Refleksi Ulama dan Hidup dalam Perspektif Hakikat: Sebuah Analisis Mendalam
Refleksi Ulama dan Hidup dalam Perspektif Hakikat: Sebuah Analisis
Mendalam
Penulis
Sumarta
(Akang Marta)
Dalam kehidupan beragama, setiap individu sering kali dihadapkan pada
pemahaman yang berbeda tentang hidup, mati, dan makna di balik keduanya.
Perspektif ini dipengaruhi oleh berbagai aliran pemikiran yang berkembang dalam
tradisi keagamaan. Pemikiran para ulama besar, seperti Imam Al-Ghazali dan
Jalaluddin Rumi, memiliki peranan penting dalam membentuk cara pandang umat
terhadap hal-hal tersebut. Keduanya memberikan wawasan mendalam tentang
kehidupan ini, terutama mengenai kematian dan perjalanan spiritual menuju Tuhan.
Pemikiran ini sangat penting untuk dipahami, terutama dalam dunia modern yang
penuh dengan kebingungannya sendiri. Di tengah dinamika kehidupan yang serba
cepat dan materialistik, banyak orang merasa tersesat dalam pencarian makna
hidup yang sejati. Oleh karena itu, kembali kepada ajaran para ulama klasik
dapat menjadi sumber pencerahan yang membimbing kita untuk memahami hakikat
kehidupan dan kematian.
Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar dari abad ke-11, mengajarkan bahwa
hidup di dunia ini bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai
kebahagiaan abadi di akhirat. Dalam bukunya Ihya' Ulum al-Din,
Al-Ghazali menjelaskan pentingnya mengutamakan kehidupan spiritual dan batin.
Menurutnya, pencapaian kebahagiaan sejati hanya bisa diraih dengan mengenal
diri sendiri dan Tuhan. Semua yang ada di dunia ini, termasuk kekayaan dan
status sosial, hanyalah sementara dan tidak akan memberi kepuasan sejati jika
kita tidak mengarahkan hati kepada Tuhan. Kematian, dalam pandangan Al-Ghazali,
bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari kehidupan yang lebih kekal.
Oleh karena itu, umat Islam diajarkan untuk mempersiapkan diri dengan amal
saleh dan menjaga hati agar selalu dekat dengan Tuhan, sebab itulah yang
menjadi penentu kebahagiaan abadi.
Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar yang berasal dari Persia, memberikan
pandangan yang lebih mendalam mengenai perjalanan spiritual. Dalam ajarannya,
Rumi menggambarkan kehidupan sebagai sebuah perjalanan menuju Tuhan yang penuh
dengan ujian dan kesabaran. Baginya, hidup bukan hanya tentang pencapaian
duniawi, tetapi tentang pencarian hakikat yang lebih dalam. Rumi sering
menggunakan metafora cinta dan kerinduan untuk menggambarkan hubungan antara
manusia dengan Tuhan. Dalam puisinya, ia menekankan pentingnya melepaskan ego
dan keserakahan duniawi untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan. Menurutnya,
setiap manusia memiliki potensi untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan, namun itu
hanya bisa tercapai jika seseorang mampu menyingkirkan lapisan-lapisan duniawi
yang membutakan hati. Kematian, dalam pandangan Rumi, adalah saat di mana
seorang individu akhirnya kembali kepada sumber dari segala sesuatu, yaitu
Tuhan.
Dalam perspektif hakikat, baik Al-Ghazali maupun Rumi mengajarkan pentingnya
mengarahkan kehidupan kita untuk tujuan yang lebih tinggi daripada sekadar
memenuhi kebutuhan duniawi. Keduanya mengajak umat untuk menyadari bahwa dunia
ini hanyalah tempat persinggahan sementara, dan kehidupan yang sebenarnya
terletak di dunia yang kekal, yaitu akhirat. Konsep ini mengingatkan kita bahwa
hidup yang hakiki bukanlah tentang mencari kebahagiaan dalam bentuk materi,
melainkan menemukan kedamaian dalam kedekatan dengan Tuhan. Kematian, menurut
pandangan ini, bukanlah sesuatu yang menakutkan, tetapi sebuah kepulangan
menuju Tuhan yang seharusnya disambut dengan penuh kebahagiaan dan ketenangan
hati. Oleh karena itu, setiap amal perbuatan yang dilakukan dengan niat tulus
dan penuh kesadaran akan makna hidup yang lebih tinggi akan memperoleh pahala
yang tidak ternilai harganya di sisi Tuhan.
Di zaman modern ini, pandangan-pandangan para ulama ini bisa memberikan
pencerahan yang sangat dibutuhkan. Kita hidup di dunia yang penuh dengan
kemajuan teknologi dan materialisme, yang sering kali menjauhkan kita dari
pemahaman hakikat kehidupan dan tujuan sejati hidup. Banyak orang terjebak
dalam pencarian kebahagiaan yang bersifat sementara, seperti harta dan status
sosial, tanpa menyadari bahwa kebahagiaan yang sejati hanya dapat ditemukan
dalam kedekatan dengan Tuhan. Pemikiran Al-Ghazali dan Rumi mengingatkan kita
bahwa pencarian ini tidak akan membawa kita pada kebahagiaan yang abadi jika
tidak diimbangi dengan kesadaran spiritual yang mendalam. Oleh karena itu,
penting untuk kembali merenung, menggali ajaran-ajaran para ulama besar ini,
dan merenungkan makna hidup yang sesungguhnya dalam perspektif hakikat.
Sebagai kesimpulan, pandangan para ulama seperti Imam Al-Ghazali dan
Jalaluddin Rumi mengajak kita untuk lebih mendalami makna kehidupan dan
kematian dalam perspektif spiritual. Mereka mengajarkan bahwa hidup ini bukan
hanya tentang pencapaian duniawi, tetapi tentang perjalanan menuju Tuhan yang
penuh dengan kebijaksanaan dan kesadaran batin. Kematian, yang sering dianggap
sebagai akhir dari segala sesuatu, dalam pandangan mereka adalah titik awal
dari kehidupan yang kekal. Oleh karena itu, marilah kita merenungkan kembali
tujuan hidup kita, mengarahkan hati dan amal kita untuk mencapai kedekatan
dengan Tuhan, dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang sejati di
akhirat. Dalam perspektif ini, kita dapat menemukan kedamaian dan kebahagiaan
yang sejati, yang tidak tergantung pada duniawi tetapi pada hubungan kita
dengan Tuhan yang Maha Esa.
Referensi
Al-Ghazali, I. (n.d.). Ihya' Ulum al-Din.
Rumi, J. (n.d.). The Essential Rumi. Translated by Coleman Barks.