Melawan Pragmatisme dan Politik Transaksional

Melawan Pragmatisme dan Politik Transaksional



Pragmatisme dalam politik telah menjadi fenomena yang memprihatinkan, terutama di tengah proses demokrasi yang seharusnya menjadi momentum untuk melayani rakyat. Kandidat ini secara tegas mengkritik praktik pragmatisme yang menjadikan politik sebagai alat untuk mengejar keuntungan pribadi. Ia menyebut fenomena ini sebagai “kapitalisme politik,” di mana kekuasaan diperlakukan sebagai komoditas yang dapat dibeli dan dijual. Perspektif ini sejalan dengan teori politik kritis yang menekankan bagaimana struktur kapitalisme sering kali mencemari demokrasi dengan memperkenalkan motif ekonomi ke dalam ranah publik (Habermas, 1984).

Dalam wawancaranya, kandidat ini mengajak masyarakat untuk lebih kritis terhadap janji-janji politik. Ia mengingatkan bahwa janji manis dan iming-iming materi sering kali hanya menjadi alat untuk meraih suara, tanpa komitmen nyata untuk melayani rakyat. Hal ini sesuai dengan pandangan Michels (1911) dalam teori oligarki besi, yang menyatakan bahwa sistem politik sering kali cenderung menghasilkan pemimpin yang hanya peduli pada kepentingan kelompok elit. Oleh karena itu, kandidat ini mendorong masyarakat untuk memilih berdasarkan program yang konkret, bukan janji kosong.

Ia juga menyampaikan pentingnya menghindari mentalitas pengemis dalam politik. Dalam kata-katanya, “Lebih mulia tangan di atas daripada tangan di bawah.” Ungkapan ini tidak hanya mencerminkan ajakan untuk bersikap mandiri, tetapi juga menjadi kritik terhadap budaya politik yang sering kali mendorong masyarakat bergantung pada pemberian kandidat. Hal ini relevan dengan pandangan Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed, yang menekankan pentingnya kesadaran kritis sebagai jalan untuk membebaskan diri dari dominasi.

Menurut kandidat ini, budaya politik transaksional menciptakan hubungan yang tidak sehat antara pemimpin dan masyarakat. Ketergantungan masyarakat pada bantuan atau janji materi dari kandidat berpotensi merusak proses demokrasi yang sehat. Teori patron-klien yang dijelaskan oleh Scott (1972) menyoroti bahwa hubungan semacam ini sering kali memfasilitasi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam konteks ini, ia mengajak masyarakat untuk mendobrak siklus tersebut dengan memilih pemimpin berdasarkan integritas dan visi yang jelas.

Kandidat ini juga menyoroti bagaimana politik transaksional menciptakan ekspektasi yang tidak realistis dalam masyarakat. Ketika kandidat terpilih karena janji material, masyarakat sering kali mengabaikan pentingnya akuntabilitas kebijakan. Dalam pandangan Hirschman (1970), pendekatan ini melemahkan mekanisme umpan balik yang sehat antara pemimpin dan masyarakat, sehingga memperburuk kualitas tata kelola. Oleh karena itu, kandidat ini menekankan perlunya pemahaman yang lebih baik tentang peran pemimpin sebagai pelayan rakyat, bukan penyedia keuntungan jangka pendek.

Dalam pandangannya, pragmatisme politik tidak hanya merusak proses demokrasi, tetapi juga memengaruhi moralitas masyarakat. Ketika pemilih lebih fokus pada manfaat pribadi daripada kepentingan kolektif, nilai-nilai luhur seperti keadilan dan solidaritas sering kali terabaikan. Kandidat ini mengajak masyarakat untuk melihat politik sebagai instrumen perubahan sosial, bukan sekadar alat untuk memperoleh keuntungan sesaat. Hal ini sejalan dengan teori demokrasi deliberatif, yang menekankan pentingnya diskusi dan keterlibatan warga dalam proses politik (Habermas, 1996).

Ia juga menekankan bahwa pendidikan politik adalah kunci untuk melawan pragmatisme. Dalam pandangannya, masyarakat yang terdidik secara politik akan lebih kritis terhadap janji-janji kandidat dan lebih mampu mengevaluasi program-program yang ditawarkan. Teori partisipasi politik oleh Verba dan Nie (1972) menegaskan bahwa tingkat pendidikan politik memengaruhi tingkat partisipasi dan kualitas keputusan yang dibuat oleh masyarakat. Oleh karena itu, kandidat ini mendorong adanya upaya kolektif untuk meningkatkan literasi politik masyarakat.

Menurutnya, pragmatisme politik sering kali menjadi tantangan terbesar dalam menciptakan perubahan yang berarti. Kandidat ini menekankan bahwa keberhasilan seorang pemimpin tidak diukur dari seberapa besar janji yang ia buat, tetapi dari sejauh mana ia mampu mewujudkan visi dan misinya. Perspektif ini mencerminkan pentingnya pendekatan berbasis hasil (result-based approach) dalam penilaian kinerja pemimpin. Dengan demikian, ia berharap masyarakat dapat memilih pemimpin yang memiliki kapasitas nyata untuk menghadirkan perubahan positif.

Kandidat ini juga mengingatkan bahwa pragmatisme politik tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga merusak integritas kandidat. Ketika kandidat terpaksa memenuhi ekspektasi material dari pemilih, ia sering kali terjebak dalam siklus utang politik yang sulit dihindari. Teori agensi oleh Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan bahwa ketidakseimbangan ini sering kali menyebabkan konflik kepentingan yang merugikan masyarakat luas. Dalam konteks ini, ia mengajak kandidat lain untuk mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompok.

Selain itu, ia menyoroti pentingnya membangun budaya politik yang berbasis pada nilai-nilai moral dan etika. Menurutnya, politik seharusnya menjadi ruang untuk memperjuangkan kepentingan kolektif, bukan ladang untuk mengejar keuntungan pribadi. Pendekatan ini sejalan dengan pandangan Aristoteles dalam Politics, yang menyatakan bahwa tujuan utama politik adalah menciptakan kebaikan bersama. Kandidat ini berharap bahwa dengan menekankan nilai-nilai ini, masyarakat dapat bersama-sama menciptakan sistem politik yang lebih adil dan berkelanjutan.

Sebagai penutup, kandidat ini menegaskan bahwa melawan pragmatisme politik bukanlah tugas yang mudah, tetapi merupakan langkah penting untuk memperbaiki demokrasi. Ia mengajak masyarakat untuk menjadi pemilih yang cerdas dan kritis, serta tidak mudah terpengaruh oleh janji-janji palsu. Dalam pandangannya, hanya dengan mengedepankan integritas dan nilai-nilai moral, kita dapat menciptakan sistem politik yang benar-benar melayani kepentingan rakyat. Dengan demikian, ia berharap bahwa masyarakat dapat bersama-sama membangun masa depan yang lebih baik.

Kontributor

Sumarta Indramayutradisi.com

 

Referensi:

·         Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: Continuum.

·         Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action: Reason and the Rationalization of Society. Boston: Beacon Press.

·         Habermas, J. (1996). Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy. Cambridge: MIT Press.

·         Hirschman, A. O. (1970). Exit, Voice, and Loyalty: Responses to Decline in Firms, Organizations, and States. Cambridge: Harvard University Press.

·         Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976). Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, 3(4), 305–360.

·         Michels, R. (1911). Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy. New York: Dover Publications.

·         Official iNews. (28 November 2024) Sebut Skenario Tuhan, Dharma Pongrekun Puji Pramono-Rano Penolong. https://www.youtube.com/@OfficialiNews

·         Scott, J. C. (1972). Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia. American Political Science Review, 66(1), 91–113.

·         Verba, S., & Nie, N. H. (1972). Participation in America: Political Democracy and Social Equality. New York: Harper & Row.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel