Korban Suci di Puncak Gunung Tampomas
Korban
Suci di Puncak Gunung Tampomas
Kontributor
Sumarta
(Akang Marta)
Dengan
hati yang remuk, Prabu Jayawisesa berjalan menuju kawah Gunung Gede. Langkahnya
mantap, meski beban berat terpatri di hatinya. Di tangannya, tergenggam Keris
Emas, pusaka kerajaan yang telah menemani leluhurnya selama berabad-abad. Saat
itu, ia bukan lagi seorang raja yang berkuasa, melainkan seorang manusia biasa
yang rela mengorbankan segalanya demi rakyatnya.
Setibanya
di bibir kawah, Prabu Jayawisesa mengarahkan pandangannya ke dasar kawah yang
penuh dengan lava membara. Di sana, ia melihat bayangan dirinya sendiri,
seorang pemimpin yang harus mengambil keputusan sulit. Dengan suara yang
bergetar, ia mengucapkan doa terakhir, memohon agar pengorbanannya dapat
diterima oleh para dewa dan menyelamatkan rakyatnya.
Dengan
perlahan, Prabu Jayawisesa menengadahkan Keris Emas ke langit. Sinar matahari
pagi memantul pada bilah keris, memancarkan cahaya keemasan yang menyilaukan.
Kemudian, dengan gerakan yang tegas, ia melemparkan Keris Emas ke dalam kawah.
Keris itu menghilang ditelan oleh lava yang mendidih, meninggalkan keheningan
yang mencekam.
Seketika,
keajaiban terjadi. Letusan Gunung Gede berhenti. Asap tebal yang menutupi
langit perlahan-lahan menghilang. Sinar matahari menembus awan, menyinari
kembali bumi yang telah lama terpuruk. Rakyat Sumedang Larang yang menyaksikan
peristiwa itu dari kejauhan bersorak gembira. Mereka bersyukur atas pengorbanan
raja mereka.
Sebagai
tanda penghormatan atas pengorbanan Prabu Jayawisesa, nama Gunung Gede pun
diubah menjadi Gunung Tampomas. Nama baru ini menjadi simbol keseimbangan
antara manusia dan alam. Kisah pengorbanan Prabu Jayawisesa menjadi legenda
yang terus hidup dari generasi ke generasi. Ia menjadi inspirasi bagi seluruh
rakyat Sumedang Larang untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan,
pengorbanan, dan cinta tanah air.