Mubaligh dan Tantangan Modern: Menjaga Integritas dalam Menyampaikan Pesan Agama

 

Mubaligh dan Tantangan Modern: Menjaga Integritas dalam Menyampaikan Pesan Agama

Penulis

Sumarta (Akang Marta)

 


Tantangan yang dihadapi umat Islam dalam era modern ini sangat kompleks, terutama dalam hal bagaimana seorang mubaligh (penyampai pesan agama) menjalankan tugasnya. Dalam tradisi Islam, seorang mubaligh memiliki peran yang sangat penting sebagai penyampai wahyu Allah, yang diemban dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran. Tugas mubaligh bukan hanya untuk mengajarkan agama, tetapi juga untuk menjadi teladan dalam perilaku sehari-hari, menjaga keagungan ilmu agama, dan menyampaikan kebenaran kepada umat. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, muncul fenomena di mana sebagian mubaligh lebih mengutamakan popularitas dan kepentingan pribadi ketimbang menjalankan tugas mereka dengan niat yang tulus. Hal ini tentu saja menimbulkan kekhawatiran dalam masyarakat, karena tugas utama mubaligh adalah menyampaikan pesan agama dengan benar, bukan mencari keuntungan pribadi atau pengaruh sosial.

Di era digital ini, media sosial dan platform daring memberikan ruang yang luas bagi para mubaligh untuk menyampaikan ceramah dan pesan agama mereka. Sayangnya, tidak sedikit dari mereka yang memanfaatkan platform tersebut untuk tujuan yang tidak sesuai dengan misi dakwah Islam yang sebenarnya. Sebagian mubaligh terkadang lebih memilih untuk memberikan ceramah yang berorientasi pada hiburan, dengan gaya berbicara yang lebih mirip selebritas daripada seorang ulama. Ceramah yang seharusnya menjadi sarana untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan keimanan sering kali digantikan dengan hiburan yang tidak memiliki kedalaman. Selain itu, ada juga mubaligh yang menggunakan ceramah untuk menyindir atau menyampaikan kritik sosial yang tidak relevan dengan tujuan dakwah, yang seharusnya lebih fokus pada penanaman nilai-nilai agama, moralitas, dan kedamaian dalam masyarakat.

Perubahan-perubahan ini sangat memprihatinkan karena mengarah pada distorsi dalam pemahaman agama. Seorang mubaligh, dalam pandangan ulama seperti Sayid Abdul Al-Haddad, seharusnya menjadi "da'i ilallah" (pendakwah untuk Allah), bukan "da'i ilal nafsi" (pendakwah untuk dirinya sendiri). Hal ini menunjukkan bahwa tujuan utama dari dakwah adalah untuk menyampaikan pesan Allah, bukan untuk mencari keuntungan pribadi atau meningkatkan citra diri. Ketika seorang mubaligh lebih fokus pada keuntungan pribadi atau kepentingan duniawi, mereka tidak hanya mengabaikan amanah agama tetapi juga merusak kredibilitas dakwah itu sendiri. Mubaligh seharusnya mencontoh Rasulullah SAW yang menjalankan dakwah dengan penuh keikhlasan dan tanpa pamrih, yang menjadi contoh nyata bagi umat Islam dalam menyampaikan kebenaran.

Lebih jauh lagi, fenomena ini menjadi tantangan besar bagi umat Islam yang ingin memahami ajaran agama dengan benar. Ceramah yang tidak berdasarkan ilmu yang sahih dan niat yang tulus hanya akan menyesatkan umat dan menjauhkan mereka dari esensi ajaran Islam yang sebenarnya. Banyak umat yang mencari bimbingan dari mubaligh untuk memahami masalah-masalah kehidupan, namun jika mubaligh tidak memiliki integritas dalam menyampaikan pesan agama, maka pemahaman yang mereka peroleh bisa jadi tidak akurat atau bahkan keliru. Oleh karena itu, penting bagi setiap mubaligh untuk menjaga niat dan integritas mereka dalam menjalankan tugas dakwah, serta selalu merujuk pada ilmu yang sahih dan sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW.

Dalam menghadapi tantangan zaman modern ini, pendidikan bagi para mubaligh juga menjadi hal yang sangat krusial. Mubaligh tidak hanya harus menguasai teks-teks agama, tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk menyampaikan pesan-pesan agama dengan cara yang relevan dan bermanfaat bagi umat. Sebagai contoh, para mubaligh perlu memahami dinamika sosial dan budaya yang ada, serta kemampuan untuk beradaptasi dengan teknologi agar dakwah tetap efektif dan menyentuh hati umat. Mubaligh juga harus mampu memfilter informasi dan menyampaikan ceramah yang benar-benar bermanfaat, bukan hanya yang menghibur atau menarik perhatian. Mereka harus bisa membedakan antara apa yang sekadar populer di kalangan masyarakat dan apa yang benar-benar bermanfaat dalam membangun karakter umat Islam yang lebih baik.

Pentingnya menjaga integritas dan kualitas dakwah di tengah tantangan modern ini tidak bisa dianggap remeh. Mubaligh harus kembali ke prinsip dasar dakwah yang dijalankan oleh para ulama dan Rasulullah SAW, yaitu menyampaikan pesan agama dengan penuh kejujuran, keikhlasan, dan komitmen untuk kebaikan umat. Dakwah bukanlah ajang untuk menunjukkan kemampuan pribadi atau memperoleh popularitas, melainkan suatu tanggung jawab besar untuk membimbing umat ke jalan yang benar. Mubaligh yang sadar akan tanggung jawab ini akan selalu berusaha menjaga kualitas ilmu yang mereka sampaikan, serta memastikan bahwa pesan agama yang mereka bawa benar-benar sampai dengan cara yang tepat dan sesuai dengan nilai-nilai Islam yang murni.

Referensi

Al-Haddad, S. A. (1999). Al-Da’wah ila Allah: The True Mission of the Preacher. Dar al-Salam.
Nasution, H. (2015). Islam dan Tantangan Dakwah di Era Digital. Mizan.
Al-Qardawi, Y. (2012). Fiqh al-Da’wah: The Jurisprudence of Da’wah. Al-Maktabah al-Islamiyyah.

 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel