Keteladanan yang Hilang di Tengah Humor Rendah
Keteladanan yang Hilang di Tengah Humor Rendah
Kontributor
Sumarta
(Akang Marta)

Akang Marta
![]() |
Akang Marta |
Masyarakat Indonesia memiliki harapan tinggi terhadap para pendakwah,
terutama mereka yang memiliki gelar keagamaan seperti "Habib," untuk
menjadi teladan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dari segi moralitas maupun
spiritualitas. Sebagai figur publik yang memiliki pengaruh besar, mereka
diharapkan untuk tidak hanya menyampaikan ajaran agama dengan penuh
kebijaksanaan, tetapi juga menjaga sikap dan tindakan mereka agar selalu mencerminkan
nilai-nilai luhur yang dapat menginspirasi umat. Namun, baru-baru ini sebuah
kejadian mencuat yang menunjukkan sebaliknya, ketika seorang pendakwah dengan
gelar "Habib" melontarkan humor yang dianggap tidak pantas dalam
sebuah ceramah. Candaan yang seharusnya berfungsi untuk meringankan suasana,
justru terkesan merendahkan martabat dan tidak menghormati etika yang
seharusnya dijunjung tinggi di hadapan audiens yang datang untuk mendengarkan
pesan keagamaan. Kejadian ini memicu rasa kecewa yang mendalam, mengingat
posisi mereka sebagai pemimpin agama yang seharusnya menjadi teladan.
Sebagai seorang pendakwah, humor memang memiliki peran penting dalam
menyampaikan pesan dengan cara yang lebih ringan dan mudah diterima oleh
masyarakat. Namun, humor tersebut harus dilakukan dengan sangat hati-hati,
terlebih ketika disampaikan dalam konteks keagamaan. Seharusnya, humor tidak
digunakan untuk tujuan merendahkan orang lain atau menyinggung perasaan
siapapun. Dalam kasus ini, candaan yang melibatkan unsur seksual dan
dimaksudkan untuk membuat orang tertawa, malah menimbulkan dampak yang jauh
lebih besar. Bukan hanya ketidaknyamanan di kalangan audiens yang hadir, tetapi
juga kemarahan dan kritik tajam dari publik yang merasa bahwa seorang tokoh
agama seharusnya lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata. Hal ini jelas
bertentangan dengan harapan masyarakat akan figur pendakwah yang bukan hanya
berbicara tentang agama, tetapi juga mengedepankan etika dan adab dalam setiap
aspek kehidupannya.
Kritik yang muncul terhadap tindakan ini tidak hanya berfokus pada kualitas
humor yang dipilih, tetapi juga pada sikap yang seharusnya ditunjukkan oleh
seorang tokoh agama. Dalam sebuah ceramah, di mana audiens datang dengan
harapan untuk mendapatkan pencerahan dan pengetahuan agama, candaan yang
dianggap tidak pantas jelas menjadi sebuah pelanggaran terhadap norma-norma
yang berlaku. Ketidakadaban dalam berbicara di atas mimbar bukan hanya merusak
citra pribadi pendakwah tersebut, tetapi juga mencoreng wajah lembaga agama
secara keseluruhan. Masyarakat menilai bahwa seorang pendakwah harus memiliki
sikap yang lebih terhormat, bukan hanya dalam perkataan, tetapi juga dalam
tindakan yang ditunjukkan di depan publik. Keteladanan moral adalah hal yang
paling penting, dan humor yang tidak terkontrol justru merusak fondasi dari
nilai-nilai tersebut.
Kekecewaan yang muncul dari masyarakat lebih jauh disebabkan oleh kenyataan
bahwa tindakan seperti ini tidak hanya menunjukkan kelemahan individu dalam
menjaga sikap, tetapi juga mengabaikan batas-batas etika yang seharusnya
dijunjung tinggi dalam sebuah forum keagamaan. Pendakwah yang memiliki posisi
tinggi dalam masyarakat dan dianggap sebagai panutan spiritual, harus lebih
bijak dalam memilih kata-kata. Candaan yang tidak sesuai dengan konteks dan
situasi, terlebih dalam forum keagamaan, menciptakan persepsi negatif di mata
masyarakat. Ketika seorang tokoh agama justru mengedepankan humor yang rendah
dan tidak bermoral, maka ia bukan hanya merendahkan dirinya sendiri, tetapi
juga mencoreng integritas ajaran agama yang seharusnya diwakilinya. Ini adalah
panggilan bagi para pendakwah untuk lebih peka terhadap dampak dari setiap kata
yang mereka ucapkan.
Kontroversi ini seharusnya menjadi momentum bagi semua pihak untuk merenung
dan belajar dari kesalahan yang telah terjadi. Masyarakat, terutama mereka yang
memegang peran penting dalam dunia dakwah, perlu kembali menilai apakah mereka
sudah cukup menjaga etika dan adab dalam menyampaikan pesan agama. Bukan hanya
dalam ceramah, tetapi juga dalam segala aspek kehidupan sehari-hari. Sebagai
penceramah dan tokoh agama, mereka memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga
citra agama dan menghindari perbuatan yang dapat merusak kehormatan lembaga
agama yang mereka wakili. Humor bisa menjadi alat yang sangat kuat untuk
menyampaikan pesan, namun jika disalahgunakan, bisa berubah menjadi boomerang
yang merusak martabat dan kredibilitas seorang pendakwah. Diperlukan
keteladanan yang sejati agar para tokoh agama bisa kembali dihormati dan
menjadi contoh yang baik bagi umat.