Menghadapi Dunia dengan Keberanian
Menghadapi Stigma dan Kesepian: Perjalanan Hidup dengan HIV
Bagi banyak orang yang hidup dengan HIV, stigma menjadi salah satu tantangan
terbesar yang harus dihadapi. Stigma ini tidak hanya datang dari masyarakat
umum, tetapi sering kali berasal dari orang-orang terdekat, seperti keluarga
atau teman. Salah satu pengalaman yang diceritakan dalam dialog ini
menggambarkan bagaimana seorang individu merasa terluka ketika ibunya
mengatakan, "Saya harap kamu tidak mengidap AIDS, kamu harus selalu
memakai dua kondom." Kalimat ini menunjukkan betapa masih banyak ketidaktahuan
dan ketakutan yang tidak berdasar mengenai HIV dalam masyarakat. Ketakutan
terhadap HIV sering kali didasarkan pada mitos dan kurangnya pengetahuan, yang
menciptakan perasaan cemas dan kecemasan bagi mereka yang hidup dengan HIV.
Menurut Goffman (1963), stigma ini merupakan bentuk label sosial yang
merendahkan individu, membuat mereka merasa berbeda dan terpinggirkan dari
kelompok sosial lainnya.
Ketidakpahaman terhadap HIV dan cara penularannya menyebabkan banyak orang
merasa takut untuk berbicara terbuka tentang kondisi mereka. Ini bisa dilihat
dalam kisah lain dalam dialog tersebut, di mana individu merasa cemas tentang
penilaian orang lain terhadap mereka ketika bertemu dengan seseorang yang
mereka kenal. "Apa yang sudah kamu lakukan padaku? Apakah kamu hanya
berhubungan dengan banyak orang tanpa kondom?" tanya orang tersebut,
seolah mencari alasan atau jawaban atas ketakutan mereka. Pertanyaan ini
menggambarkan betapa besar kekhawatiran orang-orang yang belum memahami HIV
dengan benar, yang mengarah pada diskriminasi dan kesalahpahaman. Menurut teori
pengetahuan sosial (Bandura, 1977), pengetahuan yang terbatas atau salah dapat
memperburuk ketakutan dan stigma terhadap kelompok tertentu, termasuk mereka
yang hidup dengan HIV.
Stigma yang terus berkembang di masyarakat sering kali membuat mereka yang
hidup dengan HIV merasa terisolasi. Rasa kesepian ini bukan hanya akibat dari
kondisi medis mereka, tetapi juga dari kesulitan untuk berbicara secara terbuka
tentang penyakit mereka. Banyak orang dengan HIV merasa tidak diterima oleh
masyarakat karena adanya anggapan negatif dan stereotip yang terkait dengan
status mereka. Mereka sering merasa seperti mereka harus menyembunyikan
identitas mereka untuk menghindari rasa malu atau penghakiman. Dalam hal ini,
konsep “stigma internalisasi” yang dijelaskan oleh Major dan O’Brien (2005)
mengungkapkan bahwa individu yang terstigma seringkali mulai menginternalisasi
pandangan negatif masyarakat terhadap mereka, yang pada gilirannya memperburuk
kesejahteraan psikologis mereka.
Perasaan terisolasi ini menjadi lebih parah ketika individu merasa tidak ada
ruang bagi mereka untuk berbagi pengalaman atau perasaan mereka. Tidak adanya
ruang aman untuk berbicara tentang HIV memperburuk rasa kesepian dan trauma
yang mereka alami. Banyak orang dengan HIV merasa tidak bisa membuka diri
kepada keluarga atau teman-teman karena takut disalahpahami atau dikucilkan.
Hal ini menambah beban emosional dan mental yang mereka tanggung, yang
seharusnya bisa diatasi dengan dukungan sosial yang lebih kuat. Dalam konteks
ini, teori dukungan sosial (Cohen & Wills, 1985) menyatakan bahwa dukungan
emosional dari orang lain sangat penting dalam mengurangi dampak negatif dari
stres dan meningkatkan kualitas hidup individu yang hidup dengan kondisi medis
kronis.
Seiring berjalannya waktu, meskipun stigma dan kesepian masih ada, banyak
individu yang hidup dengan HIV mulai menemukan cara untuk menghadapi tantangan
tersebut. Mereka tidak lagi merasa takut untuk berbicara tentang kondisi
mereka, meskipun hal ini tetap menjadi langkah yang sangat sulit. Salah satu
contoh dari proses penerimaan diri ini adalah keinginan untuk berbicara dengan
orang lain yang memiliki pengalaman serupa. Berbicara dengan sesama orang yang
hidup dengan HIV memberi mereka rasa pemahaman yang lebih dalam dan mengurangi
rasa kesepian yang mereka alami. Menurut teori solidaritas (Durkheim, 1893),
individu yang mengalami pengalaman serupa cenderung membentuk ikatan sosial
yang kuat, yang membantu mereka merasa diterima dan dihargai.
Dalam perjalanan ini, upaya untuk menciptakan ruang yang aman bagi mereka
yang hidup dengan HIV sangat penting. Salah satu cara yang dilakukan oleh
beberapa individu untuk mengatasi stigma adalah dengan membuat
inisiatif-inisiatif yang menyediakan platform bagi mereka untuk berbicara
tentang pengalaman mereka. Sebagai contoh, pembuatan podcast oleh sejumlah
orang yang hidup dengan HIV bertujuan untuk menghapus stigma terhadap HIV.
Podcast ini menyediakan ruang di mana orang-orang dapat berbicara dengan bebas,
berbagi cerita mereka tanpa takut dihakimi. Menurut teori komunikasi naratif
(Fisher, 1984), berbagi cerita pribadi melalui media seperti podcast dapat
memperkuat hubungan antar individu dan membuka jalan bagi empati serta
pengertian yang lebih besar terhadap kondisi HIV.
Pembuatan podcast ini bukan hanya memberikan ruang untuk berbicara, tetapi
juga membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang HIV. Dengan
mendengarkan kisah nyata dari mereka yang hidup dengan HIV, audiens dapat mulai
memahami pengalaman tersebut dengan cara yang lebih manusiawi dan empatik.
Podcast menjadi salah satu bentuk komunikasi yang dapat mengurangi stigma
karena media ini memungkinkan orang untuk melihat HIV dari perspektif pribadi,
bukan hanya melalui angka atau data medis. Hal ini sejalan dengan teori
komunikasi massa (McLuhan, 1964), yang menyatakan bahwa media dapat membentuk
persepsi sosial dan membantu menyampaikan pesan dengan cara yang lebih efektif
dan memengaruhi perubahan sosial.
Selain itu, banyak individu yang hidup dengan HIV mulai bergabung dengan
komunitas yang memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menghapus stigma dan
meningkatkan kesadaran tentang HIV. Dalam komunitas ini, mereka dapat menemukan
dukungan sosial yang mereka butuhkan, serta mendapatkan informasi yang benar
tentang HIV dan cara mengelola kondisi tersebut. Komunitas ini menjadi tempat
di mana mereka merasa diterima dan dipahami, yang penting untuk mengurangi rasa
kesepian. Teori modal sosial yang dikemukakan oleh Putnam (2000) mengungkapkan
bahwa keterlibatan dalam komunitas dapat meningkatkan rasa memiliki dan
memperkuat jaringan dukungan sosial yang ada, yang sangat penting dalam
meningkatkan kualitas hidup individu yang hidup dengan HIV.
Bergabung dengan komunitas ini juga memberikan rasa tujuan dan kekuatan baru
bagi banyak individu. Ketika mereka mulai merasa bahwa pengalaman mereka dapat
membantu orang lain, mereka merasa lebih berdaya dan berharga. Ini menciptakan
perasaan positif yang penting untuk pemulihan emosional. Menurut teori motivasi
intrinsik (Deci & Ryan, 1985), perasaan berkontribusi dan membantu orang
lain dapat meningkatkan kepuasan pribadi dan kualitas hidup, serta mengurangi
perasaan kesepian yang sering dialami oleh mereka yang hidup dengan HIV.
Namun, meskipun ada kemajuan dalam menghadapi stigma, perjuangan untuk
mengatasi kesepian dan stigma sosial tidak akan pernah benar-benar berakhir
tanpa partisipasi aktif masyarakat. Masyarakat harus diberi pemahaman yang
lebih baik tentang HIV dan cara penularannya, agar tidak ada lagi prasangka
atau ketakutan yang tidak berdasar. Hal ini akan membuka lebih banyak ruang
bagi mereka yang hidup dengan HIV untuk merasa diterima dan dihargai sebagai
bagian dari masyarakat. Menurut teori perubahan sosial Lewin (1951), perubahan
sosial dimulai dengan kesadaran individu, yang kemudian dapat memengaruhi
perubahan di tingkat masyarakat secara keseluruhan.
Pada akhirnya, perjalanan hidup dengan HIV adalah tentang menemukan cara
untuk mengatasi stigma dan kesepian melalui penerimaan diri dan dukungan
sosial. Dengan lebih banyak orang berbicara terbuka tentang pengalaman mereka,
serta lebih banyak ruang aman yang tersedia untuk berbagi, stigma akan
berkurang. Hal ini membutuhkan upaya dari semua pihak, baik individu maupun
masyarakat, untuk bersama-sama menciptakan dunia yang lebih inklusif dan bebas
dari diskriminasi terhadap mereka yang hidup dengan HIV. Menurut teori
solidaritas Durkheim (1893), solidaritas dalam masyarakat dapat tercapai ketika
kita mulai memahami dan menerima perbedaan, dan saling mendukung untuk
menciptakan perubahan yang positif bagi semua.
Kontributor
Sumarta
Indramayutradisi.com
Note :
Artikel
ini mencoba memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana komunitas HIV di
Irlandia bergerak untuk menciptakan ruang yang lebih inklusif, serta bagaimana
mereka melalui pengalaman pribadi untuk merayakan hidup mereka. Kisah-kisah
ini, meski penuh tantangan, adalah sumber kekuatan yang bisa menginspirasi
perubahan lebih luas, tidak hanya bagi mereka yang hidup dengan HIV tetapi juga
bagi seluruh masyarakat.
Referensi:
Bandura, A. (1977). Social learning theory. Prentice-Hall.
Cohen, S., & Wills, T. A. (1985). Stress, social support, and the
buffering hypothesis. Psychological Bulletin, 98(2), 310–357.
https://doi.org/10.1037/0033-2909.98.2.310
Deci, E. L., & Ryan, R. M. (1985). Intrinsic motivation and
self-determination in human behavior. Springer.
DW
Documentary. (30 Nov 2024) Living with HIV - The fight against stigmatization.
https://www.youtube.com/@DWDocumentary/videos
Durkheim, É. (1893). The division of labor in society. Free Press.
Fisher, W. R. (1984). Narration as a human communication paradigm: The case
of public moral argument. Communication Monographs, 51(1), 1–22.
https://doi.org/10.1080/03637758409390180
Goffman, E. (1963). Stigma: Notes on the management of spoiled identity.
Prentice-Hall.
Lewin, K. (1951). Field theory in social science. Harper.
Major, B., & O’Brien, L. T. (2005). The social psychology of stigma. Annual
Review of Psychology, 56, 393–421. https://doi.org/10.1146/annurev.psych.56.091103.070137
McLuhan, M. (1964). Understanding media: The extensions of man. MIT
Press.
Putnam, R. D. (2000). Bowling alone: The collapse and revival of
American community. Simon & Schuster.