Mubaligh: Evolusi Peran dari Penyampai Wahyu ke Agen Sosial Modern
Mubaligh:
Evolusi Peran dari Penyampai Wahyu ke Agen Sosial Modern
Penulis
Sumarta
(Akang Marta)
Pada masa
awal Islam, istilah mubaligh memiliki makna yang sangat spesifik dan
mulia. Ia merujuk pada individu yang diberi amanah untuk menyampaikan wahyu
Allah (balagh anillah), hukum-hukum Allah (ahkamullah), serta
pesan-pesan Al-Qur'an kepada umat. Peran ini menuntut tanggung jawab besar, tidak
hanya dalam menyampaikan pesan tetapi juga menjaga kemurnian ajaran Islam.
Dalam konteks ini, mubaligh tidak hanya bertindak sebagai komunikator, tetapi
juga sebagai penjaga nilai-nilai agama, memastikan bahwa umat memahami pesan
Allah sebagaimana yang diinginkan-Nya (Rahman, 1984). Kehormatan yang melekat
pada peran mubaligh kala itu tidak lepas dari pentingnya menjaga integritas
pesan ilahi di tengah tantangan zaman.
Namun,
seiring berjalannya waktu, makna dan peran mubaligh mengalami perubahan. Di era
modern, banyak mubaligh yang tidak lagi terbatas pada tugas menyampaikan wahyu,
melainkan sering kali membawa opini pribadi (mur nafsih) atau bahkan
agenda tertentu yang terkait dengan kelompok atau institusi yang mereka wakili.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan ulama, seperti yang diungkapkan
oleh Sayid Abdul al-Haddad, yang menekankan pentingnya mubaligh untuk kembali
pada tugas inti mereka: menyampaikan pesan Allah tanpa distorsi atau motivasi
pribadi. Pergeseran ini tidak hanya memengaruhi persepsi masyarakat terhadap
mubaligh, tetapi juga menimbulkan tantangan baru dalam menjaga otentisitas
ajaran Islam di era globalisasi.
Perubahan
ini tidak terlepas dari pengaruh transformasi sosial dan budaya. Dalam tradisi
klasik, istilah seperti "ustaz" memiliki makna yang sangat formal,
merujuk pada gelar akademik yang setara dengan profesor. Namun, di era modern,
terutama di Indonesia, istilah ini sering digunakan untuk siapa saja yang
memiliki kemampuan mengajar agama, mulai dari guru TPQ hingga penceramah
publik. Transformasi ini menunjukkan bagaimana makna bahasa dapat mengalami
degradasi atau perluasan makna sesuai dengan kebutuhan dan konteks masyarakat.
Istilah mubaligh pun turut terpengaruh oleh fenomena ini, dengan makna yang
kini mencakup peran sosial yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada tugas
keagamaan.
Di tengah
perubahan ini, mubaligh modern sering kali menjadi agen sosial yang berperan
dalam berbagai isu masyarakat. Mereka tidak hanya menyampaikan ajaran agama,
tetapi juga memberikan panduan dalam menghadapi tantangan-tantangan kontemporer
seperti ketimpangan sosial, krisis lingkungan, atau konflik politik. Peran ini
memperkaya fungsi mubaligh sebagai pemimpin opini yang dapat menjembatani
kebutuhan umat dengan ajaran agama. Meskipun demikian, tanggung jawab ini
memerlukan kehati-hatian, agar mubaligh tidak kehilangan esensi utamanya
sebagai penyampai wahyu. Ulama seperti Kamali (2003) mengingatkan bahwa
mubaligh harus tetap berpegang pada prinsip kejujuran dan keilmuan dalam
menyampaikan pesan agama.
Dalam era
media sosial, peran mubaligh semakin kompleks. Mereka kini berhadapan dengan
tantangan baru dalam bentuk digitalisasi dakwah, di mana pesan agama dapat
tersebar dengan cepat tetapi juga rentan terhadap misinterpretasi. Keberadaan
platform digital memberikan peluang besar bagi mubaligh untuk menjangkau
audiens yang lebih luas, namun juga menuntut tanggung jawab yang lebih besar
dalam menjaga akurasi dan relevansi pesan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa
peran mubaligh modern tidak hanya ditentukan oleh pengetahuan agama, tetapi
juga oleh kemampuan mereka untuk memanfaatkan teknologi secara bijak dan
bertanggung jawab.
Transformasi
peran mubaligh dari penyampai wahyu menjadi agen sosial modern mencerminkan
dinamika perubahan masyarakat dan tantangan zaman. Untuk menjaga relevansi
sekaligus otentisitas perannya, para mubaligh perlu terus memperbarui pemahaman
mereka tentang ajaran agama serta konteks sosial yang melingkupinya. Dengan
cara ini, mubaligh tidak hanya menjadi penyampai pesan ilahi, tetapi juga
penjaga moral dan pemandu umat dalam menghadapi dinamika kehidupan modern.
Referensi
- Kamali, M. H. (2003). Principles
of Islamic Jurisprudence. Islamic Texts Society.
- Rahman, F. (1984). Islam
and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. University
of Chicago Press.