Mengapa Humor Penting, tetapi Harus Berkelas
Mengapa Humor Penting, tetapi Harus Berkelas
Kontributor
Sumarta
(Akang Marta)
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLL_7w541ZoNE8Sab-Jke0tiNhDslhUuRwRBcYiRU7ytnNJGCyEpG5fPEEt8WWAIucfDfKBg-y96v-ggmXHoKmUdUZxQP3e378X0BNh_St768VcYTVAYfUiEZwJaqli4MCNckLiDbiD4O5gAjepPJs5QJ8y4dpFqvdyDIMWOp1B6lwvT3Rgo_5t3EBAKc/s320-rw/Enhancer_20241211_034744360.jpg)
Akang Marta
![]() |
Akang Marta |
Menggunakan humor dalam dakwah adalah hal yang sebenarnya sudah lama
diterapkan oleh banyak tokoh agama. Humor dapat menjadi alat komunikasi yang
efektif untuk menyampaikan pesan-pesan agama dengan cara yang lebih ringan dan
mudah dicerna oleh audiens. Dalam banyak kesempatan, humor juga dapat menjadi
jembatan untuk menciptakan kedekatan antara penceramah dan pendengarnya. Salah
satu contoh terkenal adalah Gus Dur, yang dikenal luas sebagai sosok yang
sangat piawai dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan dan sosial melalui humor
yang cerdas dan tajam. Gus Dur memiliki kemampuan untuk membuat orang tertawa,
namun tetap menyampaikan nilai-nilai penting tentang kehidupan, agama, dan
kebangsaan. Humor yang disampaikan Gus Dur mampu menghibur tanpa mengurangi keseriusan
pesan yang ingin disampaikan. Bahkan, karya-karya seperti "Laughing with
Gus Dur" dan "Mati Ketawa ala Rusia" menjadi bukti bahwa humor
yang bijak dapat diterima luas dan tetap memiliki nilai edukatif yang mendalam.
Namun, meskipun humor dalam dakwah dapat menjadi sarana yang efektif,
penting untuk memahami batasan-batasan yang ada dalam penggunaannya. Humor Gus
Dur sangat khas karena selalu menghadirkan kehangatan dan kecerdikan tanpa
pernah merendahkan martabat siapapun. Salah satu contoh cerita yang sangat
populer adalah kisah tiga orang yang terdampar di laut, masing-masing dari
Inggris, Prancis, dan Indonesia. Dalam cerita tersebut, Gus Dur mampu
menggambarkan kecerdikan orang Indonesia dengan cara yang lucu dan menghibur,
tanpa menyinggung atau merendahkan pihak lain. Cerita tersebut menunjukkan
bahwa humor dapat digunakan untuk menunjukkan kebijaksanaan dan kebersamaan,
bukan untuk menghina atau merendahkan martabat orang lain. Keberhasilan Gus Dur
dalam menggunakan humor sebagai alat dakwah menunjukkan betapa pentingnya
menjaga integritas dalam menyampaikan pesan agama, meskipun dalam bentuk yang
lebih ringan dan humoris.
Di sisi lain, humor yang disampaikan oleh Zaidan dalam sebuah ceramah
baru-baru ini justru mencerminkan kegagalan dalam memahami filosofi humor itu
sendiri. Humor yang disampaikan Zaidan, yang dianggap oleh sebagian besar
masyarakat sebagai humor tidak pantas, bahkan merendahkan martabat, menunjukkan
bahwa ada perbedaan mendasar dalam cara menyampaikan humor. Alih-alih menghibur
dan menyampaikan pesan positif, humor Zaidan terkesan merendahkan orang lain
dan melanggar batasan-batasan etika yang seharusnya dijunjung tinggi, terutama
dalam konteks keagamaan. Humor yang tidak memperhatikan adab dan etika dapat
menyebabkan distorsi pesan yang ingin disampaikan dan justru mengundang
kontroversi yang merusak citra seorang pendakwah. Ini menjadi pelajaran penting
bahwa humor dalam dakwah tidak boleh hanya sekadar membuat orang tertawa,
tetapi juga harus memperhatikan nilai-nilai moral dan etika yang berlaku.
Dalam Islam sendiri, adab dan etika merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari ajaran agama, bahkan sering kali ditempatkan di atas ilmu. Hal ini
menekankan pentingnya menjaga kesopanan dan kesantunan dalam setiap tindakan,
termasuk dalam berbicara dan bercanda. Humor yang tidak beradab, seperti yang
dilakukan oleh Zaidan, menunjukkan kegagalan dalam menunaikan tanggung jawab
moral seorang pendakwah. Seharusnya, seorang pendakwah tidak hanya memiliki
kemampuan untuk menyampaikan ilmu, tetapi juga harus mampu menjaga martabat dan
etika, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Humor yang tidak tepat dapat
merusak citra seorang pendakwah dan mengurangi rasa hormat masyarakat terhadap
ajaran agama yang disampaikannya. Oleh karena itu, humor yang digunakan dalam
dakwah harus benar-benar mempertimbangkan dampaknya dan tidak merendahkan pihak
lain atau merusak adab yang seharusnya dijunjung tinggi.
Kesimpulannya, humor dalam dakwah memang memiliki tempat yang penting,
tetapi harus digunakan dengan bijak dan penuh pertimbangan. Humor yang
berkelas, seperti yang diajarkan oleh Gus Dur, tidak hanya menghibur tetapi
juga mengandung pesan moral yang mendalam dan tetap menjaga adab. Sebaliknya,
humor yang merendahkan dan tidak memperhatikan etika, seperti yang ditunjukkan
oleh Zaidan, dapat merusak kepercayaan masyarakat dan mencoreng citra dakwah
itu sendiri. Oleh karena itu, pendakwah harus selalu ingat bahwa humor adalah
alat yang sangat kuat, yang jika digunakan dengan benar dapat menjadi sarana
untuk mengedukasi dan mendekatkan pesan agama kepada masyarakat, namun jika
disalahgunakan justru bisa merusak semua yang telah dibangun.