Menggali Makna Adab dalam Tradisi Pesantren: Antara Hormat dan Kritik

 

Menggali Makna Adab dalam Tradisi Pesantren: Antara Hormat dan Kritik

Kontributor

Sumarta (Akang Marta)

 

Tradisi pesantren memiliki nilai-nilai luhur yang telah terjaga selama berabad-abad, salah satunya adalah penghormatan yang mendalam terhadap ulama dan guru. Di banyak pesantren, tindakan seperti mencium tangan atau bahkan mengusap kaki guru dianggap sebagai ekspresi rasa hormat dan adab yang tinggi. Meskipun di mata sebagian orang, tradisi ini bisa terkesan sebagai bentuk kultus individu, bagi komunitas pesantren, hal ini bukanlah sekadar tindakan simbolis, melainkan sebuah pengakuan terhadap peran guru yang telah memberikan ilmu dan petunjuk hidup. Guru, dalam pandangan pesantren, memiliki posisi yang sangat penting, karena mereka tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga membimbing akhlak dan moral para santri. Melalui penghormatan ini, santri belajar untuk menghargai ilmu dan menghormati orang yang telah memberikan pengetahuan kepada mereka. Tradisi ini bukan hanya dilaksanakan dalam kegiatan sehari-hari, tetapi juga dilestarikan dalam berbagai acara keagamaan seperti pengajian atau tahlilan, di mana nama-nama guru sering disebutkan dalam doa sebagai bentuk penghormatan atas jasa mereka.

Namun, penghormatan ini juga tidak lepas dari perdebatan di masyarakat modern. Beberapa kalangan berpendapat bahwa tradisi mencium tangan atau mengusap kaki guru dapat mengarah pada pengkultusan individu, yang bisa mengurangi esensi dari ajaran agama itu sendiri. Kritik ini muncul karena adanya kekhawatiran bahwa penghormatan berlebihan terhadap guru dapat membuka ruang bagi dominasi kekuasaan yang tidak sehat. Ketika penghormatan tidak lagi berbasis pada rasa hormat yang tulus terhadap ilmu, tetapi lebih pada penguatan posisi atau pengaruh pribadi, maka hal ini menjadi masalah. Di dalam konteks ini, adab terhadap guru harus tetap mempertahankan esensi kemuliaan ilmu dan bukan menjadi sarana untuk memperoleh keuntungan pribadi atau materi. Maka, sangat penting untuk memandang tradisi ini dengan bijaksana, dengan tidak melupakan tujuan utamanya sebagai pengakuan terhadap jasa guru dan bukan untuk membangun kekuasaan atas nama agama atau ilmu.

Fenomena penyalahgunaan penghormatan ini terlihat dalam beberapa kasus di mana ada individu yang memanfaatkan status sebagai ulama atau guru untuk kepentingan pribadi atau materi. Hal ini, seperti yang sering terjadi dalam bentuk makam palsu atau pemanfaatan agama untuk tujuan ekonomi, menjadi contoh jelas betapa pentingnya menjaga integritas dalam tradisi penghormatan ini. Ketika penghormatan menjadi komodifikasi, bukan hanya nilai-nilai agama yang terkikis, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap para pemuka agama dapat tergerus. Masyarakat perlu lebih selektif dan kritis dalam menilai keaslian niat di balik perilaku para pemuka agama, agar tradisi penghormatan tidak jatuh pada penyalahgunaan kekuasaan atau kesalahan interpretasi terhadap ajaran agama. Kejujuran dan kesucian dalam memberikan ilmu harus selalu menjadi landasan, bukan ambisi untuk memperoleh keuntungan duniawi.

Dalam menghadapi fenomena ini, pesantren harus tetap menjadi tempat yang menjaga nilai-nilai tradisi sekaligus membuka ruang bagi refleksi kritis terhadap perubahan zaman. Masyarakat pesantren memiliki tanggung jawab untuk mengajarkan generasi muda bahwa penghormatan terhadap guru dan ulama bukanlah tentang status atau kekuasaan, melainkan sebuah upaya untuk menghargai ilmu yang telah diberikan. Tradisi mencium tangan atau mengusap kaki guru seharusnya tetap dipahami sebagai simbol dari rasa hormat yang mendalam, yang berasal dari pengakuan akan pentingnya ilmu dan nilai-nilai kehidupan yang diajarkan oleh guru. Dengan demikian, penghormatan ini tidak akan disalahpahami atau diselewengkan menjadi alat untuk kepentingan pribadi. Melalui pemahaman yang lebih dalam dan bijaksana, tradisi ini tetap dapat dilestarikan tanpa kehilangan makna dan esensinya.

Pada akhirnya, adab dalam tradisi pesantren adalah suatu bentuk penghormatan yang seharusnya membawa dampak positif bagi perkembangan spiritual dan moral setiap individu. Penghormatan terhadap guru harus menjadi cermin dari penghormatan terhadap ilmu dan agama, yang mengajarkan kebijaksanaan, keikhlasan, dan pengabdian. Di sisi lain, penting bagi kita untuk mengkritisi segala bentuk penyalahgunaan tradisi ini yang dapat merugikan masyarakat atau mengurangi keutuhan nilai agama. Masyarakat dan para pemuka agama, termasuk di pesantren, harus bersama-sama menjaga agar adab ini tetap terjaga dan tidak disalahgunakan, agar tetap menjadi sumber kebajikan dan pembelajaran yang hakiki. Tradisi ini, jika dijaga dengan benar, dapat memberikan pengaruh yang positif bagi pembentukan karakter bangsa, di tengah gempuran perkembangan zaman yang semakin kompleks.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel