Malaikat Azazil dan Kesombongannya yang Terlupakan
Malaikat
Azazil dan Kesombongannya yang Terlupakan
Kontributor
Sumarta
(Akang Marta)
Azazil,
yang dalam beberapa tradisi dikenal sebagai Iblis, dulunya adalah salah satu
makhluk yang paling mulia di hadapan Allah. Sebagai seorang malaikat, ia
memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan dihormati karena kesalehan dan
ketaatannya. Namun, dalam satu peristiwa besar yang mengubah segalanya, Azazil
terjerumus ke dalam kesombongan yang sangat memalukan. Ketika Allah menciptakan
Nabi Adam dan memerintahkan para malaikat untuk bersujud sebagai tanda
penghormatan, Azazil dengan tegas menolak perintah tersebut. Ia merasa lebih
tinggi daripada Adam karena diciptakan dari api, sementara Adam diciptakan dari
tanah. Penolakan ini bukan sekadar tindakan ketidakpatuhan, tetapi merupakan
bentuk pembangkangan yang melibatkan kebanggaan terhadap penciptaan dirinya
sendiri. Kesombongan ini menjadi titik awal dari kehancurannya, karena ia
menentang kehendak Tuhan, yang akhirnya mengakibatkan Azazil diusir dari surga
dan kehilangan kedudukannya sebagai malaikat yang dihormati.
Kejadian
tersebut menjadi momen yang sangat penting dalam sejarah spiritual umat
manusia. Azazil yang dahulu dikenal sebagai sosok yang saleh dan patuh kini
berubah menjadi makhluk yang penuh dengan kebanggaan dan keangkuhan. Dari
kejadian ini, kita bisa belajar bahwa kesombongan adalah sumber utama dari
keruntuhan spiritual. Azazil yang dulunya berada di tempat yang tinggi, di
hadapan Allah, sekarang menjadi contoh nyata betapa bahaya dari rasa lebih baik
daripada makhluk lain. Kejadian ini juga mengingatkan kita bahwa kebanggaan
terhadap diri sendiri bisa menghalangi kita untuk menerima kebenaran dan tunduk
pada kehendak Tuhan. Penolakan Azazil untuk bersujud kepada Nabi Adam adalah pengingat
bahwa tak ada yang lebih tinggi di hadapan Allah selain ketakwaan dan
kerendahan hati.
Dalam
kisah Sayyidina Anwar, kesombongan Azazil muncul kembali dalam bentuk yang
lebih halus. Ketika Nabi Adam mengetahui bahwa cucunya, Sayyidina Anwar, sedang
berguru pada seorang pertapa yang ternyata adalah Azazil, ia merasa khawatir
dan terkejut. Azazil yang telah jatuh ke dalam kesesatan tidak hanya
menyesatkan dirinya sendiri, tetapi kini berusaha menyesatkan umat manusia,
termasuk generasi berikutnya. Nabi Adam tahu betul bahwa Azazil tidak lagi
menjadi makhluk yang membawa petunjuk kebenaran, melainkan sosok yang berusaha
menggoda dan membelokkan jalan umat manusia dari ajaran yang benar. Sebagai
seorang kakek yang penuh kasih sayang, Nabi Adam merasa sangat bertanggung
jawab untuk menjaga cucunya dari bahaya kesesatan yang disebabkan oleh pengaruh
Azazil, yang tidak pernah mengakui kesalahannya dan terus berusaha memperdaya
umat manusia.
Azazil,
meskipun telah diusir dari surga, tetap mempertahankan sifat sombongnya dan
berjanji untuk menggoda anak cucu Adam selama mereka hidup di bumi. Janji
tersebut menjadi misi hidupnya, untuk menggoda dan menyesatkan manusia agar
mengikuti jalan yang salah. Inilah yang menjadi sumber utama dari kekhawatiran
Nabi Adam terhadap Sayyidina Anwar, yang sedang terpengaruh oleh ajaran Azazil.
Nabi Adam tahu bahwa meskipun Azazil memiliki banyak pengetahuan dan kemampuan
luar biasa, pengetahuan itu digunakan untuk tujuan yang sangat merusak. Ia
berusaha menjelaskan kepada Sayyidina Anwar bahwa ilmu yang didapatkan dari
Azazil bisa menjerumuskan ke dalam kesesatan, meskipun tampak menarik dan
memiliki kekuatan yang luar biasa. Nabi Adam ingin cucunya memahami bahwa ilmu
yang benar adalah ilmu yang sesuai dengan petunjuk Tuhan, bukan ilmu yang
datang dari sumber yang dipenuhi dengan kebanggaan dan niat buruk.
Kisah
Azazil mengajarkan kita tentang bahaya dari kesombongan yang terlupakan, yakni
bagaimana kebanggaan bisa membutakan hati dan menjauhkan kita dari kebenaran.
Azazil yang dahulu sangat mulia kini menjadi simbol dari kecelakaan spiritual
yang bisa terjadi ketika seseorang tidak mampu menahan kesombongannya. Dalam
hidup kita, kita harus berhati-hati terhadap perasaan lebih baik atau lebih
tinggi daripada orang lain, karena hal itu bisa membuat kita sulit untuk
menerima kebenaran dan bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan. Sebagai manusia,
kita diingatkan untuk selalu menjaga kerendahan hati dan tidak terjebak dalam
kebanggaan yang bisa menghancurkan kita. Kesombongan Azazil yang terlupakan
ini, meskipun sudah berlalu ribuan tahun, tetap relevan sebagai pelajaran
penting dalam kehidupan kita.