Polemik Humor: Antara Cerdas dan Merendahkan
Polemik Humor: Antara Cerdas dan Merendahkan
Kontributor
Sumarta
(Akang Marta)
Humor sering dianggap sebagai sarana komunikasi yang efektif untuk
menyampaikan pesan secara ringan dan menghibur. Namun, humor yang tidak
bijaksana dapat dengan mudah berubah menjadi alat penghinaan yang melukai.
Dalam kasus Gus Miftah, beberapa candaannya yang melibatkan pedagang es teh dan
seorang seniman senior dinilai tidak pantas oleh banyak pihak. Apa yang
dianggap oleh sebagian orang sebagai humor biasa, bagi yang lain justru
melanggar etika dan norma, terutama ketika dilontarkan oleh seorang tokoh
agama. Kritik terhadap Gus Miftah ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang
batas-batas humor, khususnya dalam konteks publik.
Mendiang KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah salah satu contoh tokoh
yang dikenal dengan kemampuan humornya yang cerdas. Gus Dur pernah menyatakan
bahwa humor tertinggi adalah ketika seseorang mampu mentertawakan dirinya
sendiri, sementara humor terburuk adalah ketika orang menertawakan pihak yang
lemah. Dengan kebijaksanaannya, Gus Dur menggunakan humor untuk menyampaikan
pesan yang sarat nilai tanpa merendahkan siapapun. Sebaliknya, candaan yang
dilontarkan Gus Miftah dianggap menabrak norma tersebut. Hal ini menciptakan
perbandingan yang mencolok antara humor yang mencerdaskan dan humor yang
melukai.
Banyak pihak menilai bahwa sebagai seorang tokoh agama, Gus Miftah memiliki
tanggung jawab lebih besar untuk menjaga tutur kata dan sikapnya. Olok-olok
terhadap pedagang es teh dan seniman senior tidak hanya menyinggung
individu-individu tertentu tetapi juga mencederai semangat kerukunan yang
seharusnya ia jaga. Di tengah masyarakat yang semakin kritis, tindakan seperti
ini dapat dengan mudah memicu reaksi keras, terlebih ketika dilihat sebagai
bentuk arogansi atau ketidakpekaan sosial. Publik tidak hanya menilai ucapannya
sebagai sebuah candaan, tetapi juga sebagai refleksi dari karakter dan tanggung
jawab moral seorang pemimpin opini.
Kontroversi ini membuka diskusi yang lebih luas tentang peran humor dalam
kehidupan bermasyarakat. Humor idealnya menjadi alat untuk mendekatkan,
menyatukan, dan mencerdaskan. Ketika humor justru digunakan untuk merendahkan
atau mempermalukan, ia kehilangan esensinya. Dalam dunia yang semakin terbuka,
di mana setiap ucapan bisa dengan cepat menjadi viral, tokoh publik perlu lebih
berhati-hati. Kritik terhadap Gus Miftah juga menjadi pengingat bahwa humor,
meski tampak ringan, bisa memiliki dampak besar dalam membentuk persepsi publik
terhadap seseorang, terutama bagi mereka yang memiliki peran signifikan dalam
masyarakat.
Polemik ini bukan hanya soal humor yang dianggap tidak pantas, tetapi juga
tentang tanggung jawab moral dan etika tokoh publik. Sebagai masyarakat, kita
diajak untuk merefleksikan bagaimana humor dapat digunakan dengan bijak untuk
menciptakan dialog yang sehat tanpa melukai. Kasus ini juga mengingatkan kita
pada pentingnya menjaga kepekaan sosial, menghargai keberagaman, dan memastikan
bahwa kata-kata, baik dalam bentuk serius maupun candaan, tetap mengandung
nilai-nilai luhur yang menguatkan persatuan. Humor sejatinya adalah jembatan,
bukan tembok yang memisahkan.