Politik Indonesia Pasca-Pilkada 2024: Menatap Masa Depan Demokrasi
Menatap Masa Depan Demokrasi
Pilkada serentak 2024 mencerminkan dinamika kompleks politik Indonesia,
memperlihatkan interaksi antara kekuatan dominan, tantangan sosial, dan peluang
demokrasi. Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus), yang dipimpin oleh
figur-figur besar seperti Jokowi dan Prabowo, mendominasi lanskap politik.
Dominasi ini menimbulkan pertanyaan tentang arah demokrasi Indonesia, terutama
dalam konteks pluralisme politik dan representasi masyarakat yang beragam.
Pilkada ini bukan hanya kompetisi antara kandidat, tetapi juga medan uji untuk
sistem politik dalam menghadapi praktik-praktik korupsi seperti politik uang
dan manipulasi kekuasaan (Mietzner, 2020).
Salah satu aspek yang mencuri perhatian adalah bagaimana Jokowi berhasil
memainkan peran sentral dalam membentuk dinamika politik pasca-pilkada. Sebagai
figur dengan pengaruh besar, dukungannya terhadap kandidat tertentu menjadi
penentu dalam beberapa wilayah strategis. Namun, pengaruh ini juga menimbulkan
kekhawatiran tentang homogenitas politik yang dapat melemahkan mekanisme checks
and balances dalam sistem demokrasi. Di sisi lain, Prabowo, sebagai bagian dari
koalisi besar, menunjukkan fleksibilitas politik dengan menyelaraskan
kepentingannya bersama Jokowi, meskipun tantangan dari oposisi tetap ada
(Tomsa, 2023).
Dominasi KIM Plus menghadirkan peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi,
koalisi ini dapat menciptakan stabilitas politik dengan mengurangi fragmentasi
partai-partai. Namun, di sisi lain, ada risiko bahwa kekuatan yang terlalu
besar akan mengurangi ruang bagi oposisi untuk berkembang. Oposisi yang lemah
dapat mengakibatkan penurunan kualitas demokrasi karena berkurangnya pengawasan
terhadap pemerintah. Dengan demikian, penting bagi koalisi ini untuk menjaga
keseimbangan antara konsolidasi kekuasaan dan keterbukaan terhadap kritik
(Warburton, 2021).
Praktik politik uang masih menjadi isu besar dalam Pilkada serentak 2024. Di
banyak daerah, uang menjadi alat utama untuk memobilisasi suara, mencerminkan
lemahnya integritas proses politik. Fenomena ini terkait erat dengan kondisi
sosial-ekonomi masyarakat yang sulit, di mana kebutuhan ekonomi sering kali
mengalahkan nilai-nilai demokrasi. Tanpa pendidikan politik yang lebih baik,
tantangan ini sulit diatasi. Masyarakat membutuhkan pemahaman yang lebih kritis
terhadap pentingnya memilih pemimpin berdasarkan kapasitas, bukan iming-iming
material (Aspinall & Berenschot, 2019).
DKI Jakarta memberikan gambaran yang kontras dalam konteks ini. Sebagai
wilayah dengan tingkat pendidikan dan kesejahteraan yang lebih tinggi,
masyarakat Jakarta menunjukkan resistensi yang lebih besar terhadap praktik
politik uang. Namun, Jakarta adalah anomali dan tidak mencerminkan kondisi
mayoritas wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk
mereplikasi keberhasilan ini di daerah-daerah lain melalui program pendidikan
politik yang berkelanjutan (Hadiz, 2017).
Keberhasilan Pilkada serentak juga menggarisbawahi pentingnya kesadaran
politik yang lebih tinggi di kalangan masyarakat. Kesadaran politik yang rendah
sering kali menjadi akar masalah dari berbagai praktik negatif dalam demokrasi,
seperti politik uang dan manipulasi suara. Peningkatan kesadaran ini tidak
hanya dapat dilakukan melalui pendidikan formal tetapi juga melalui media
sosial, yang telah menjadi alat utama dalam membentuk opini publik. Pemerintah
dan masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk membangun narasi positif yang
dapat memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dan kritis dalam
politik (Mietzner, 2020).
Salah satu tantangan besar lainnya adalah bagaimana membangun demokrasi yang
inklusif dan representatif. Peran perempuan dan kelompok marginal masih minim
dalam politik Indonesia, meskipun sudah ada kebijakan afirmasi. Pasca-Pilkada
2024, penting bagi partai-partai politik untuk mengambil langkah konkret dalam
meningkatkan representasi kelompok-kelompok ini. Representasi yang lebih luas
tidak hanya akan meningkatkan legitimasi demokrasi, tetapi juga menciptakan
kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat (Warburton, 2021).
Hubungan antara Jokowi dan Prabowo menjadi aspek lain yang menarik dalam
lanskap politik pasca-Pilkada. Meskipun terlihat harmonis, hubungan ini tetap
rentan terhadap dinamika internal dan eksternal. Kritik dari faksi-faksi
politik tertentu, termasuk dari PDI-P, menunjukkan adanya ketegangan yang dapat
memengaruhi stabilitas koalisi. Keberhasilan hubungan ini akan sangat
bergantung pada kemampuan kedua pihak untuk menjaga keseimbangan antara
kepentingan pribadi dan kepentingan nasional (Tomsa, 2023).
Di tingkat lokal, Pilkada serentak juga menyoroti peran kepala daerah dalam
mendukung kebijakan nasional. Kepala daerah yang terpilih tidak hanya harus
mampu menjalankan visi-misi mereka, tetapi juga harus selaras dengan kebijakan
pemerintah pusat. Koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah
menjadi kunci untuk memastikan keberhasilan program-program pembangunan,
terutama di sektor infrastruktur dan pendidikan (Aspinall, 2014).
Isu korupsi menjadi tantangan lain yang terus menghantui politik Indonesia.
Meskipun sudah ada lembaga seperti KPK, praktik korupsi masih merajalela,
terutama di tingkat lokal. Pasca-Pilkada 2024, perhatian khusus perlu diberikan
pada penguatan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum. Tanpa langkah tegas,
isu ini akan terus menjadi hambatan besar bagi pembangunan politik dan ekonomi
Indonesia (Hadiz, 2017).
Melihat ke depan, masa depan politik Indonesia sangat bergantung pada
kemampuan untuk mengatasi tantangan-tantangan ini. Pilkada serentak 2024 bukan
hanya tentang kemenangan atau kekalahan kandidat, tetapi juga tentang refleksi
mendalam terhadap arah bangsa. Dengan komitmen yang kuat dari semua pihak,
politik Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi lebih inklusif, adil, dan
demokratis (Mietzner, 2020).
Pilkada serentak 2024 memberikan pelajaran berharga tentang siapa kita
sebagai bangsa dan ke mana kita akan melangkah. Jika tantangan-tantangan
seperti politik uang, korupsi, dan rendahnya kesadaran politik dapat diatasi,
maka Indonesia memiliki peluang besar untuk mewujudkan demokrasi yang matang
dan berkeadilan. Namun, jika tantangan ini diabaikan, maka masa depan politik
Indonesia akan tetap terjebak dalam siklus yang sama (Aspinall &
Berenschot, 2019).
Kontributor
Sumarta
Referensi:
Aspinall, E. (2014). Electoral
dynamics in Indonesia: Money politics, patronage and clientelism at the
grassroots. Singapore: ISEAS-Yusof Ishak Institute.
Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for sale: Elections,
clientelism, and the state in Indonesia. Ithaca, NY: Cornell University
Press.
Hadiz, V. R. (2017). Islamic populism in Indonesia and the Middle East.
Cambridge: Cambridge University Press.
Mietzner, M. (2020). Political polarization and democratic resilience in
Indonesia. Asian Affairs, 51(2), 241-264.
Nusantara TV. (30 Nov 2024)
Peta Politik Indonesia, Saiful SMRC: Prabowo Pengin Banget Bareng Bu Mega, Tapi
Mega Nggak!. https://nusantaratv.com/
Tomsa, D. (2023). Indonesia
under Jokowi: Between populism and technocracy. Journal of Current
Southeast Asian Affairs, 42(3), 23-47.
Warburton, E. (2021). Developmentalism and democracy in Indonesia:
Reshaping the political order. The Pacific Review, 34(1), 123-144.