Pemahaman Mendalam tentang Teori Komunikasi Politik Dalam Kasus Gus Miftah
Teori komunikasi yang dikemukakan oleh Harold Lasswell pada tahun 1948 menjadi kerangka dasar untuk memahami interaksi publik, termasuk komunikasi pejabat negara. Lasswell memperkenalkan lima elemen utama dalam komunikasi: siapa yang berbicara, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa, dan dengan efek apa. Elemen-elemen ini relevan dalam menilai bagaimana pesan diterima dan diinterpretasikan oleh khalayak. Dalam kasus komunikasi Gus Miftah, terdapat kelalaian dalam memahami dua elemen penting: siapa penerima pesan dan dampak yang dihasilkan. Sebagai seorang pejabat publik, setiap kata yang diucapkan memiliki bobot moral dan politik yang lebih besar, terutama di era digital, di mana netizen dapat memberikan penilaian cepat berdasarkan standar moral yang beragam.
Penting untuk dicatat bahwa komunikasi publik, terutama dalam acara yang disiarkan secara luas, harus memperhatikan sensitivitas sosial. Dalam kasus Gus Miftah, situasi menjadi semakin kompleks ketika candaan yang disampaikan disambut dengan gelak tawa orang-orang di sekitarnya. Respons semacam ini dapat menimbulkan persepsi bahwa tindakan tersebut diterima atau bahkan didukung oleh audiens langsungnya. Namun, audiens daring mungkin memiliki interpretasi yang berbeda, memandang hal tersebut sebagai tindakan yang tidak pantas. Oleh karena itu, komunikasi pejabat harus selalu mempertimbangkan perspektif publik yang lebih luas dan menghindari tindakan yang dapat memicu kontroversi.
Humor dalam ruang publik memang memiliki peran penting, tetapi juga membawa risiko tinggi, terutama ketika disampaikan oleh tokoh dengan pengaruh besar. Candaan yang tidak dipertimbangkan dengan matang dapat menimbulkan reaksi beragam yang berpotensi merusak citra. Dalam teori Lasswell, pesan yang disampaikan melalui media massa dapat memiliki efek domino yang sulit dikendalikan. Efek ini semakin terasa ketika pesan tersebut menyangkut isu-isu sensitif atau moral yang sering menjadi perhatian publik. Oleh sebab itu, setiap komunikasi yang dilakukan pejabat negara perlu memadukan empati, sensitivitas sosial, dan kesadaran politik.
Dinamika komunikasi politik menunjukkan betapa pentingnya pemahaman mendalam tentang konteks sosial dan audiens. Pejabat publik tidak hanya berbicara untuk audiens langsung, tetapi juga untuk publik luas yang memiliki berbagai latar belakang dan nilai. Mengelola komunikasi dengan hati-hati adalah kunci untuk menjaga kepercayaan dan kredibilitas di mata publik. Dalam kasus Gus Miftah, pernyataannya mengingatkan kita tentang perlunya kehati-hatian ekstra dalam memilih kata dan penyampaian, terutama di era di mana setiap ucapan dapat dengan mudah diabadikan dan dianalisis oleh banyak pihak.
Kesimpulannya, teori komunikasi Lasswell memberikan panduan penting dalam memahami dinamika komunikasi politik dan publik. Dalam dunia yang semakin terkoneksi, komunikasi bukan hanya soal menyampaikan pesan, tetapi juga soal bagaimana pesan itu diterima dan dimaknai. Setiap pejabat publik harus menyadari bahwa tanggung jawabnya melibatkan tidak hanya kejelasan pesan, tetapi juga dampaknya terhadap audiens yang lebih luas. Oleh karena itu, komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang menghormati perbedaan, memahami konteks, dan memprioritaskan dampak positif bagi masyarakat.
Kontributor
Sumarta