahasa kasar bisa diterima dalam lingkup
yang lebih kecil atau dalam percakapan santai, hal tersebut tidak selalu
diterima dengan baik dalam konteks yang lebih luas dan dapat menimbulkan dampak
emosional yang besar pada orang yang terlibat.
Terkadang, seseorang mungkin tidak menyadari dampak dari kata-katanya
terhadap orang lain, terutama ketika kata-kata tersebut tidak sengaja terlontar
dalam situasi yang tidak tepat. Gus Miftah, sebagai penceramah, tentunya
memiliki pengaruh besar terhadap audiensnya, baik di dalam maupun di luar
komunitas agama. Meskipun niatnya mungkin hanya untuk membuat suasana ceria
dengan humor, kenyataannya humor yang salah bisa sangat melukai perasaan orang
lain. Dalam budaya publik yang lebih luas, standar etika yang lebih tinggi
diterapkan, dan dalam hal ini, seseorang yang memiliki posisi penting dalam
masyarakat seharusnya lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata yang
digunakan. Kejadian ini mengingatkan kita bahwa apa yang dianggap sebagai
candaan oleh sebagian orang bisa saja dirasakan sangat menyakitkan oleh orang
lain, apalagi jika mereka tidak memiliki hubungan dekat dengan pembicara
tersebut.
Selain itu, kejadian ini juga menunjukkan pentingnya bagi seorang tokoh
publik untuk melakukan refleksi diri atas dampak dari komunikasi yang mereka
lakukan. Perhatian terhadap perasaan orang lain, terutama yang mungkin
terdampak oleh ucapan yang dilontarkan, adalah hal yang tak boleh diabaikan.
Penceramah, atau siapa pun yang berada dalam posisi untuk mempengaruhi publik,
harus menyadari bahwa kata-kata yang disampaikan dapat menciptakan atau merusak
hubungan antara dirinya dan masyarakat. Dalam kasus ini, meskipun Gus Miftah
bisa jadi tidak berniat untuk menyakiti Bu Yati, kata-katanya justru mengundang
ketegangan yang tidak perlu. Ini mengingatkan kita bahwa setiap perkataan yang
kita ucapkan harus dipertimbangkan dengan bijaksana, mengingat dampak sosial
yang bisa ditimbulkan.
Pada akhirnya, kesalahan dalam berkomunikasi ini menunjukkan bahwa etika
berbahasa dan berhumor dalam publik sangat penting, terutama bagi mereka yang
berperan sebagai penceramah atau tokoh publik. Mereka memiliki tanggung jawab
besar untuk menjaga perasaan orang lain dan memastikan bahwa kata-kata mereka
tidak menyinggung atau melukai. Penceramah, yang memiliki pengaruh besar di
masyarakat, harus menyadari bahwa apa yang mereka ucapkan dapat tersebar luas
dan memengaruhi banyak orang. Melalui kejadian ini, kita diingatkan untuk lebih
berhati-hati dalam berbicara dan lebih peka terhadap perasaan orang lain, serta
untuk selalu menjaga etika dalam setiap bentuk komunikasi yang dilakukan.