Makruh: Evolusi Makna dari Fauqal Haram ke Dunal Haram
Makruh:
Evolusi Makna dari Fauqal Haram ke Dunal Haram
Penulis
Sumarta
(Akang Marta)
Istilah makruh
dalam syariat Islam mencerminkan dinamika transformasi makna yang signifikan
seiring perjalanan waktu. Pada masa awal Islam, khususnya di era sahabat Nabi, makruh
dipahami sebagai sesuatu yang sangat dibenci hingga berada di atas kategori haram
(fauqal haram). Pemahaman ini sering kali digunakan dalam menjelaskan
dosa besar, seperti zina, di mana istilah makruh menggambarkan larangan
yang sangat keras. Sebagai contoh, ketika para sahabat bertanya mengenai dosa
besar, istilah ini digunakan dengan konotasi yang jauh lebih berat daripada
pengertiannya saat ini. Konteks ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah
syariat pada masa itu erat kaitannya dengan pengajaran moral yang tegas dan
mendalam.
Namun,
perkembangan pemikiran Islam pada abad-abad berikutnya membawa perubahan besar
dalam pemaknaan istilah makruh. Pada abad ke-3 Hijriah, seiring dengan
kodifikasi hukum Islam, makruh mulai dipahami sebagai sesuatu yang
berada di bawah tingkatan haram (dunal haram). Para ulama memformalkan
definisi ini untuk membedakan antara larangan mutlak (haram) dan anjuran
untuk menghindari tanpa konsekuensi dosa secara langsung (makruh).
Perubahan ini memberikan fleksibilitas dalam memahami berbagai tindakan yang
tidak secara eksplisit dilarang dalam Al-Qur'an maupun hadits, seperti merokok.
Meskipun banyak ulama kontemporer mengkategorikan merokok sebagai makruh,
diskursus ini tetap terbuka terhadap interpretasi baru berdasarkan bukti ilmiah
dan perkembangan sosial.
Transformasi
makna makruh ini tidak hanya sekadar pergeseran bahasa, tetapi juga
mencerminkan dinamika penafsiran hukum Islam. Pada masa awal, istilah ini
digunakan dengan makna yang lebih emosional dan moralistik. Sementara itu,
dalam tradisi fikih klasik, makruh dikodifikasi untuk memberikan
kerangka hukum yang lebih terstruktur. Perbedaan ini menunjukkan bahwa istilah
dalam syariat tidak pernah statis; maknanya terus berkembang sesuai kebutuhan
zaman. Sebagaimana dicatat oleh Fazlur Rahman (1984), bahasa agama harus
beradaptasi dengan konteksnya untuk tetap relevan tanpa kehilangan esensi.
Pemahaman
terhadap istilah seperti makruh membutuhkan kesadaran historis dan
kontekstual. Kesalahpahaman dapat terjadi apabila istilah ini dipahami hanya
melalui lensa modern tanpa merujuk pada konteks penggunaannya di masa awal
Islam. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk merujuk pada karya-karya
ulama klasik, seperti Imam Syafi’i, Imam Hanafi, atau Imam Malik, yang
menjelaskan perubahan ini dengan rinci. Memahami dinamika ini tidak hanya memperkaya
wawasan tentang syariat, tetapi juga membantu menjembatani kesenjangan antara
tradisi dan modernitas dalam pengamalan agama.
Transformasi
istilah makruh dari fauqal haram ke dunal haram menjadi
refleksi penting tentang bagaimana hukum Islam berkembang tanpa kehilangan
substansinya. Pergeseran ini mengingatkan umat Islam untuk tidak hanya memahami
istilah syariat dalam arti literal, tetapi juga menggali konteks historis dan
esensinya. Dengan pendekatan ini, istilah seperti makruh tidak hanya
menjadi alat hukum, tetapi juga panduan moral yang responsif terhadap tantangan
zaman.
Referensi
- Rahman, F. (1984). Islam
and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University
of Chicago Press.
- Kamali, M. H. (2003). Principles
of Islamic Jurisprudence. Islamic Texts Society.