Politik Uang dalam Pilkada: Cermin Kronisnya Demokrasi Indonesia

 

Politik Uang dalam Pilkada: Cermin Kronisnya Demokrasi Indonesia

Kontributor

Sumarta (Akang Marta)

 

Penyalahgunaan wewenang di Indonesia tidak hanya terbatas pada lingkungan kementerian, tetapi juga merambah ke dalam dunia politik, terutama dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pilkada 2024 menjadi sorotan tajam, mengingat maraknya praktik politik uang yang menggoyahkan fondasi demokrasi negara ini. Menurut laporan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), setidaknya 130 dugaan pelanggaran terkait politik uang tercatat selama masa tenang hingga pemungutan suara. Ini menunjukkan betapa meluasnya praktik tersebut dalam proses demokrasi di Indonesia, yang mestinya menjadi ajang pilihan pemimpin yang adil dan transparan. Ketergantungan pada politik uang bukan hanya mengancam integritas proses pemilihan, tetapi juga menciptakan ketimpangan di mana suara rakyat dapat dibeli dengan uang, sehingga merusak keadilan dalam pemilihan umum.

Salah satu kasus yang mencuat dalam Pilkada 2024 adalah operasi tangkap tangan yang melibatkan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah. Gubernur ini diduga meminta dana dari bawahannya untuk kepentingan Pilkada, dan amplop berisi uang dengan gambar dirinya ditemukan sebagai barang bukti. Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana praktik politik uang dapat merusak tatanan pemerintahan dan mencoreng integritas calon pemimpin yang seharusnya mengedepankan pelayanan publik dan amanah. Tindakan ini menunjukkan bahwa meskipun demokrasi Indonesia semakin berkembang, tantangan besar yang dihadapi adalah mengikis budaya korupsi yang masih kuat, terutama dalam konteks pemilihan kepala daerah.

Praktik politik uang tidak hanya berdampak pada pelanggaran hukum, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi itu sendiri. Pemilih yang dipengaruhi oleh uang bukanlah pemilih yang berdasarkan pada kualitas visi dan misi calon pemimpin. Ini menciptakan siklus buruk di mana calon yang berkuasa dan memiliki akses finansial lebih besar memiliki keuntungan yang tidak adil, sementara rakyat yang jujur dan tulus dalam memilih menjadi pihak yang dirugikan. Sistem pemilihan yang seharusnya mencerminkan kehendak rakyat menjadi terganggu, dan suara mereka yang seharusnya bebas bisa dibeli dengan harga yang sangat murah. Tentu saja, hal ini menciptakan ketidakadilan yang sangat mencolok dalam pelaksanaan demokrasi.

Di sisi lain, kehadiran politik uang dalam Pilkada juga memunculkan tantangan besar bagi para penegak hukum dan pengawas pemilu. Meskipun Bawaslu mencatat banyak dugaan pelanggaran, tantangan utama adalah bagaimana memberantas praktik ini secara menyeluruh. Pengawasan yang ketat diperlukan, tetapi sering kali pengaruh politik dan kekuasaan yang besar membuat upaya penegakan hukum menjadi terhambat. Selain itu, adanya budaya politik uang yang sudah mengakar kuat di masyarakat juga mempersulit perubahan. Sebagian pemilih pun merasa bahwa memberi dukungan kepada calon dengan imbalan materi sudah menjadi hal yang biasa dan diterima, padahal ini adalah penyimpangan dari nilai demokrasi yang sejati.

Sebagai negara demokrasi yang ingin terus berkembang, Indonesia harus serius dalam menangani persoalan politik uang yang sudah menjadi penyakit kronis. Upaya untuk membersihkan politik dari praktik-praktik kotor seperti ini harus dilakukan mulai dari akar rumput hingga struktur elit politik. Pendidikan politik yang menekankan pentingnya partisipasi aktif yang jujur, transparan, dan bertanggung jawab perlu digalakkan. Demikian juga, perlu ada komitmen kuat dari seluruh lapisan masyarakat, terutama para calon pemimpin, untuk menunjukkan integritas dan menolak politik uang dalam bentuk apa pun. Hanya dengan cara ini demokrasi Indonesia dapat tumbuh menjadi lebih matang dan berkeadilan, serta membawa manfaat yang nyata bagi rakyat.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel