Menghadapi Perubahan Makna Bahasa dalam Syariat Islam
Menghadapi
Perubahan Makna Bahasa dalam Syariat Islam
Penulis
Sumarta
(Akang Marta)
Perubahan
makna istilah dalam syariat Islam adalah fenomena yang tidak dapat dihindari.
Bahasa sebagai bagian dari dinamika sosial terus berkembang seiring waktu, dan
hal ini turut memengaruhi cara istilah-istilah dalam agama dipahami. Namun,
perubahan tersebut harus dilihat dengan penuh kehati-hatian, terutama dalam
konteks ajaran agama yang sangat bergantung pada makna yang tepat untuk menjaga
esensi dari syariat Islam. Oleh karena itu, setiap perubahan harus dihadapi
dengan kesadaran dan pemahaman yang mendalam agar tidak merusak substansi
ajaran yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Hadis. Perubahan makna ini sering
kali memunculkan interpretasi yang berbeda-beda, sehingga umat Islam perlu
selalu berpegang pada prinsip kehati-hatian dalam menggunakan istilah-istilah
syariat.
Peran
para ulama dalam menjaga kemurnian istilah-istilah syariat menjadi sangat
penting dalam menghadapi fenomena ini. Mereka diharapkan tidak hanya mampu
memahami teks-teks klasik, tetapi juga mampu menafsirkan istilah sesuai dengan
konteks sejarah, dalil, dan tujuan syariat (maqashid syariah). Ulama harus
terus menggali pemahaman dari sumber-sumber yang autentik dan menyajikan
interpretasi yang sesuai dengan perkembangan zaman tanpa mengurangi esensi
ajaran Islam. Misalnya, dalam menafsirkan istilah "makruh", ulama
harus mempertimbangkan konteks penggunaan istilah tersebut oleh sahabat Nabi
Muhammad SAW dan para ulama terdahulu, seperti yang dilakukan oleh Ibnu
Taimiyah yang sering mengkritik penggunaan makruh dalam konteks yang salah,
yang bisa membingungkan umat (Al-Dhahabi, 2007).
Salah
satu contoh perubahan makna yang sering dibahas adalah istilah makruh.
Dalam konteks awal Islam, makruh sering kali dianggap sebagai sesuatu yang
lebih berat dari sekadar haram, bahkan dalam beberapa hal bisa dianggap setara
dengan dosa besar. Namun, seiring perkembangan zaman dan kodifikasi hukum
Islam, makruh mulai dipahami sebagai larangan yang lebih ringan daripada haram.
Para ulama pada masa selanjutnya mulai mengklasifikasikan makruh sebagai
perbuatan yang lebih disarankan untuk ditinggalkan, namun tidak sampai
menyebabkan dosa jika dilakukan. Hal ini mengilustrasikan bagaimana istilah
syariat bisa berubah seiring waktu dan perlu diinterpretasikan kembali dengan
merujuk pada konteks sejarah yang lebih luas.
Bagi umat
Islam, kesadaran untuk mempelajari dan memahami istilah-istilah syariat secara
mendalam menjadi kunci dalam menjaga pemahaman yang benar tentang ajaran agama.
Penggunaan istilah yang salah atau tidak sesuai konteks bisa menyebabkan
kesalahpahaman yang lebih besar, bahkan fitnah terhadap Islam itu sendiri. Oleh
karena itu, umat Islam seharusnya lebih berhati-hati dalam menyebarkan pemahaman
agama, baik melalui media sosial atau di kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini,
para ulama memegang peran yang sangat penting untuk memberikan bimbingan kepada
umat dalam memahami istilah-istilah yang sering digunakan dalam syariat.
Selain
itu, penting bagi umat Islam untuk terus melestarikan tradisi belajar dari
kitab-kitab klasik atau kitab kuning, yang menjadi rujukan utama dalam
memahami ajaran agama Islam. Tradisi ini bukan hanya penting untuk memperdalam
ilmu agama, tetapi juga untuk memastikan bahwa ajaran yang disampaikan sesuai
dengan pemahaman yang telah diwariskan oleh ulama terdahulu. Pemahaman yang
benar terhadap teks-teks agama, yang dalam hal ini adalah tafsir dan fiqh
klasik, menjadi landasan yang sangat berharga bagi umat Islam untuk menghadapi
perubahan makna istilah dalam syariat. Oleh karena itu, merujuk pada literatur
klasik adalah salah satu cara yang efektif untuk menjaga kemurnian ajaran
Islam.
Sebagai
penutup, menghadapi perubahan makna istilah dalam syariat Islam memerlukan
kesadaran dan pemahaman yang mendalam dari umat Islam. Ini bukan hanya tugas
para ulama, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama untuk memastikan bahwa
ajaran Islam tetap terjaga dari distorsi atau pemahaman yang salah. Dengan
menjaga kemurnian istilah syariat melalui kajian yang mendalam dan hati-hati,
umat Islam akan dapat menghadapi tantangan zaman dengan bijaksana tanpa
kehilangan esensi ajaran agama yang telah diwariskan oleh Rasulullah SAW. Upaya
ini tentu memerlukan kolaborasi antara umat dan ulama dalam menjaga kesucian
ajaran Islam di tengah dinamika perubahan bahasa dan masyarakat.
Referensi
- Al-Dhahabi, S. (2007). Siyar
A'lam al-Nubala. Maktabah al-Ma'arif.