Sentimen Manusiawi yang Proporsional: Memahami Emosi dalam Perspektif Islam

 

Sentimen Manusiawi yang Proporsional: Memahami Emosi dalam Perspektif Islam

Penulis

Sumarta (Akang Marta)

 


Kisah Nabi Muhammad SAW dalam Mi'raj memberikan pelajaran berharga terkait sentimen manusiawi yang proporsional, khususnya dalam konteks hubungan antara Nabi Muhammad dan nabi-nabi lainnya. Dalam pertemuannya dengan Nabi Musa, misalnya, kita melihat adanya ekspresi kepedulian dan perhatian Nabi Musa terhadap umat Nabi Muhammad yang akan dibebani dengan kewajiban salat 50 kali sehari. Sikap ini menunjukkan bahwa sentimen manusiawi, seperti rasa empati dan kepedulian, memiliki tempat yang penting dalam kehidupan spiritual. Meskipun demikian, perasaan ini harus dijalani dengan bijaksana dan tidak melampaui batas, karena bisa saja mengarah pada kelebihan atau kekurangan dalam pengamalan ajaran agama. Dari kisah ini, kita diajarkan bahwa sentimen manusiawi, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi kekuatan yang positif dalam kehidupan umat Islam, asalkan tidak mendominasi atau merusak ketulusan niat dalam beribadah kepada Allah.

Kepedulian Nabi Musa terhadap umat Nabi Muhammad saat memberikan saran untuk mengurangi jumlah salat yang diwajibkan adalah contoh bagaimana sentimen manusiawi dapat berfungsi secara positif. Sebagai seorang nabi yang telah berpengalaman dalam menghadapi umat yang sulit menjalankan perintah Allah, Nabi Musa menggunakan kebijaksanaannya untuk membantu Nabi Muhammad dalam menyesuaikan beban kewajiban salat. Perasaan khawatir akan kemampuan umat Nabi Muhammad bukanlah perasaan negatif, melainkan sebuah bentuk sentimen yang manusiawi. Sikap ini mengingatkan kita bahwa emosi yang timbul dari rasa kasih sayang dan perhatian terhadap sesama dapat menjadi sumber kebijaksanaan. Namun, penting untuk diingat bahwa perasaan tersebut harus dikelola dengan hati-hati, agar tidak mengarah pada ketidakpastian atau keraguan terhadap keputusan yang telah ditetapkan oleh Allah.

Namun, meskipun sentimen manusiawi dapat berfungsi sebagai alat untuk mendukung dan menolong sesama, kita juga diajarkan untuk tidak membiarkan emosi ini menghalangi keteguhan dalam beribadah. Dalam kisah ini, meskipun Nabi Musa memberikan saran yang sangat baik berdasarkan pengalamannya, Nabi Muhammad tetap kembali kepada Allah untuk memastikan keputusan yang paling tepat bagi umatnya. Ini menunjukkan bahwa meskipun sentimen manusiawi diperlukan dalam kehidupan sosial dan agama, keputusan akhir tetap harus berlandaskan pada petunjuk Allah yang mutlak. Sentimen yang muncul harus selalu dikendalikan dan dijalani dengan keikhlasan, agar tidak mengarah pada keputusan yang merugikan atau menyimpang dari prinsip ajaran Islam. Keikhlasan menjadi kunci untuk memastikan bahwa emosi yang muncul tidak melampaui batas dan tetap sejalan dengan kebenaran wahyu Tuhan.

Di sisi lain, kisah ini juga menunjukkan bahwa sentimen manusiawi tidak selalu berhubungan dengan kelemahan atau ketidaksempurnaan. Sebaliknya, perasaan yang muncul dari rasa empati dan kepedulian dapat menjadi refleksi dari kesadaran yang tinggi terhadap kondisi umat manusia. Nabi Musa memberikan saran yang bijaksana karena ia menyadari beban yang akan dihadapi oleh umat Nabi Muhammad dalam menjalankan salat 50 kali sehari. Ini adalah contoh dari sentimen yang proporsional, yang lahir dari pemahaman yang mendalam tentang keadaan umat manusia. Sentimen ini tidak berlebihan atau berpotensi merusak, melainkan hadir dengan tujuan untuk mempermudah dan memberikan kemudahan dalam menjalankan perintah Allah. Sentimen manusiawi yang demikian menunjukkan bahwa emosi yang kita rasakan bisa menjadi sesuatu yang sangat konstruktif jika dilandasi dengan niat yang tulus.

Penting juga untuk menyadari bahwa perasaan yang berlebihan, meskipun mungkin dilandasi dengan niat baik, bisa menjadi masalah jika tidak dikendalikan dengan bijaksana. Misalnya, jika kita terlalu merasa khawatir atau berlebihan dalam menunjukkan perhatian terhadap sesuatu, kita bisa saja mengarah pada tindakan yang tidak proporsional atau bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip yang lebih tinggi. Dalam kisah Mi'raj, meskipun Nabi Musa menunjukkan kepedulian yang besar, ia tetap mempercayakan keputusan akhir kepada Allah, yang menunjukkan bahwa meskipun sentimen manusiawi penting, tidak seharusnya mengalahkan otoritas wahyu Tuhan. Keikhlasan dalam menjalankan perintah Allah tanpa dipengaruhi oleh perasaan berlebihan adalah pelajaran penting dalam kisah ini, yang mengajarkan kita untuk menjaga keseimbangan antara emosi dan tindakan.

Secara keseluruhan, kisah Nabi Muhammad SAW dan Nabi Musa dalam Mi'raj mengajarkan kita bahwa sentimen manusiawi, seperti perasaan empati, kepedulian, dan kasih sayang, adalah bagian dari fitrah manusia yang bisa menjadi kekuatan positif dalam kehidupan agama. Namun, seperti yang ditunjukkan dalam dialog ini, sentimen tersebut harus selalu dilandasi dengan niat yang ikhlas dan tidak boleh melampaui batas. Sentimen yang proporsional, yang tidak merusak integritas ajaran agama, adalah sentimen yang perlu kita usahakan dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah pesan penting yang harus kita jaga, bahwa meskipun kita diperbolehkan merasakan emosi manusiawi, kita harus selalu menempatkannya dalam kerangka yang benar dan sesuai dengan petunjuk Allah.

Referensi

Al-Qur'an al-Karim, Surah Al-Isra: 1.
Al-Bukhari, M. (1997). Sahih al-Bukhari (Vol. 1). Dar al-Ilm li al-Malayin.
Muslim, I. (1998). Sahih Muslim (Vol. 2). Dar al-Ma'arifah.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel