Masa Depan Politik Jokowi dan Prabowo: Keselarasan atau Konflik?
Keselarasan atau Konflik?
Hubungan antara Jokowi dan Prabowo memainkan peran penting dalam menentukan
arah politik Indonesia di masa depan. Kombinasi dua figur ini, yang dulunya
rival sengit dalam dua pemilu presiden, telah menciptakan suatu dinamika
politik yang unik. Banyak spekulasi muncul tentang sejauh mana hubungan ini
akan bertahan, terutama jika terdapat perbedaan kepentingan di antara keduanya.
Namun, analisis pragmatis menunjukkan bahwa keduanya memiliki alasan kuat untuk
menjaga hubungan yang harmonis demi stabilitas politik jangka panjang
(Mietzner, 2020).
Prabowo, sebagai kandidat presiden yang paling menonjol untuk 2024,
memerlukan dukungan Jokowi untuk memastikan keberhasilan kampanyenya. Dengan
popularitas Jokowi yang masih tinggi, dukungan ini bukan hanya soal jumlah
suara, tetapi juga legitimasi politik yang dapat memperkuat posisinya.
Sebaliknya, Jokowi, meskipun akan pensiun dari politik formal, memiliki
kepentingan untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakan utamanya tetap
dilanjutkan oleh pemimpin berikutnya (Tomsa, 2023).
Namun, hubungan ini tidak lepas dari tantangan. Kritik dari Megawati
Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, mencerminkan adanya ketidakpuasan
dari faksi politik tertentu terhadap dominasi koalisi Jokowi-Prabowo. Megawati
secara terang-terangan mengungkapkan kekhawatirannya terhadap mobilisasi alat
negara yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip demokrasi yang sehat. Konflik
ini menunjukkan bahwa koalisi besar tidak selalu berjalan mulus, terutama jika
melibatkan kepentingan yang saling bertentangan (Warburton, 2021).
Selain itu, dinamika politik di DKI Jakarta menjadi salah satu elemen yang
dapat menguji kekuatan hubungan Jokowi-Prabowo. Sebagai pusat politik nasional,
hasil pemilihan di Jakarta sering kali menjadi indikator tren politik nasional.
Jika hasil akhirnya tidak berpihak pada koalisi Jokowi-Prabowo, ini dapat
menjadi titik awal dari potensi keretakan hubungan keduanya. Jakarta juga
memiliki masyarakat dengan daya kritis tinggi, yang membuatnya menjadi medan
uji sejauh mana koalisi ini dapat bertahan menghadapi tekanan publik (Aspinall
& Berenschot, 2019).
Di sisi lain, tantangan yang dihadapi oleh koalisi ini tidak hanya berasal
dari internal, tetapi juga dari oposisi politik. Dengan koalisi besar yang
mendominasi, ruang bagi oposisi menjadi sangat terbatas. Namun, oposisi tetap
memiliki peluang untuk menggunakan isu-isu strategis seperti ekonomi, korupsi,
dan pendidikan untuk menarik perhatian masyarakat. Jika oposisi mampu membangun
narasi yang kuat, ini dapat mengurangi dominasi koalisi Jokowi-Prabowo (Hadiz,
2017).
Hubungan Jokowi dan Prabowo juga memiliki dimensi internasional yang
penting. Dengan geopolitik yang semakin kompleks, terutama di kawasan Asia
Tenggara, keberlanjutan hubungan ini dapat memengaruhi bagaimana Indonesia
berperan di panggung internasional. Jokowi, yang selama masa kepemimpinannya
fokus pada pembangunan infrastruktur dan ekonomi, memerlukan penerus yang dapat
menjaga keseimbangan ini. Prabowo, dengan latar belakang militer, diharapkan
mampu memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi tantangan geopolitik
regional (Tomsa, 2023).
Namun, terdapat kekhawatiran bahwa dominasi koalisi ini dapat menciptakan
homogenitas politik yang berisiko bagi demokrasi Indonesia. Ketergantungan pada
koalisi besar dapat melemahkan pluralitas ide yang seharusnya menjadi ciri khas
demokrasi. Oleh karena itu, penting bagi koalisi Jokowi-Prabowo untuk tetap
membuka ruang bagi dialog dan kritik yang konstruktif guna menjaga keseimbangan
dalam sistem politik (Mietzner, 2020).
Partisipasi generasi muda dalam politik menjadi elemen penting dalam menjaga
keberlanjutan demokrasi. Dalam konteks koalisi Jokowi-Prabowo, generasi muda
memiliki peran strategis dalam menentukan arah kebijakan. Namun, rendahnya
kepercayaan generasi muda terhadap institusi politik menjadi tantangan besar.
Melibatkan mereka dalam proses politik melalui media sosial dan pendidikan
politik menjadi langkah krusial untuk menciptakan perubahan yang positif
(Aspinall, 2014).
Tantangan lain yang dihadapi oleh koalisi ini adalah bagaimana mengatasi
ketimpangan sosial-ekonomi yang masih menjadi isu utama di Indonesia.
Ketimpangan ini sering kali menjadi bahan kritik terhadap kebijakan pemerintah,
yang dinilai lebih menguntungkan kelas atas dibandingkan masyarakat marginal.
Jika tidak ditangani dengan baik, isu ini dapat menjadi senjata bagi oposisi
untuk melemahkan dukungan terhadap koalisi Jokowi-Prabowo (Warburton, 2021).
Selain itu, isu gender juga perlu menjadi perhatian dalam masa depan politik
Indonesia. Representasi perempuan dalam politik masih sangat terbatas, meskipun
sudah ada kebijakan afirmasi. Koalisi Jokowi-Prabowo memiliki peluang untuk
mempromosikan agenda gender yang lebih inklusif, yang tidak hanya akan
meningkatkan representasi perempuan tetapi juga memperkuat legitimasi politik
koalisi ini di mata masyarakat luas (Hadiz, 2017).
Keberlanjutan koalisi Jokowi-Prabowo sangat bergantung pada kemampuan mereka
untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan nasional.
Jika koalisi ini mampu mengatasi tantangan-tantangan yang ada, mereka memiliki
peluang besar untuk menciptakan stabilitas politik yang dibutuhkan Indonesia.
Namun, kegagalan dalam menjaga hubungan harmonis dapat membuka jalan bagi
konflik internal yang merugikan demokrasi (Aspinall & Berenschot, 2019).
Masa depan politik Jokowi dan Prabowo adalah cerminan dari kompleksitas
politik Indonesia. Dengan berbagai tantangan yang ada, hubungan ini memiliki
potensi untuk menjadi model kerja sama yang sukses atau justru menjadi bukti kegagalan
koalisi besar. Pilihan yang mereka buat dalam menghadapi dinamika politik akan
menentukan arah masa depan Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang (Mietzner, 2020).
Kontributor
Sumarta
Referensi:
Aspinall, E. (2014). Electoral
dynamics in Indonesia: Money politics, patronage and clientelism at the
grassroots. Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute.
Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for sale: Elections,
clientelism, and the state in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University
Press.
Hadiz, V. R. (2017). Islamic populism in Indonesia and the Middle East.
Cambridge: Cambridge University Press.
Mietzner, M. (2020). Political polarization and democratic resilience in
Indonesia. Asian Affairs, 51(2), 241-264.
Nusantara TV. (30 Nov 2024)
Peta Politik Indonesia, Saiful SMRC: Prabowo Pengin Banget Bareng Bu Mega, Tapi
Mega Nggak!. https://nusantaratv.com/
Tomsa, D. (2023). Indonesia under
Jokowi: Between populism and technocracy. Journal of Current Southeast
Asian Affairs, 42(3), 23-47.
Warburton, E. (2021). Developmentalism and democracy in Indonesia:
Reshaping the political order. The Pacific Review, 34(1), 123-144.