Kisah Ulama dan Tafsir Kehidupan: Perjalanan Pemahaman Imam Zamakhsyari
Kisah Ulama dan Tafsir Kehidupan: Perjalanan Pemahaman Imam
Zamakhsyari
Penulis
Sumarta
(Akang Marta)
Imam Zamakhsyari adalah salah satu ulama besar yang dikenal luas dalam
sejarah pemikiran Islam, terutama di kalangan aliran Mu'tazilah. Sebagai
seorang yang mendalami ilmu teologi, Zamakhsyari awalnya memiliki pandangan
bahwa manusia sepenuhnya memegang kendali atas amal perbuatannya. Dalam
pandangan ini, manusia dianggap memiliki kebebasan penuh untuk memilih dan
menentukan nasibnya tanpa campur tangan dari Allah. Konsep ini merupakan inti
dari pemikiran Mu’tazilah yang sangat menekankan pada akal dan kehendak bebas
manusia dalam memilih jalan hidupnya. Keyakinan ini menjadi pijakan Zamakhsyari
dalam memandang hubungan antara manusia dan Tuhan, hingga suatu peristiwa dalam
hidupnya mengubah pandangannya secara mendalam.
Perubahan besar dalam pemikiran Imam Zamakhsyari terjadi akibat pengalaman
hidup yang sangat mengesankan baginya. Diceritakan bahwa suatu ketika, ia
bertemu dengan seorang ulama yang memberikan penjelasan yang sangat sederhana
namun mendalam mengenai keterbatasan manusia. Dalam perbincangan tersebut,
ulama itu menunjukkan kepada Zamakhsyari bahwa tidak semua hal dalam hidup ini
dapat dikendalikan oleh manusia. Seiring waktu, ia mulai menyadari bahwa
meskipun manusia memiliki usaha dan kehendak, pada akhirnya segala sesuatu
tetap berada dalam kehendak Allah. Pemahaman ini menyentuh hati Zamakhsyari dan
membuka wawasan baru dalam dirinya tentang bagaimana hubungan antara kehendak
Allah dan usaha manusia sesungguhnya saling melengkapi dan bukan bertentangan.
Refleksi terhadap kejadian tersebut membawa Imam Zamakhsyari pada pemahaman
yang lebih mendalam tentang realitas kehidupan. Ia menyadari bahwa hidup
bukanlah sekadar hasil dari usaha manusia semata, melainkan juga merupakan
bagian dari takdir dan kehendak Allah. Dalam hal ini, tafsir kehidupan yang ia
terima menuntunnya untuk menerima keterbatasan diri sebagai manusia. Allah
sebagai Pemilik takdirlah yang memiliki keputusan akhir dalam setiap peristiwa.
Hal ini sejalan dengan ajaran Islam bahwa meskipun manusia diharuskan untuk
berusaha dan berdoa, pada akhirnya segala sesuatunya adalah kehendak Allah.
Pemahaman ini memberikan kedamaian batin dan rasa tawakal dalam menghadapi
segala bentuk ujian hidup.
Kisah perubahan pemikiran Imam Zamakhsyari ini juga mengajarkan kita untuk
menyadari bahwa dalam setiap langkah hidup, kita tidak bisa mengesampingkan
peran Tuhan. Dengan menyadari keterbatasan kita, kita akan lebih mampu
menghargai dan meresapi makna dari kalimat "Wamin Ayatihi" dalam
Al-Qur'an, yang menunjukkan bahwa segala yang ada di alam semesta ini adalah
tanda-tanda kebesaran Allah. Dalam pandangan Imam Zamakhsyari yang lebih baru,
segala peristiwa yang terjadi dalam hidup manusia, baik itu kesuksesan maupun
kegagalan, merupakan bagian dari ayat-ayat Allah yang mengajarkan kita untuk
selalu rendah hati dan tidak merasa sombong atas apa yang kita capai.
Selain itu, pergeseran pemahaman Imam Zamakhsyari ini memberikan pelajaran
penting tentang bagaimana cara kita seharusnya melihat dunia dan kehidupan ini
dengan lebih bijak. Terkadang, manusia cenderung merasa bahwa segala sesuatu
yang dicapainya adalah hasil dari usahanya semata, tanpa menyadari bahwa ada
kekuatan yang lebih besar di balik segala sesuatu yang terjadi. Pemahaman ini,
yang akhirnya mendorong Imam Zamakhsyari untuk berpindah ke ajaran Ahlus Sunnah
wal Jamaah, menekankan pentingnya berserah diri kepada Allah, karena segala
sesuatu yang terjadi telah ditentukan oleh-Nya. Kesadaran ini membuat hidup
kita lebih tenang dan memupuk rasa syukur dalam setiap keadaan.
Kisah Imam Zamakhsyari ini menggambarkan dengan jelas bagaimana perjalanan
spiritual seorang ulama bisa mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang
hakikat kehidupan. Perubahan pandangannya dari Mu’tazilah menuju Ahlus Sunnah
wal Jamaah merupakan refleksi dari kesadaran bahwa manusia tidak bisa
sepenuhnya mengandalkan kekuatan akalnya dalam memutuskan segala sesuatu.
Sebaliknya, dengan menyerahkan segala urusan kepada Allah dan menyadari
keterbatasan diri, seseorang akan memperoleh ketenangan dan keikhlasan dalam
menjalani hidup. Oleh karena itu, kisah Imam Zamakhsyari mengingatkan kita
untuk tidak hanya mengandalkan usaha kita semata, tetapi juga untuk selalu
mengingat bahwa takdir Allah adalah penentu akhir dari segala sesuatu.
Referensi
Al-Qur'an. (1990). Surah Ar-Rum, Surah Al-Baqarah. Al-Qur'an.
Nasr, S. H. (2002). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity.
HarperSanFrancisco.
Zamakhsyari, A. (1995). Al-Kashshaf: A Commentary on the Qur'an.
Translated by M. M. Sharif.